Kamis, 05 November 2015

Pohon & Buah

Pohon & Buah

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 01 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pintu lift terbuka, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun masuk ke dalamnya. Ia keluar di lantai enam. Di saat ia baru saja meninggalkan lift, seorang wanita muda yang juga berada di dalam lift berkomentar dengan teman laki-lakinya, "Parah tu anak. Badannya bau rokok." Hari masih pukul delapan kurang, di Minggu pagi saat kejadian itu berlangsung di apartemen tempat tinggal saya.

Pelajaran?

Setelah membereskan belanjaan rumah di sebuah pasar swalayan mini di lantai dasar, saya kembali masuk ke dalam lift menuju tempat tinggal di lantai lima belas. Selama di dalam lift itu, otak saya mulai dihujani dengan sejuta pertanyaan soal komentar wanita muda terhadap bau rokok di badan anak laki-laki itu.

Apakah di usia sedini itu si bocah sudah merokok? Apakah salah satu atau kedua orangtuanya, atau kakaknya, atau orang lain sedang merokok ketika si bocah lucu berkulit sawo matang itu berada dekat dengan mereka?

Kalau seandainya ia merokok di usia sedini itu, siapa yang mengajari atau yang menginspirasinya untuk melakukan itu? Kalau seandainya ia tidak merokok, tetapi orang lain yang lebih dewasa melakukannya di hadapan bocah cilik itu, apa yang dipikirkan manusia dewasa itu saat melakukan aktivitas merokoknya?

Saya tak sedang mempermasalahkan soal aktivitas merokoknya, tetapi yang lalu lalang di kepala saya adalah satu pertanyaan. Pelajaran apakah yang kira-kira ingin disampaikan kepada si bocah oleh siapa pun yang membuat badannya beraroma asap rokok?

Apakah pelajaran soal kebebasan melakukan apa pun tanpa memedulikan orang lain sehingga bocah itu akan memupuk bakat menjadi makhluk yang hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memedulikan orang lain sejauh itu menyenangkan dirinya?

Apakah pelajaran soal persepsi bahwa merokok itu sama dengan menjadi seorang laki-laki sejati? Apakah memberikan sebuah pelajaran bahwa merokok itu adalah sebuah aktivitas biasa seperti minum air sehingga bisa dilakukan siapa pun dan di mana pun?

Seandainya, di dalam lift itu hanya ada saya dan si bocah, sudah dapat dipastikan saya akan bertanya kepadanya bagaimana sepagi itu, aroma rokok sudah menempel di tubuhnya yang terlihat begitu sehatnya.

Pusat kebugaran

Baru saja kepala ini berhenti berpikir, eh. nurani yang selalu tak diundang datangnya ikut bertanya. Pertanyaan yang disuarakan cukup panjang dan nyelekit seperti biasa. Begini pertanyaannya.

"Apakah koruptor, tukang gosip, manusia yang suka pamer, pongah, pemecah belah, cari muka, pandai menjilat, gampang iri hati, dan pendendam itu karena sedari kecil aroma korup dan lain-lainnya itu udah ditempelin di badan tanpa sengaja atau dengan sengaja oleh orangtua atau siapa pun itu?

Beberapa hari lalu, teman saya bercerita kepada saya bahwa teman dekatnya memberi uang bulanan kepada anaknya yang baru duduk di bangku sekolah menengah pertama sebesar sekian ratus juta rupiah. Kalau saya memberi tahu angka pastinya, saya kok yakin Anda akan kaget, persis seperti pertama kali saya mendengar cerita ini.

Dengan uang bekal begitu berlimpah, anak itu menjadi seorang penguasa di sekolah. Namanya juga penguasa, Anda tahu apa saja yang dapat dilakukan seorang penguasa, bukan? Ketika teman saya menanyakan mengapa ia memberi uang sebanyak itu, sang ibu menjelaskan bahwa uang sebanyak itu adalah untuk kebutuhan anaknya, apalagi kalau mendadak sakit.

Dalam pikiran standar saya, orangtua itu memiliki tanggung jawab menciptakan kebahagiaan di dalam rumah, tempat anak itu tumbuh, tempat orang-orang yang kita cintai berada. Kebahagiaan itu menjadi seperti pusat kebugaran yang disediakan secara cuma-cuma ketika peristiwa di luar rumah meluluhlantakkan seorang anak.

Dan pusat kebugaran yang membahagiakan itu bukan ditemukan dalam bentuk sebuah batang rokok, pada tumpukan uang beratus-ratus juta rupiah, bukan dalam sebuah perilaku orangtua yang pongah, pada orangtua yang tak kuat menahan rasa iba terhadap anak.

Tetapi saya baru ingat soal dua hal. Pertama, mungkin ada manusia yang memang tak mampu menjadi orangtua. Maksud saya menjadi orangtua yang dewasa. Karena kan katanya, menjadi tua itu sudah pasti, tetapi menjadi dewasa itu belum tentu. Katanya.

Nah, buat saya, menikah dan kemudian memiliki anak hanya membuat dua orang meraih sebuah predikat bernama orangtua. Dan predikat itu sama sekali tak berarti bahwa dua orang yang dimaksud mampu memaknai predikat itu sendiri. Karena memaknai itu membutuhkan kedewasaan alias kematangan jiwa.

Kedua, saya lupa, kalau standar kebahagiaan yang diciptakan sebagai pusat kebugaran untuk setiap orang itu tidak sama. Saya ingin anak saya berbahagia bukan karena menjadi penguasa, melainkan mungkin ada orangtua yang berbahagia menyediakan pusat kebugaran, agar memiliki anak yang mampu menjadi seorang laki-laki sejati, sekaligus penguasa yang merokok. Mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar