Rumitnya Mengelola Dana Desa
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
03 November 2015
Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, selanjutnya disebut Mendesa
PDTT, Marwan Jafar, tidak dapat menyembunyikan kekesalannya yang sudah sampai
ubun-ubun. Hal itu dapat disaksikan pada acara ”Solusi dan Guyonan Orang
Desa” yang ditayangkan Minggu, 1 November, sekitar pukul 13.00, oleh salah
satu TV swasta. Beberapa kali ia mengimbau keras kepada para bupati/wali kota
yang mempersulit pencairan dana desa.
Ia bahkan mengancam
menjatuhkan sanksi berupa penundaan penyaluran dana alokasi umum dan/atau
dana bagi hasil. Litani pernyataan keras dengan bumbu ancaman sebenarnya
telah berlangsung beberapa bulan, tetapi tampaknya kurang efektif sehingga
perlu mengemas rasa geregetan tersebut dalam bentuk drama komedi. Selain
lebih ekspresif dan provokatif, penampilan dapat santai, sehingga pesan mudah
dicerna masyarakat dan kepala daerah.
Namun, upaya itu belum
menjamin kelancaran pencairan dana desa. Sebab, keru- mitan pengelolaan dana
desa bertali-temali antara peraturan tumpang tindih, ego sektoral, dan
pertarungan politik kekuasaan. Isu ego sektoral bersumber dari kerancuan
menjabarkan filosofi eksistensi desa yang dibahasakan dalam Penjelasan Umum
UU Nomor 16/2014 tentang Desa sebagai persenyawaan antara self governing community–SGC
(masyarakat yang mengatur urusannya sendiri) dan local self government–LSG
(pemerintahan lokal yang mandiri).
Persoalan semakin
kusut setelah terbit Perpres Nomor 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri
(Kemdagri) dan Perpres Nomor 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Kedua perpres tersebut menambah silang
sengkarut karena memecah pengelolaan desa oleh dua institusi: (1) menteri
yang menyelenggarakan pemerintahan dalam negeri, serta (2) menteri yang
menyelenggarakan pembangunan desa, pembangunan kawasan pedesaan, dan
pemberdayaan masyarakat desa.
Tarik-menarik
kepentingan berputar-putar dalam dua isu sentral. Pertama, jika titik berat
pengelolaan desa adalah fungsi LSG, maka kewenangan desa hanya terbatas pada
kepentingan pengawasan dan pengendalian oleh struktur pemerintahan yang lebih
tinggi. Akibatnya, mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat desa. Kedua,
jika titik berat kepada SGC, otoritas desa dikhawatirkan dapat mengabaikan,
bahkan mengeliminasi, peran pengawasan dan pembinaan oleh struktur pemerintah
daerah yang lebih tinggi.
Pertarungan ego
sektoral dipertajam dengan terbitnya PP No 47/2015 tentang Revisi PP No
43/2014 yang menegaskan kementerian yang menangani urusan pemerintahan desa
adalah Menteri Dalam Negeri, dan mencabut kewenangan Kemdesa PDTT mengelola
pemerintahan desa. Maknanya, pemerintahan desa adalah rezim pemda.
Tampaknya, Kemdagri tidak
rela menyerahkan seluruh kewenangan tersebut kepada Kemdesa PDTT.
Tarik-menarik kepentingan tersebut berujung pada kompromi. Kemdagri diserahi
tugas mengelola pemerintahan desa (Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan
Desa). Sisanya menjadi urusan Kemdesa PDTT.
Dari perspektif
Kemdesa PDTT, PP tersebut dianggap mengingkari sejarah serta asal-usul desa.
Ia bukan sekadar wilayah administratif, melainkan sebagai unit sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan hukum. Desa seyogianya ditransformasikan
menjadi komunitas yang mempunyai energi sosial yang mampu menggerakkan
perekonomian lokal serta merawat kearifan dan budaya setempat. PP tersebut
justru akan membuat desa sibuk dengan urusan birokratisasi dan administrasi
pemerintahan. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sekadar bagian dari
pelayanan pemerintah daerah, bukan menggerakkan partisipasi masyarakat desa.
Mandat Kemdesa PDTT memperkuat desa sebagai SGC agar urusan pemerintahan desa
menjadi urusan masyarakat desa juga makin surut. Dikhawatirkan pertarungan
kepentingan tersebut merembet kepada instansi pengelola pemerintahan desa
(jajaran Kemdagri) dengan instansi pengelola pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat (jajaran Kemdesa PDTT).
Jika ditelusuri, sejak
awal proses penyusunan RUU tentang Desa, aroma politisasinya sangat
menyengat. Hal itu terutama berkaitan dengan isu setiap desa akan mendapatkan
dana sekitar Rp 1 miliar per tahun. Rumor segera beredar, partai politik
segera membentuk ”LSM” jadi-jadian untuk memanfaatkan dana tersebut guna
memperkuat jaringan dan basis politik. Karena itu, timbul spekulasi bahwa dua
kementerian yang dipimpin kader partai berbeda merupakan kelanjutan dari
pertarungan politik kekuasaan yang merugikan masyarakat desa.
Kerumitan mengelola
desa, khususnya dana desa, sebenarnya mudah kalau tidak ”diboncengi” oleh
kepentingan kekuasaan. Konflik dan ego sektoral antara Kemdagri dan Kemdesa
PDTT seharusnya dapat diselesaikan oleh Presiden. Namun, karena hasrat
interes politik kekuasaan sangat besar, Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan yang harus kompromi dalam menyusun regulasi menjadi tumpang
tindih.
Untuk mengurai
kekusutan pengelolaan dana desa, politik kepentingan kekuasaan harus
ditanggalkan. Agenda berikut, menata kembali regulasi kebijakan teknis
sehingga tidak tumpang tindih. Jika dana desa tersalur lancar, tugas berat
sudah menanti, yaitu melatih hampir 230.000 aparat desa serta menyeleksi
sekitar 30.000 pendamping desa yang akan disebar ke 74.093 desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar