Menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018
Usep Hasan Sadikin ;
Peneliti di Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS, 12 April
2016
Revisi Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah untuk penyelenggaraan Pilkada 2017 lepas dari konsep
pemilu serentak. Ini berarti, para pemangku kepentingan mengulang kesalahan
saat UU Pilkada langsung dirumuskan untuk mengganti UU Pilkada tak langsung.
Keserentakan dimaknai
penyelenggaraan bersamaan saja. Padahal, tujuan prinsipiil pilkada serentak
adalah menyamakan periode jabatan kepala daerah sehingga sesuai dengan pemilu
serentak nasional sebagai bagian penguatan pemerintahan presidensial yang
efektif.
Pemilu serentak adalah
penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan,
khususnya tahap pemungutan suara. Tujuannya bukan semata efisiensi anggaran,
melainkan juga untuk menciptakan pemerintahan kongruen atau menghindari
pemerintahan terbelah (divided
government), yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki
partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih. Dari pengertian
serentak ini, pilkada serentak bukanlah pemilu serentak.
Keluar dari konsep
Pilkada masuk dalam
desain pemilu serentak lokal yang coba diupayakan pakar pemilu melalui
penyatuan/kodifikasi UU kepemiluan. Pemilu serentak lokal adalah pemilu yang
diselenggarakan Komisi Pemilihan umum (KPU) untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota), anggota DPRD provinsi,
serta anggota DPRD kabupaten/kota. Karena periode kepala daerah dan DPRD saat
ini belum sama, maka diperlukan penyelenggaraan pilkada serentak transisi.
Setidaknya ada tiga
gambaran revisi UU Pilkada keluar dari konsep pemilu serentak.
Pertama, revisi UU
Pilkada terputus dari semangat penyatuan UU kepemiluan untuk pemilu serentak
tahun 2019. Kedua, masih ada syarat persentase kepemilikan kursi DPRD bagi
partai atau koalisi partai yang bisa mengajukan calon di pilkada. Ketiga,
menjadikan syarat persentase kepemilikan kursi DPRD sebagai pembanding syarat
calon perseorangan. Merujuk pengertian "pemilu serentak", syarat
persentase kursi parlemen untuk pencalonan eksekutif menjadi tidak relevan.
Kesalahan lain yang
terulang adalah dipaksakannya rumusan undang-undang di konteks yang tak kondusif
dalam hitungan siklus pemilu. UU Pilkada untuk 2015 lahir dari kelelahan dan
sedikit waktu perhatian karena semua pemangku kepentingan pemilu baru
terlibat di Pemilu Presiden 2014. Juga sedikit waktu untuk mengevaluasi
pemilu sebelumnya dan sedikit waktu perencanaan pemilu selanjutnya.
Partisipasi pemilih pun turun karena warga jenuh pemilu. Ditambah lagi oleh
situasi polarisasi elite: Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih.
Kini, di waktu yang
sempit, revisi UU Pilkada malah memprioritaskan kepentingan politik kuasa
para elite, yaitu mengubah (memperberat) syarat pencalonan jalur
perseorangan, suatu ketentuan yang sebetulnya telah tuntas berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi.
Di tengah keadaan tak
kondusif ini, hal terpenting yang harus masuk dalam revisi UU Pilkada adalah
menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018. Penyerentakan pilkada gelombang kedua
dan gelombang ketiga ini setidaknya ada empat tujuan. Pertama, menambah waktu
revisi UU Pilkada. Kedua, menentukan waktu pungut-hitung dan tahapan pilkada
lainnya yang sesuai siklus anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) serta cuaca yang kondusif. Ketiga, memberikan jeda kerja
penyelenggara. Keempat, menambah rasionalitas dan mengurangi kejenuhan
pemilih.
Perbaikan di waktu yang kondusif
Menyerentakkan Pilkada
2017 dan 2018 akan menambah waktu untuk kebutuhan revisi UU Pilkada yang
lebih baik. Pemungutan suara dalam Pilkada 2017 yang sudah ditetapkan KPU
pada 15 Februari 2017 memaksa revisi tuntas untuk pelaksanaan Pilkada 2017
pada Juni 2016.
Jika Pilkada 2017 dan
2018 diserentakkan sehingga cuma ada satu pilkada sebelum Pemilu 2019,
pemungutan suara pilkada bisa diundur menjadi Juli 2017. Tahapan pilkada
serentak pun menjadi diundur ke November 2016. Ada tambahan sekitar lima
bulan sebagai waktu yang lebih kondusif merevisi UU Pilkada.
Karena waktu revisi
saat ini sempit, UU Pilkada direvisi secara terbatas. Padahal, UU Pilkada
yang sebelumnya lahir prematur untuk membatalkan UU Pilkada tak langsung ini
memiliki banyak keterbatasan. Salah satunya, UU Pilkada pada Pilkada
(serentak) 2015 tidak menjamin keserentakan. Ada kemungkinan calon tunggal
yang luput diatur, ada dualisme kepengurusan partai yang cara pengusungan
calon kepala daerahnya juga luput diatur, serta ada mekanisme penegakan hukum
dan penyelesaian sengketa yang berbelit sehingga tak sesuai dengan semangat
keserentakan. Alhasil, ada lima daerah yang gagal diserentakkan dan ada
banyak daerah yang terseok menyelenggarakan pilkada karena soal anggaran.
Merujuk rancangan
revisi versi Kementerian Dalam Negeri, UU Pilkada malah tak membaik. Revisi
ini tak memungkinkan mengubah pembiayaan pilkada dari APBD ke APBN.
Menyerentakkan Pilkada 2017 dan 2018 yang mengundur waktu pemungutan suara
dari Februari 2017 ke Juli 2017 akan sesuai dengan siklus APBN.
UU No 8/2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) untuk penyelenggaraan
Pilkada 2015 lalu melanjutkan permasalahan prinsipiil anggaran di pilkada
sebelumnya. Pertama, pilkada dibiayai APBD berpotensi buruk dari diskresi
petahana yang mencalonkan lagi karena berdiskresi menentukan persetujuan
besaran anggaran pilkada daerah yang dipimpinnya. Kedua, pilkada jadi beban
pemerintahan daerah yang dirasakan masyarakat karena keterbatasan kemampuan
keuangan menyebabkan pengurangan belanja publik, seperti pendidikan dan
kesehatan. Ketiga, sulit menemukan obyektivitas besaran biaya tiap daerah
yang faktanya ada daerah berpenduduk/pemilihnya sedikit dibandingkan daerah
lain, tapi biaya pilkadanya jauh lebih besar. Keempat, berbeda dan
kompleksnya keadaan keuangan tiap daerah lebih berpotensi menggagalkan
keserentakan pilkada.
Jika Pilkada 2017 dan
2018 diserentakkan, tujuan efisien pilkada serentak akan tercapai. Ada 101
daerah di Pilkada 2017, tapi hanya ada tujuh provinsi. Sementara di Pilkada
2018, ada 172 daerah, di antaranya 17 provinsi. Jika Pilkada 2017 dan 2018
diserentakkan, maka ada 24 provinsi yang pilkada.
Menyerentakkan Pilkada
2017 dan 2018, serta pengunduran pemungutan suara dari Februari ke Juli 2017,
langsung berkait efisien anggaran. Di 24 provinsi jauh bisa lebih banyak
mengupayakan penyelenggaraan pilkada pada semua jenjang: provinsi hingga
kabupaten/kota. Penggabungan jenjang menjadikan penyelenggaraan pilkada hanya
satu kali pendanaan untuk panitia penyelenggara, pengawas, dan pengadaan
logistik. Bulan Juli pun merupakan waktu yang kondusif dari aspek cuaca,
sosial-budaya, kesiapan partai, dan kesiapan anggaran sehingga kemungkinan
kisruh persiapan dan hambatan lebih bisa dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar