Pembangunan Pasca Kapitalis
Fachry Ali ; Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
|
KOMPAS,
02 November 2015
Pertanyaan penting
yang melatarbelakangi tulisan ini adalah: dalam situasi perekonomian global
di bawah cerpu kapitalisme liberal yang "kian tak stabil", dapatkah
negara menawarkan optimisme dengan "model pembangunan pasca elite"
yang berpengaruh konstruktif terhadap penguatan demokrasi?
Frasa
"kapitalisme yang kian tak stabil" ini terinspirasi gugatan Charles
Moore, mantan editor The Daily
Telegraph dan penulis biografi Margaret Thatcher (Perdana Menteri
Inggris, 1979-1990), terhadap model pembangunan kapitalisme liberal yang
sejatinya elitis (elite-biased).
Sifat elitis ini terkandung pada pertanyaan Moore dalam tulisannya "The Middle Class Squeeze" (The Wall Street Journal, 28/9/2015):
"Apa gunanya kapitalisme jika keuntungannya diperuntukkan kepada
segelintir dan risikonya ditanggung banyak kalangan?" Apa, sih, hebatnya
globalisasi jika itu berarti barang-barang dan jasa yang Anda tawarkan dijual
murah melalui persaingan antar-bangsa dan jutaan orang baru bisa datang ke
negerimu, mengambil lapangan kerjamu, dan menikmati tunjangan negara (welfare benefits)?
Dan, gugatan Moore
berlanjut: "Jangankan merasa
beruntung menjadi orang biasa dari sebuah negeri bebas, banyak dari kita
mulai merasa seperti orang-orang yang mudah diperdaya (suckers). Harapan, hal
tak terpisahkan dari kemajuan, memudar dan berganti kekecewaan, bahkan
kegetiran (bitterness). Selama ini dihayati bahwa peluang senantiasa membawa
harga ketakamanan (insecurity), tetapi apa yang terjadi jika ketakamanan itu
meningkat, sementara peluang menyusut?"
Dalam penafsiran saya,
ketidakstabilan sistem global elitis ini memberi tanda potensi gerak ke arah
tatanan "pasca kapitalisme liberal" bagi lahirnya "model
pembangunan pasca elite". Gejala ini, dalam proses politik Eropa,
menurut Moore, adalah terpilihnya Jeremy Corbyn (66) sebagai pemimpin Partai
Buruh Inggris. Beberapa bulan lalu,
Corbyn adalah tokoh paling tak layak pilih (the most unelectable
person). Dikenal sebagai veteran politik kiri yang garang, bermimpi
berakhirnya kapitalisme telah menjadi
daya tarik Corbyn. Bagi Moore, ini tak hanya mengulang pasangnya partai sayap
kiri Syriza di Yunani, demokrasi-sosialis Berni Sanders di AS, dan anti
pengetatan belanja negara (antiausterity)
Nasionalis Skotlandia, tetapi juga Front Nasional Perancis di bawah Maeri Le
Pen, Fidez di bawah Viktor Urban di Hongaria, dan the UK Independence Party
(UKIP) di Inggris; sesuatu yang fundamental di dalam sistem ekonomi kapitalis
liberal.
Jokowi dan warisan sistem ekonomi liberal
Mengonseptualisasikan
kemunculan Jokowi musim kampanye Pilpres 2014, saya memperkenalkan frasa
"pemimpin pasca elite" (post-elite
leader) dalam beberapa tulisan di Kompas, The Jakarta Post, dan Gatra. Walau "berwajah rakyat" dan tanpa mengontrol
satu pun partai politik, Jokowi meretas sejarah politik baru Indonesia:
mengalahkan para raksasa Jakarta, seperti Megawati Soekarnoputri,
konglomerat-cum-pemimpin Golkar Aburizal Bakrie,
jenderal-cum-pengusaha-pemimpin Partai Gerindra Prabowo Subianto,
jenderal-cum-ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pramono Edhie Wibowo;
konglomerat media massa-cum- Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan para elite
aspiran presiden lainnya.
Apakah kemenangan
"marhaen" Jokowi ini pertanda penolakan rakyat atas sistem
kapitalisme liberal seperti digambarkan Moore? Mengambil risiko
"salah", saya menjawab "tidak". Kemunculan Jokowi lebih
mengungkapkan "eksperimen politik rakyat" mendudukkan kalangan
sendiri (rakyat) memimpin bangsa ini, tanpa, secara serius, mempersoalkan
sistem ekonomi yang berlaku.
Lepas dari
"retorika" Pasal 33 UUD 1945, dalam kenyataannya perekonomian
Indonesia di bawah Jokowi adalah sistem kapitalisme liberal warisan
"tekanan" IMF masa Reformasi 1998 dan setelahnya. Tesis masa itu,
krisis finansial dan ekonomi 1997-1998 itu adalah akibat penyimpangan sistem
dan kebijakan ekonomi negara-negara Asia Pasifik dari sistem dan praktik
kapitalisme global. Maka, seperti tertera dalam buku Ginandjar Kartasasmita
dan Joseph J Stern, Reinventing Indonesia (2015), usaha pemulihannya adalah
tindakan sistematis dan "berdisiplin tinggi" mengikuti jalan aktor-aktor
kapitalisme global melalui perangkat-perangkat hukum dan pendirian
lembaga-lembaga bersifat anti monopoli, kepailitan, code of conduct, dan
pengetatan belanja negara yang diikuti dengan kebijakan uang ketat serta
privatisasi badan usaha negara.
Semua ini bertujuan
membentuk kelembagaan, hukum, dan code
of conduct domestik sesuai standar praktik dan laku sistem ekonomi
global. Ringkasnya, kebijakan ekonomi itu bersifat outward looking; yakni,
sembari mengurangi orientasi domestik, seluruh sumber daya ekonomi
riil dan finansial harus "disandarkan" pada kecenderungan mekanisme
pasar global. Maka, di samping ekspor komoditas harus dipacu, sistem
finansial harus cukup terbuka menampung arus modal (capital inflows) asing ke dalam perekonomian Indonesia melalui mekanisme
pasar modal. Hasilnya, Indonesia pasca Reformasi kian menyatu dalam sistem
ekonomi global. Di sini, eksistensi dan legitimasi politik sebuah negara,
dengan demikian, juga "tersandarkan" pada konstruktif atau
destruktifnya kinerja perekonomian global.
Inilah yang
terwariskan kepada Jokowi. Sayangnya, justru di masanya, kinerja ekonomi
global tak terlihat konstruktif. "Jangkar perekonomian global",
yaitu AS, Tiongkok, dan Jepang, serta negara zona euro, kian terbelit
persoalan tersendiri. Akibatnya, walau cukup terbuka lebar, pasar finansial
senantiasa berada dalam ancaman pelarian modal karena tergantung pada
kemungkinan The Fed mengetatkan kebijakan moneternya. Ini menimbulkan
kontradiksi struktural.
Sementara devisa
tergerus hingga 101,7 miliar dollar AS per September dari 120 miliar dollar
AS awal 2015 (untuk menstabilkan rupiah, membiayai impor, penurunan
pendapatan ekspor akibat kelesuan permintaan Tiongkok yang melambat
ekonominya dan resesi berkepanjangan), pada saat yang sama suku bunga perbankan
harus dinaikkan untuk mencegah inflasi. Kelangkaan likuiditas tak
terhindarkan, berbuntut pada gejala demanufakturisasi. Pengangguran yang
ditelorkannya mendorong penurunan daya beli yang memperparah kelangkaan modal
dan menurunnya investasi swasta domestik. Ujungnya, potensi kontraksi
pertumbuhan.
Dalam konteks
sirkulasi kepemimpinan politik, kemunculan Jokowi memang bersifat "pasca
elite". Namun, di dalam sistem ekonomi, negara di bawah Jokowi secara
struktural masih berada dalam lingkup sistem (dan logika) kapitalisme liberal
bersifat elitis. Negara, secara tak otonom, terpaksa, seperti terlihat dewasa
ini, harus terus-menerus menyesuaikan diri.
Dalam situasi jangkar
ekonomi global tak berkinerja, apakah negara mampu membangun optimisme? Jawabannya:
ada. Pengeluaran pemerintah, dipadu kinerja BUMN yang produktif, sedikit
banyak memberikan pengharapan. Bahkan, dari mulut Jokowi sendiri keluar
perintah pelonggaran syarat penggelontoran dan penurunan suku bunga kredit
usaha rakyat tahun ini dan menaikkan alokasinya dari Rp 30 triliun menjadi Rp
90 triliun pada 2016 (Kompas, 6/10/2015). Namun, apa ada landasan kuat yang
mendorong lahirnya model pembangunan pasca elite?
Korporatisasi BUMR
Menjawab pertanyaan
ini, kita perlu melihat gagasan "begawan manajemen" dan mantan
menteri BUMN Tanri Abeng. Dalam bukunya BUMR: Badan Usaha Milik Rakyat,
diterbitkan Kompas-Gramedia (2015), Tanri membuka terobosan baru yang
berpotensi membawa Indonesia ke model pembangunan "pasca ekonomi liberal".
Secara harfiah, BUMR adalah badan usaha yang dianggotai rakyat dalam bentuk
korporasi. Namun, secara konseptual, proses korporatisasi badan usaha ini
adalah membangunkan "raksasa ekonomi" secara tak berpreseden.
Dengan data Kementerian Koperasi dan UKM 2012 saja, Tanri memperlihatkan
terdapat 56.534.592 unit usaha dalam skala ini dengan daya serap tenaga kerja
langsung 107.657.509 orang atau 97,2 persen dari seluruh angkatan kerja.
Angka ini tampak raksasa di hadapan usaha besar yang hanya 4.968 unit dengan
daya serap tenaga kerja hanya mencapai 3.150.645 orang.
Mengutip studi BS
Kusmuljono, Tanri menyatakan "raksasa ekonomi" ini akan tetap
"tertidur" karena injeksi kredit dari sistem yang berlaku selama
ini tak tepat. Selain karena sistem pendanaan terlalu terfragmentasi, para
pejabat negara, terutama tingkat provinsi/kota/kabupaten ke bawah, berada
dalam posisi mismatch (tak tersambung) untuk membangunkan "raksasa"
ini. Karena itu, semacam "politik-ekonomi baru" harus digelar;
yaitu tindakan memobilisasi seluruh sumber daya yang tersedia untuk
membangunkan kinerja "raksasa ekonomi" itu dengan proses
korporatisasi UKM, menggerakkan aparat pemerintah provinsi/kota/kabupaten
hingga kecamatan dan desa, serta menciptakan sistem finansial inklusif.
Korporatisasi adalah
pembentukan badan hukum usaha rakyat dalam bentuk BUMR. Ini, tulis Tanri, "adalah solusi terhadap kelemahan
struktural koperasi, usaha kecil, dan mikro untuk menjadi lembaga pelaku
ekonomi yang memiliki posisi sejajar dengan badan-badan usaha lain."
Di bawah manajemen modern yang efektif, dianggotai 56.534.592 unit usaha,
didukung 107.657.509 pekerja (lebih besar dari 75 juta penduduk Thailand atau
90 juta penduduk Filipina), BUMR ini akan jadi kekuatan bisnis tak termanai
dan memaksa badan-badan usaha milik swasta (BUMS), BUMN, bahkan badan usaha
swasta milik asing (BUSMA) bekerja sama. Di samping qua jumlah anggota BUMR
itu telah menjadi pasar tersendiri, artikulasi potensi bisnis di bawah
manajemen modern berpotensi melahirkan kekuatan ekonomi tak terbayangkan.
Menggerakkan aparat
pemerintah adalah tindakan edukatif atas pejabat-pejabat
provinsi/kota/kabupaten hingga tingkat bawah bukan saja untuk mengenali
potensi ekonomi BUMR pada wilayah yurisdiksi masing-masing, melainkan juga
memberikan fasilitas birokrasi dan politik bagi perkembangannya. Geliat BUMR
akan mendorong perkembangan ekonomi konstruktif di setiap
daerah/pemerintahan. Kerja sama BUMR-BUMS-BUMN- BUMSA akan menyebabkan
masing-masing daerah itu masuk ke dalam "orbit" perekonomian nasional
dan global.
Menciptakan sistem
finansial inklusif adalah membangun Lembaga Keuangan Usaha Rakyat (LKUR).
Ditekankan, sistem perkreditan yang berlaku (dari APBD, APBN) tak sensitif
terhadap kebutuhan riil dan strategis pelaku ekonomi kecil dan menengah. Ini
karena, government-driven programs
sering tak sesuai dengan karakter bisnis. Buktinya, tulis Tanri lebih lanjut,
"Dari total UMKM sebanyak 56,5 juta (2012), 55,8 juta di antaranya, atau
99,8 persen, adalah usaha mikro yang pada umumnya belum bankable dan tidak
punya kemampuan mengakses sumber pendanaan yang ada." Dalam konteks ini,
"raksasa ekonomi" ini tetap tertidur. Untuk membangunkannya
diperlukan LKUR yang sensitif terhadap kebutuhan bisnis UKM. "Jika 20
juta dari total 56,5 juta UMKM menabung Rp 10.000 setiap hari," tulis
Tanri, "dana yang terkumpul mencapai Rp 60 triliun. Jumlah yang cukup
besar untuk menggerakkan ekonomi rakyat." Dalam arti kata lain, seluruh
kekuatan finansial negara yang dialokasikan kepada UMKM akan jauh lebih
efisien dan produktif di bawah pengelolaan LKUR.
Penguatan demokrasi
Dari perspektif
"subyektif" Presiden Jokowi, keberhasilan mengembangkan BUMR ini
akan bersifat paradigmatik. Sebab, dengan itu, Jokowi mampu memadukan dua hal
sekaligus: "kepemimpinan pasca elite" dan "model pembangunan
pasca elite". Apa yang disebut "membangun dari pinggiran",
dalam program kepresidenannya, menemukan rangka operasional melalui gagasan
Tanri Abeng ini. Mengapa? Karena seluruh aktivitas BUMR didasarkan pada
pengolahan produk lokal, pelaksanaannya bukan saja tak memerlukan impor yang
menghabiskan devisa, melainkan juga berpotensi mendorong ekspor dengan aktor
utama rakyat biasa. Jika berhasil, julukan liberating force bagi BUMR sama nilainya dengan gerakan kredit
kecil oleh penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus melalui
Grameen Bank-nya.
Lalu, apa dampak
politik pelaksanaan "model pembangunan pasca elite"? Jawabannya
adalah penguatan demokrasi.
Menjawab pertanyaannya
sendiri tentang mengapa Amerika Utara lebih demokratis daripada Amerika
Selatan, termasuk Indonesia, dalam Civilization:
The West and the Rest (2011), Niall Ferguson menyatakan: Karena dasar
kemasyarakatan Amerika Utara sejak abad ke-17 didasarkan kepada kepemilikan
tanah pribadi (property-based society).
Sementara Amerika Selatan dan Hindia Belanda di bawah jajahan Spanyol dan
Belanda merampok dan menguasai dengan kekuatan militer. Dengan sederhana
dapat disimpulkan kontrol masing-masing rakyat atas bidang usaha membuatnya
otonom secara politik. Otonomi ekonomi inilah yang menjadi saka guru demokrasi
di AS.
Pengembangan BUMR yang
dianggotai lebih dari 100 juta penduduk, dengan demikian, identik dengan
pemberian otonomi ekonomi kepada mereka. Dalam posisi semacam ini, proses
penguatan demokrasi akan lebih mudah berlangsung di Indonesia ketika rakyat secara
ekonomi tak lagi tergantung kepada siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar