Jumat, 08 April 2016

Filosofi Keberpihakan dan Generasi Android

Filosofi Keberpihakan dan Generasi Android

(Tanggapan untuk Listiyono Santoso)
K.Y. Karnanta ;   Staf pengajar di Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya FIB Universitas Airlangga, Surabaya
                                                       JAWA POS, 06 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ISU keberpihakan intelektual kampus memang tidak pernah sepi didiskusikan. Artikel Listiyono Santoso dalam Kampus dan Tanggung Jawab Intelektualitas (Jawa Pos, 2/4) penting untuk ditanggapi. Bukan sekadar karena esai itu berupaya meninjau kembali peran intelektual kampus yang ditengarai mengarah pada "radikalisasi" sehingga terjebak pada "disorientasi keberpihakan" dan "reduksi pemaknaan intelektualitas".
Lebih dari itu, esai tersebut masih belum selesai dalam merumuskan apa yang menjadi gagasan kuncinya. Yakni, "keberpihakan pada nilai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan."

Bagaimanakah kita menerjemahkan konsep kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan di tengah masyarakat Indonesia yang teramat plural? Bagaimanakah pula kita menerjemahkan keberpihakan tanpa "ideologi"?

Tradisional vs Kritis

Diskusi mengenai "keberpihakan" kaum intektual dan keilmuan di ranah global bisa disimak, antara lain, dari pandangan yang disampaikan secara sistematis oleh Frankfrut School yang dimotori Theodore Adorno dan Mark Horkheimer. Sasaran kritik kelompok tersebut jelas: ilmu-ilmu yang dilabeli dengan "ilmu-tradisional".

Yaitu, ilmu yang didirikan dengan doktrin "objektivitas", "netral", dan "bebas nilai" demi tercapainya mimpi zaman modern yang diusung Rene Descartes melalui kredo cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada): humanisme-universal. Ilmu-ilmu sosial yang demikian itu, ujar Adorno dan Horkheimer dalam buku Dialectic of Enlightment, didirikan di atas epistemologi positivisme yang berlandaskan rasionalitas dan hukum-hukum yang pasti dan berlaku universal seperti ilmu alam.

Apa yang terjadi berikutnya adalah fase anomali. Ketika perubahan kondisi masyarakat sedemikian dinamis sehingga ilmu-ilmu yang mengklaim dirinya objektif tersebut tidak mampu lagi menjelaskan dan memecahkan masalah apa yang sedang terjadi: perang, kolonialisasi, perbudakan, atau bahkan genosida ras.

Pendeknya, yang terjadi adalah kondisi dehumanisasi justru karena produk-produk yang dihasilkan ilmu-ilmu sosial dan kaum intelektualnya itu sendiri. Maka, pandangan yang kini dikenal dengan teori-kritis tersebut menawarkan satu konsep yang sebelumnya nihil dalam kamus keilmuan: emansipatory.

Emansipatory bukan pandangan. Melainkan gerakan yang sepenuhnya menyadari bahwa tugas seorang intelektual bukan sekadar mampu menjelaskan makna dari keadaan yang terjadi. Tapi, juga menerjemahkannya pada tataran praktik hingga mampu mengubah keadaan itu sendiri.

Prasyarat dari gerakan tersebut jelas: kesadaran bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang steril dari politik atau relasi-kuasa dan kontrol. Yang karenanya, keberpihakan pada satu nilai serta keberanian dalam memperjuangkannya menjadi hal mutlak.

Sangat mungkin, pandangan serupa itu didasarkan pada konsep "revolusi" dalam Marxisme ortodoks. Namun, yang membedakan adalah revolusi dalam konteks ini lebih pada upaya menjadikan manusia bukan sebagai individu atau subjek. Melainkan, sebagai agen dan agensi: kemampuan untuk memengaruhi dan bahkan mengubah keadaan atas nama kolektif (kelas) dan bukan sekadar pribadi (individu).

Maka, sulit rasanya berbicara keberpihakan kaum intektual tanpa terkait dengan ideologi dan politik. Ideologi adalah kesadaran yang darinya seseorang melakukan praktik; politik adalah kontrol, yang mana setiap manusia memiliki will to power atau kehendak untuk memiliki kuasa/kontrol atas sesuatu.

Ideologi itu juga yang membuat mahasiswa memilih kampus dan organisasi yang diikuti, apapun organisasinya; dan politik jugalah yang membuat kampus tidak pernah sepi dari peminat, apapun kondisinya.

Beda Zaman

Tetapi, memang benar bahwa isu keberpihakan kaum intelektual terkini cenderung mengarah pada kondisi mencemaskan dan menggemaskan. Disebut mencemaskan karena praktik keberpihakan kaum intelektual, khususnya mahasiswa, sangat beragam.

Ada yang berbasis agama, yang dengan varian interpretasi masing-masing, beberapa di antaranya terang-terangan menantang dan menentang ideologi resmi negara. Juga, fenomena diskriminasi SARA, atau bahkan saling serang atas nama "isme-isme".

Disebut menggemaskan karena praktik keberpihakan serupa itu, dalam banyak hal, bersifat sangat cair, bergantung tren, dan diekspresikan dengan cara yang asyik dan gaul: membikin petisi online, sebar isu via portal, copy-paste status teman dan disebar via grup chatting, dan lainnya.

Barangkali, itulah yang disebut dengan generasi Android, teknologi ponsel cerdas yang multitasking. Dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan, Hikmat Darmawan mengatakan bahwa kaum intelektual, khususnya mahasiswa di era pasca-Orde Baru, adalah generasi multitasking: menolak pilihan-pilihan terbatas (memilih satu hal yang berarti menolak hal lainnya). Serta, memiliki kepedulian terhadap penderitaan masyarakat. Tapi, masih perlu diuji kesungguhan perjuangannya.

Ada kecenderungan untuk terlibat secara aktif. Namun, keterlibatan dan keaktifan itu sekaligus juga menyertakan unsur kesenangan dan petualangan tertentu yang bersifat cair serta fleksibel.

Seperti halnya status di beranda media sosial yang bisa muncul, diedit, dan dihapus kapan saja. Pada tahap itulah, peran dan strategi pihak kampus dalam mengader mahasiswanya menjadi perlu direnungkan kembali.

Pertanyaannya: siapkah kampus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar