Dunia yang Tak Aman
Kristi Poerwandari ; Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
01 November 2015
Mungkin banyak dari kita menganggap dunia tempat kita tinggal
tidak aman. Hampir setiap hari surat kabar dan televisi memberitakan
kecelakaan lalu lintas, pemutusan hubungan kerja, persoalan ekonomi negara,
kekerasan seksual, hingga pembunuhan sadis. Beberapa berita terkini yang
mengisi media adalah persoalan hukum yang membelit Bu Risma, kabut asap yang
mengganggu kesehatan, bahkan telah membunuh anak, hingga kasus penculikan
yang diduga melibatkan orang dalam.
Kita jadi bertanya-tanya bagaimana dapat hidup tenang dan
memiliki pemimpin yang baik apabila pihak berkuasa jegal-menjegal dengan
memperalat hukum, atau bagaimana dapat merasa aman meninggalkan anak di rumah
sementara kita harus bekerja sampai malam di lokasi yang jauh untuk mencari
uang. Masa kini saja dijalani dengan napas ngos-ngosan dan hati deg-degan,
mungkin kita tidak sempat memikirkan masa depan atau bahkan tidak berani
membayangkannya daripada dilanda lebih banyak kecemasan.
Bagaimana membangun rasa aman dalam dunia yang tidak memberi
rasa aman? Melanie Greenberg (2012), Suzanne Hosang (2014), dan Alix Purcell
(2014) mengajak kita untuk pertama-tama, menerima dan mengakui perasaan kita.
Munculnya perasaan cemas, bingung, atau sedih adalah suatu reaksi wajar dan
normal.
Membangun rasa aman
Penting untuk kita tetap membangun rutinitas hidup. Jangan
membaca atau menonton berita sepanjang waktu apabila itu akan menghabiskan
waktu kita secara tidak produktif, atau membuat kita merasa tak berdaya.
Mencanangkan capaian harian akan membantu menetralisasi, serta mengarahkan
pikiran dan tindakan kita menjauh dari kecemasan dan rasa takut.
Tidak perlu memarahi diri yang sedang melemah, atau memaksa
membuang perasaan yang memang masih kita rasakan. Lebih penting untuk
menemukan lingkungan yang memberikan rasa nyaman, dengan keluarga dan teman,
atau melalui aktivitas sederhana seperti mendengarkan musik, merawat tanaman,
dan mengurus binatang peliharaan.
Rutinitas hidup perlu diperbarui dengan memasukkan olahraga,
makan sehat, dan tidur cukup. Merenung, yoga, atau meditasi dapat memperbarui
sumber daya diri. Apabila diperlukan, kita dapat membangun ’mental safe place’,
maksudnya tempat aman dalam batin kita untuk membantu membuang tekanan hidup,
entah riil (misal di depan kolam ikan di samping rumah) atau yang bersifat
imajiner. Afirmasi dan visualisasi positif membantu mengeset mood yang
positif pula.
Kita dapat mengalami peristiwa traumatik atau sangat menekan,
atau bahkan menjadi kehilangan keseimbangan bukan karena mengalami sendiri,
melainkan karena menyaksikan suatu peristiwa menakutkan. Apabila itu terjadi,
baik untuk menuliskan apa yang mengganggu kita, apa yang kita pikir dan
rasakan terkait peristiwa. Banyak orang menulis buku harian untuk menemukan
diri atau solusi dari persoalannya. Ini karena menulis dapat membantu kita
mengorganisasi situasi dan reaksi menjadi cerita yang lebih jelas. Bahkan,
dalam perjalanan menulis itu, kita sering dapat melakukan rekonstruksi atas
apa yang terjadi. Yang sebelumnya dirasa mengguncang sedemikian dahsyat dapat
dimaknai secara berbeda (”Saat itu aku masih lemah, sekarang aku kuat, aku
bisa mengatasi bahkan dapat membantu orang lain.”).
Untuk memberi rasa nyaman pada diri, lebih baik menjauh dari
mereka yang terus menyalahkan pihak lain, banyak mengkritik, tetapi kurang
berefleksi pada perilaku diri sendiri. Lingkungan yang positif membantu kita
untuk tetap dapat menemukan berbagai sisi positif dari hidup yang tidak
sempurna.
Dalam situasi sulit, menjadi makin perlu bagi kita untuk
menghadirkan yang positif. Kita menetralisasi situasi sulit dengan
menggunakan kata-kata positif dalam percakapan dengan orang lain dan dengan
diri sendiri. Kita melakukan hal baik yang dapat kita lakukan dan berserah
untuk yang di luar pengendalian kita.
Sebelum tidur, dan saat bangun, akan baik apabila kita dapat
memikirkan hal baik yang terjadi, meski kecil dan sederhana. Tetap dapat
bersyukur dan mencintai yang (masih) kita miliki menjadi salah satu hal
penting untuk dapat melewati saat-saat sulit. Kita berterima kasih atas
titipan kepemilikan dan kehadiran orang-orang di masa lalu dan masa kini,
yang memberikan dukungan, kasih sayang, dan kekuatan pada kita.
Bagian dari perubahan
Akhirnya, dalam situasi sulit, kita tetap perlu membangun
komitmen pada nilai-nilai hidup yang kita anggap paling penting atau
bernilai. Apa yang menurut kita terpenting? Integritas? Keluarga dan
orang-orang terdekat? Kepedulian dan saling membantu?
Nilai-nilai penting dengan mudah tergerus oleh kesulitan hidup,
atau oleh ketidakpedulian yang diakibatkan kesulitan hidup itu. Yang dulunya
berpikir kerja sama penting, karena pengalaman dicurangi atau dijahati menjadi
tak peduli lagi, dan ikut melakukan berbagai tindakan yang merugikan orang
lain.
Tidak perlu berpikir menjadi tokoh sehebat Nelson Mandela atau
pemimpin dunia lainnya yang siap dipenjara atau dianiaya karena keyakinan
politik dan perjuangannya. Cukup berpikir mengenai keluarga, anak, atau
lingkungan terdekat yang menjadi bagian dari tanggung jawab kita.
Ada yang mungkin demikian melemah bahkan kehilangan keberanian
untuk berkompetisi di sekolah atau di tempat kerja—di Jepang ada
’hikikomori’, fenomena anak-anak muda yang mundur karena ketakutan dan
memilih mengurung diri di rumah. Apabila demikian halnya, kita perlu mengaku
’aku saat ini bermasalah’ dan meminta bantuan orang terdekat yang dipercaya
atau profesional agar dapat keluar dari ketakutan, dan memandu dalam mulai
beraktivitas.
Hidup serba tidak sempurna. Semoga kita bukan menjadi bagian
dari sumber persoalan yang makin mengacaukan, melainkan menjadi bagian dari
perubahan yang konstruktif dan penyelesaian masalah dalam masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar