Kamis, 05 November 2015

Rumitnya Mengelola Dana Desa

Rumitnya Mengelola Dana Desa

J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                     KOMPAS, 03 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, selanjutnya disebut Mendesa PDTT, Marwan Jafar, tidak dapat menyembunyikan kekesalannya yang sudah sampai ubun-ubun. Hal itu dapat disaksikan pada acara ”Solusi dan Guyonan Orang Desa” yang ditayangkan Minggu, 1 November, sekitar pukul 13.00, oleh salah satu TV swasta. Beberapa kali ia mengimbau keras kepada para bupati/wali kota yang mempersulit pencairan dana desa.

Ia bahkan mengancam menjatuhkan sanksi berupa penundaan penyaluran dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil. Litani pernyataan keras dengan bumbu ancaman sebenarnya telah berlangsung beberapa bulan, tetapi tampaknya kurang efektif sehingga perlu mengemas rasa geregetan tersebut dalam bentuk drama komedi. Selain lebih ekspresif dan provokatif, penampilan dapat santai, sehingga pesan mudah dicerna masyarakat dan kepala daerah.

Namun, upaya itu belum menjamin kelancaran pencairan dana desa. Sebab, keru- mitan pengelolaan dana desa bertali-temali antara peraturan tumpang tindih, ego sektoral, dan pertarungan politik kekuasaan. Isu ego sektoral bersumber dari kerancuan menjabarkan filosofi eksistensi desa yang dibahasakan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 16/2014 tentang Desa sebagai persenyawaan antara self governing community–SGC (masyarakat yang mengatur urusannya sendiri) dan local self government–LSG (pemerintahan lokal yang mandiri).

Persoalan semakin kusut setelah terbit Perpres Nomor 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Perpres Nomor 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kedua perpres tersebut menambah silang sengkarut karena memecah pengelolaan desa oleh dua institusi: (1) menteri yang menyelenggarakan pemerintahan dalam negeri, serta (2) menteri yang menyelenggarakan pembangunan desa, pembangunan kawasan pedesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Tarik-menarik kepentingan berputar-putar dalam dua isu sentral. Pertama, jika titik berat pengelolaan desa adalah fungsi LSG, maka kewenangan desa hanya terbatas pada kepentingan pengawasan dan pengendalian oleh struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Akibatnya, mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat desa. Kedua, jika titik berat kepada SGC, otoritas desa dikhawatirkan dapat mengabaikan, bahkan mengeliminasi, peran pengawasan dan pembinaan oleh struktur pemerintah daerah yang lebih tinggi.

Pertarungan ego sektoral dipertajam dengan terbitnya PP No 47/2015 tentang Revisi PP No 43/2014 yang menegaskan kementerian yang menangani urusan pemerintahan desa adalah Menteri Dalam Negeri, dan mencabut kewenangan Kemdesa PDTT mengelola pemerintahan desa. Maknanya, pemerintahan desa adalah rezim pemda.

Tampaknya, Kemdagri tidak rela menyerahkan seluruh kewenangan tersebut kepada Kemdesa PDTT. Tarik-menarik kepentingan tersebut berujung pada kompromi. Kemdagri diserahi tugas mengelola pemerintahan desa (Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa). Sisanya menjadi urusan Kemdesa PDTT.

Dari perspektif Kemdesa PDTT, PP tersebut dianggap mengingkari sejarah serta asal-usul desa. Ia bukan sekadar wilayah administratif, melainkan sebagai unit sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum. Desa seyogianya ditransformasikan menjadi komunitas yang mempunyai energi sosial yang mampu menggerakkan perekonomian lokal serta merawat kearifan dan budaya setempat. PP tersebut justru akan membuat desa sibuk dengan urusan birokratisasi dan administrasi pemerintahan. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sekadar bagian dari pelayanan pemerintah daerah, bukan menggerakkan partisipasi masyarakat desa. Mandat Kemdesa PDTT memperkuat desa sebagai SGC agar urusan pemerintahan desa menjadi urusan masyarakat desa juga makin surut. Dikhawatirkan pertarungan kepentingan tersebut merembet kepada instansi pengelola pemerintahan desa (jajaran Kemdagri) dengan instansi pengelola pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (jajaran Kemdesa PDTT).

Jika ditelusuri, sejak awal proses penyusunan RUU tentang Desa, aroma politisasinya sangat menyengat. Hal itu terutama berkaitan dengan isu setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp 1 miliar per tahun. Rumor segera beredar, partai politik segera membentuk ”LSM” jadi-jadian untuk memanfaatkan dana tersebut guna memperkuat jaringan dan basis politik. Karena itu, timbul spekulasi bahwa dua kementerian yang dipimpin kader partai berbeda merupakan kelanjutan dari pertarungan politik kekuasaan yang merugikan masyarakat desa.

Kerumitan mengelola desa, khususnya dana desa, sebenarnya mudah kalau tidak ”diboncengi” oleh kepentingan kekuasaan. Konflik dan ego sektoral antara Kemdagri dan Kemdesa PDTT seharusnya dapat diselesaikan oleh Presiden. Namun, karena hasrat interes politik kekuasaan sangat besar, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang harus kompromi dalam menyusun regulasi menjadi tumpang tindih.

Untuk mengurai kekusutan pengelolaan dana desa, politik kepentingan kekuasaan harus ditanggalkan. Agenda berikut, menata kembali regulasi kebijakan teknis sehingga tidak tumpang tindih. Jika dana desa tersalur lancar, tugas berat sudah menanti, yaitu melatih hampir 230.000 aparat desa serta menyeleksi sekitar 30.000 pendamping desa yang akan disebar ke 74.093 desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar