Filosofi
Keberpihakan dan Generasi Android
(Tanggapan untuk Listiyono Santoso)
K.Y. Karnanta ; Staf pengajar di Program Studi Magister
Kajian Sastra dan Budaya FIB Universitas Airlangga, Surabaya
|
JAWA POS, 06 April
2016
ISU keberpihakan intelektual kampus memang
tidak pernah sepi didiskusikan. Artikel Listiyono Santoso dalam Kampus dan
Tanggung Jawab Intelektualitas (Jawa Pos, 2/4) penting untuk ditanggapi.
Bukan sekadar karena esai itu berupaya meninjau kembali peran intelektual
kampus yang ditengarai mengarah pada "radikalisasi" sehingga
terjebak pada "disorientasi keberpihakan" dan "reduksi
pemaknaan intelektualitas".
Lebih dari itu, esai tersebut masih belum
selesai dalam merumuskan apa yang menjadi gagasan kuncinya. Yakni,
"keberpihakan pada nilai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan."
Bagaimanakah kita menerjemahkan konsep
kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan di tengah masyarakat Indonesia yang
teramat plural? Bagaimanakah pula kita menerjemahkan keberpihakan tanpa
"ideologi"?
Tradisional vs Kritis
Diskusi mengenai "keberpihakan" kaum
intektual dan keilmuan di ranah global bisa disimak, antara lain, dari
pandangan yang disampaikan secara sistematis oleh Frankfrut School yang
dimotori Theodore Adorno dan Mark Horkheimer. Sasaran kritik kelompok
tersebut jelas: ilmu-ilmu yang dilabeli dengan "ilmu-tradisional".
Yaitu, ilmu yang didirikan dengan doktrin
"objektivitas", "netral", dan "bebas nilai"
demi tercapainya mimpi zaman modern yang diusung Rene Descartes melalui kredo
cogito ergo sum (aku berpikir maka
aku ada): humanisme-universal. Ilmu-ilmu sosial yang demikian itu, ujar
Adorno dan Horkheimer dalam buku Dialectic
of Enlightment, didirikan di atas epistemologi positivisme yang
berlandaskan rasionalitas dan hukum-hukum yang pasti dan berlaku universal
seperti ilmu alam.
Apa yang terjadi berikutnya adalah fase
anomali. Ketika perubahan kondisi masyarakat sedemikian dinamis sehingga
ilmu-ilmu yang mengklaim dirinya objektif tersebut tidak mampu lagi
menjelaskan dan memecahkan masalah apa yang sedang terjadi: perang,
kolonialisasi, perbudakan, atau bahkan genosida ras.
Pendeknya, yang terjadi adalah kondisi
dehumanisasi justru karena produk-produk yang dihasilkan ilmu-ilmu sosial dan
kaum intelektualnya itu sendiri. Maka, pandangan yang kini dikenal dengan
teori-kritis tersebut menawarkan satu konsep yang sebelumnya nihil dalam
kamus keilmuan: emansipatory.
Emansipatory bukan pandangan.
Melainkan gerakan yang sepenuhnya menyadari bahwa tugas seorang intelektual
bukan sekadar mampu menjelaskan makna dari keadaan yang terjadi. Tapi, juga
menerjemahkannya pada tataran praktik hingga mampu mengubah keadaan itu
sendiri.
Prasyarat dari gerakan tersebut jelas:
kesadaran bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang steril dari politik atau
relasi-kuasa dan kontrol. Yang karenanya, keberpihakan pada satu nilai serta
keberanian dalam memperjuangkannya menjadi hal mutlak.
Sangat mungkin, pandangan serupa itu
didasarkan pada konsep "revolusi" dalam Marxisme ortodoks. Namun,
yang membedakan adalah revolusi dalam konteks ini lebih pada upaya menjadikan
manusia bukan sebagai individu atau subjek. Melainkan, sebagai agen dan
agensi: kemampuan untuk memengaruhi dan bahkan mengubah keadaan atas nama
kolektif (kelas) dan bukan sekadar pribadi (individu).
Maka, sulit rasanya berbicara keberpihakan
kaum intektual tanpa terkait dengan ideologi dan politik. Ideologi adalah
kesadaran yang darinya seseorang melakukan praktik; politik adalah kontrol,
yang mana setiap manusia memiliki will
to power atau kehendak untuk memiliki kuasa/kontrol atas sesuatu.
Ideologi itu juga yang membuat mahasiswa
memilih kampus dan organisasi yang diikuti, apapun organisasinya; dan politik
jugalah yang membuat kampus tidak pernah sepi dari peminat, apapun
kondisinya.
Beda Zaman
Tetapi, memang benar bahwa isu keberpihakan
kaum intelektual terkini cenderung mengarah pada kondisi mencemaskan dan
menggemaskan. Disebut mencemaskan karena praktik keberpihakan kaum
intelektual, khususnya mahasiswa, sangat beragam.
Ada yang berbasis agama, yang dengan varian
interpretasi masing-masing, beberapa di antaranya terang-terangan menantang
dan menentang ideologi resmi negara. Juga, fenomena diskriminasi SARA, atau
bahkan saling serang atas nama "isme-isme".
Disebut menggemaskan karena praktik
keberpihakan serupa itu, dalam banyak hal, bersifat sangat cair, bergantung
tren, dan diekspresikan dengan cara yang asyik dan gaul: membikin petisi
online, sebar isu via portal, copy-paste
status teman dan disebar via grup chatting,
dan lainnya.
Barangkali, itulah yang disebut dengan
generasi Android, teknologi ponsel cerdas yang multitasking. Dalam buku Lubang
Hitam Kebudayaan, Hikmat Darmawan mengatakan bahwa kaum intelektual,
khususnya mahasiswa di era pasca-Orde Baru, adalah generasi multitasking:
menolak pilihan-pilihan terbatas (memilih satu hal yang berarti menolak hal
lainnya). Serta, memiliki kepedulian terhadap penderitaan masyarakat. Tapi,
masih perlu diuji kesungguhan perjuangannya.
Ada kecenderungan untuk terlibat secara aktif.
Namun, keterlibatan dan keaktifan itu sekaligus juga menyertakan unsur
kesenangan dan petualangan tertentu yang bersifat cair serta fleksibel.
Seperti halnya status di beranda media sosial
yang bisa muncul, diedit, dan dihapus kapan saja. Pada tahap itulah, peran
dan strategi pihak kampus dalam mengader mahasiswanya menjadi perlu
direnungkan kembali.
Pertanyaannya: siapkah kampus? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar