Pilkada Serentak, Reformasi Odasios
Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Administrasi
UI
|
KOMPAS,
03 November 2015
Pemilihan kepala
daerah serentak untuk pertama kalinya akan digelar pada Desember 2015. Waktu
yang sangat singkat untuk mempersiapkannya. Pilihan pilkada serentak
merupakan respons atas jalannya pilkada langsung selama ini yang bergantung
pada periode kepemimpinan masing-masing di tiap daerah otonom.
Jadilah Indonesia
sebagai satu-satunya negara penyelenggara pilkada serentak di dunia ini,
kelak. Sistem pilkada baru ini diyakini sukses jika efisiensi dapat diraih
sembari mengatasi terjadinya petualang politik sesaat, yang sering kali
terjadi pada masa lalu.
Namun, bayang-bayang
ketidaksuksesan pilkada serentak pun menghantui, dengan sejumlah dampak buruk
yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia dapat
terjadi. Konflik yang masif adalah bayangan pertama. Kedua, gangguan
administrasi peradilan jika gelombang keberatan masuk di Mahkamah Konstitusi
menumpuk, dan stagnasi birokrasi sejumlah pemerintah daerah, serta sejumlah
dampak lain. Oleh karena itu, kita wajib memikirkannya.
Merilee S Grindle
telah melakukan penelitian di sejumlah negara Amerika Latin pada dekade
1990-an. Di negara-negara tersebut, masyarakat merasakan mekanisme baru
memilih pemimpin lokalnya yang semula tidak dianut. Namun, Grindle (2000)
menyebut terjadinya apa yang dia namakan sebagai audacious reforms (reformasi odasios). Dia jelaskan bahwa ”Audacious reforms are those for which
there are no obviously compelling answers to the question, ”Why would
politicians, concerned about the electoral consequences of their actions,
choose such a change?”
Grindle meyakini semua
bermuara pada motivasi auktor-auktor politik. Asumsinya adalah, pertama,
sangat dipengaruhi oleh perilaku politik para auktor tersebut. Kedua, sama
sekali bukan diarahkan untuk menciptakan nilai baru dalam distribusi
kekuasaan di antara mereka, melainkan melanggengkan yang ada dengan wajah
baru. Ketiga, tidak ada yang mampu mengantisipasi apa yang akan terjadi, atau
tidak ada kemampuan untuk memprediksi apa yang akan terjadi sehingga amat
bergantung pada kompetisi antar-auktor politik itu sendiri.
Di Indonesia,
pelaksanaan pilkada langsung mendapat acungan jempol. Penjelasan mengapa hal
ini dapat terjadi adalah bahwa pada masa sebelumnya, saat pilkada melalui
DPRD, sistem kita menganut tata lembaga DPRD yang kuat yang mampu menjatuhkan
kepala daerah di tengah roda kepemerintahannya. Tak heran bila kemudian
birokrasi pun mampu dibuat seolah tidak berdaya. Pola ini terjadi pada masa
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak berumur panjang, UU
ini diganti oleh UU No 32/2004.
Kepala daerah di bawah
UU No 32/2004 memiliki posisi yang kuat dengan adanya pilkada langsung.
Kepala daerah yang kuat membawa jajaran birokrasi lokal dapat berlindung di
bawah kepala daerah menghadapi DPRD. Namun, sebetulnya sistem ini pun
menakutkan bagi sejumlah birokrat. Para kepala daerah sering kali mudah
menggeser para birokrat yang diketahui tidak mendukungnya dalam pilkada.
Untunglah kini keluar UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Para
birokrat pun kembali sedikit nyaman.
Tata lembaga baru
Secara umum,
pergeseran UU No 22/ 1999 ke UU No 32/2004 disikapi matang oleh jajaran
birokrasi lokal dan nasional. Dengan demikian, perilaku odasios tidak kental
terjadi di Indonesia saat terjadi perpindahan dari mekanisme pemilihan
melalui DPRD ke pilkada langsung. Berbeda dengan di Amerika Latin.
Pilihan pilkada serentak
sesungguhnya juga bukan tidak mengandung risiko. Terdapatnya sejumlah
pertanda odasios, antara lain, pertama, pilihan atas pilkada serentak yang
dibumbui tarik-menarik antara pilkada langsung dan tak langsung (melalui
DPRD) memperkuat kesimpulan bahwa tidak diyakininya oleh para politisi atas
pilkada langsung dengan mekanisme baru. Kedua, pilkada serentak tetap tidak
menambah nilai baru dalam demokrasi dan beberapa elemen bangsa Indonesia,
dalam hal ini sangat pragmatis. Ketiga, mengenai apa yang akan terjadi dalam
periode kepemimpinan hasil pilkada serentak ini di tingkat nasional/daerah
pun tidak ada yang optimistis, bahkan sebaliknya berpikir pesimistis.
Pilkada serentak pun
dianggap upaya pragmatis untuk kekuasaan semata, bukan untuk perbaikan kondisi
pelayanan publik lokal, kesejahteraan masyarakat atau kemajuan bangsa.
Penilaian terhadap pilkada langsung mandiri tiap daerah, di mana seolah dalam
setahun Indonesia rata-rata per tiga hari mengadakan pemilu amatlah tidak
tepat.
Biaya yang besar seolah
dapat efisien jika dijadikan serentak pun belum tentu benar. Antardaerah
memiliki lingkup masing- masing, tentu tidak kompatibel jika dijadikan ukuran
waktu untuk Indonesia secara nasional. Otonomi menuntut keberagaman, termasuk
penyelenggaraan pilkada. Biaya masing-masing pun tetap sama jika dijadikan
satu, bahkan sesuai perkembangan inflasi bisa jaditambah membengkak ketika
dibuat serentak.
Antisipasi terhadap
munculnya perilaku odasios” tidak lain adalah tata lembaga baru pilkada harus
segera disiapkan oleh pemerintah sebagai siasat atas segala kemungkinan yang
akan terjadi, jika tak ingin keterpurukan menghampiri bangsa ini. Komunikasi
politik yang baik harus dibangun di antara berbagai elemen mengenai pilihan
pilkada serentak tersebut.
Kunci utama tata
lembaga baru adalah perlunya pemahaman oleh semua elemen, termasuk jajaran
birokrasi lokal dan nasional, mengenai nilai baru apa yang ingin diraih dalam
pilkada serentak. Niscaya, dari sini program-program antisipatif akan
ditetapkan dengan sendirinya, mengikuti nilai-nilai baru. Akhirnya kelak
pilkada pun terlembagakan dengan wajah baru. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar