Membangkitkan Partai Golkar
Mahyudin ;
Wakil Ketua MPR RI; Ketua Umum
Himpunan Kerukunan Tani seluruh Indonesia (HKTI); Wakil Ketua Umum DPP Partai
Golkar Periode 2009-2014
|
KORAN SINDO, 31 Maret
2016
Pada Februari 2016 Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) memublikasikan hasil polling tentang kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga negara.
TNI merupakan lembaga
yang mendapatkan kepercayaan tertinggi dengan 89,6% dari 1.220 responden yang
dipilih secara random di seluruh wilayah Indonesia. DPR dan partai politik
menempati posisi paling bawah dalam kategori kepercayaan terhadap lembaga
negara. DPR memperoleh 58,4%, parpol 52,9%.
Di bawah TNI, dengan
kepercayaan 83,7% adalah presiden, disusul KPK dengan 82,9% responden. Polri
masih di posisi bawah dengan 76,3% responden. Berarti, lembaga yang paling dipercaya
masyarakat adalah; TNI, presiden, dan KPK. Sementara lembaga yang mendapat
kepercayaan terbawah berurutan; partaipolitik, DPR, dan Polri. Banyak
janji-janji saat pemilu yang tidak dipenuhi bisa menjadi penyebab terpuruknya
penilaian masyarakat terhadap parpol.
Belum lagi pemberitaan
negatif yang tak pernah berhenti menerpa anggota DPR atau kader partai dalam
perilaku korupsi atau perbuatan kriminal lainnya. DPR dan parpol seakan
menjadi objek pemberitaan negatif yang menarik. Bukan berita jika good news. Justru bad news adalah good news.
Menurut penulis, kondisi unhappy
ini bukan hanya bagi kalangan partai politik, tetapi bagi kehidupan bangsa
secara keseluruhan. Bagaimanapun, partai politik merupakan pilar dari
eksistensi demokrasi dalam sebuah bangsa.
Bila sebuah bangsa
membangun demokrasi dalam sistem politik, maka menjadi niscaya mengembangkan
kehidupan partai politik. Artinya, persepsi negatif masyarakat terhadap
partai politik tidak bisa dianggap remeh. Ada problem serius dalam bangunan
sistem demokrasi kita.
Tantangan untuk Parpol
Partai politik
merupakan fenomena abad ke-19 dan menjadi studi yang mulai semarak di abad
ke-20. Berawal dari Eropa Barat kemudian konsep partai politik menyebar ke
seluruh dunia—bersamaan dengan menyebarnya konsep demokrasi. Lahirnya partai
politik merupakan kelanjutan dari lahirnya konsep senat—yang akhirnya
memerlukan dukungan rakyat pemilih. Partai politik lahir dari kebutuhan bahwa
negara harus dikelola bersama rakyat.
Di Indonesia partai
politik lahir sejak era penjajahan Belanda. Partai politik dijadikan sarana
perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan. Sebutlah Indische Partij, Partai Serikat Islam,
Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan sebagainya. Setelah
kemerdekaan pertama kali Indonesia mengadakan pemilu pada 1955 dengan
melahirkan pemenang Partai Nasional Indonesia, Partai Masyumi, Partai NU, dan
Partai Komunis Indonesia.
Sayang, sejarah
mencatat bahwa kehidupan kepartaian akhirnya diberangus dengan Dekrit 1959
yang membubarkan hasil Pemilu 1955. Lahirnya Dekrit yang membubarkan hasil
Pemilu 1955 bukan tanpa alasan kuat. Presiden Soekarno yang didukung TNI
memandang kondisi sosialpolitik Indonesia telah berada di pinggir jurang
karena perpecahan kronis akibat partai-partai yang berpola pada politik
aliran ideologi. Akibat pembubaran hasil Pemilu 1955, disusunlah DPR
Gotong-Royong yang mengemukakan istilah kelompok fungsional.
DPR GR berisi kelompok
dan golongan yang termaktub di dalam UUD 1945. Dari latar belakang sosiologis
seperti ini kelak pada 1964 lahirlah Sekber Golkar (kelompok fungsional yang
mengidentifikasi diri berbeda dengan partai politik yang berseteru). Sekber
Golkar ini kelompok fungsional yang menentang ide Nasakom (nasionalis-agama-komunis)
yang digagas Bung Karno setelah membubarkan hasil Pemilu 1955.
Sekber Golkar dipilih
Pak Harto sebagai kekuatan politik untuk menopang pemerintahannya yang
berorientasipada pembangunan. Trauma Bung Karno pada partai politik (yang
memicu lahirnya Sekber Golkar) juga menjadi perhatian Pak Harto. Pemilu
pertama digelar dan Golkar (yang menafsirkan dirinya bukan partai politik)
menjadi peserta untuk pertama kalinya.
Hingga enam kali dalam
kepesertaannya dalam pemilu Orde Baru, Golkar selalu menang dengan single majority. Para akademisi
politik dan aktivis menuding kemenangan Golkar dikarenakan sistem tertutup
yang dijalankan Pak Harto. Pada 1998, di era reformasi, Golkar
mendeklarasikan eksistensinya sebagai partai politik. Dengan paradigma baru
Golkar menjadi Partai Golkar akan mengarungi kehidupan sosial politik
Indonesia dengan cara pandang, sistem, dan budaya baru.
Partai Golkar menjadi
kekuatan reformasi yang terus mendorong proses demokratisasi di semua lini
kebangsaan dan kenegaraan. Tantangan Partai Golkar semakin hari tidak semakin
ringan. Kalau melihat statistik, Golkar memenangkan pemilu 6 kali di masa
Orba, sedangkan Partai Golkar memenangkan 1 kali dan runner up 3 kali
sepanjang pemilu di era reformasi. Dalam pilpres, Partai Golkar belum
sekalipun menang dalam pemilihan.
Setidaknya Partai
Golkar belum pernah terdepak ke posisi tiga. Pertanyaannya, bagaimana Partai
Golkar pada Pemilu 2019? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab hari ini. Tetapi
bagi kader Partai Golkar, gelaran Pemilu 2019 mendatang adalah momentum yang
menantang untuk dicarikan jawabannya dengan meningkatkan kinerja dan
pengelolaan organisasi.
Tantangan Pemilu 2019
tidaklah sederhana. Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama kalinya.
Tentu ada beberapa strategi dan pola baru yang harus diadopsi semua partai
politik untuk mampu keluar sebagai pemenang dan lolos dari penghakiman rakyat
itu.
Munaslub adalah Momentum
Setelah Pemilu 2014
Partai Golkar menghadapi ujian yang relatif berat (adanya dualisme
kepemimpinan). Setahun lebih berkubang konflik yang tentu saja menelantarkan
program penting yang seharusnya dilakukan sebuah partai politik modern.
Konflik telah
mematahkan dahan dan ranting serta menebas daun rindang Beringin. Jika tidak
segera melakukan rekonsiliasi total akan mengakibatkan keruntuhan Beringin.
Perdamaian dan persatuan sangatlah vital bagi Partai Golkar. Partai yang
tidak konflik saja masih harus berjuang meraih simpati masyarakat, apalagi
yang bisa diharapkan dengan partai yang terpecah.
Masyarakat akan lari
dari partai yang setiap hari hanya mempertontonkan perkelahian.
Rakyatakanmendukung partai yang solid dan menjalankan program kerakyatan.
Nakhoda baru yang dilahirkan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) juga
mesti selaras dengan harapan kebangkitan. Figur yang dikenal di lingkungan
Partai Golkar dengan pengalaman mengelola organisasi, kecintaannya pada
organisasi, mempunyai keinginan dan mampu meluangkan waktu sebesar-besarnya
pada partai.
Karena waktu yang
terbatas menuju 2019 hendaknya waktu ke depan mampu dimanfaatkan dengan
semaksimal mungkin. Partai Golkar juga butuh figur yang nyambung dengan
generasi digital yang akan mendominasi jumlah penduduk. Dengan semangat
konsensus, dengan adaptasi pada perubahan, dengan empati pada jeritan rakyat,
dan konsolidasi besarbesaran Partai Golkar mampu melewati pemilu dengan
kemenangan.
Dan Partai Golkar
bangkit dan mengambil peran memajukan negeri dan bangsa ini. Kebangkitan dan
kebesaran Partai Golkar yang selaras dengan tujuan didirikannya Republik
Indonesia, yang demokratis, berkeadilan, dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar