Membongkar Ideologi Kepahlawanan
Benny Susetyo ;
Research Fellow PARA Syndicate
|
KORAN
SINDO, 14 November 2015
Setiap merayakan Hari
Pahlawan memori kita terjebak pada sosok pahlawan sebagai orang yang berjuang
hingga titik darah penghabisan dengan hanya menggunakan senjata bambu
runcing.
Memori publik kita
selalu mengaitkan personifikasi kepahlawanan dengan mitos bambu runcing.
Ideologi ini tertanam dalam benak publik bahwa pahlawan adalah orang yang
berjuang secara fisik dengan menggunakan bambu runcing. Ideologi ini
ditancapkan ke dalam benak publik sehingga berakibat memori publik tergiring
sebagai wujud benda dalam penampilan karya seni, patung, prasasti, atau
monumen belaka.
Teks kepahlawanan
berdasarkan heroisme belaka, tanpa melihat kognisi sosial dan konteks
sehingga nilai kepahlawanan sekadar mitos yang bersifat memorial tanpa
aktualisasi nyata dalam kehidupan berkonteks kekinian. Meminjam analisis
wacana kritis van Dijk, terdapat tiga dimensi data: teks, kognisi sosial,
konteks.
Analisis kritis van
Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana itu ke dalam kesatuan analisis secara
komprehensif. Karena itu, menelisik wacana kepahlawanan yang berkembang
selama ini menjadi sebuah kebutuhan. Apakah teks kepahlawanan yang dominan
ideologi heroisme belaka telah membawa akibat sekadar romantisme, namun tidak
mampu mengubah sikap kehidupan dan perilaku masyarakat.
Mitos “Bambu Runcing”
Pahlawan bukan sekadar
mitos “bambu runcing”, melainkan mereka adalah sosok yang terusmenerus
mengaktualkan nilai dan menggali kreativitas dengan memberikan nilai tambah
bagi kehidupan masyarakat. Sederhananya, pahlawan adalah mereka yang bisa
menciptakan jutaan lapangan kerja bagi para pengangguran.
Pahlawan adalah sosok
pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan yang murah dan akses
kesehatan yang terjangkau. Kesan umum selama ini bahwa pahlawan adalah mereka
yang gagah berani berjuang mengangkat senjata di medan perang. Sosok pahlawan
jadi identik dengan bersenjata. Mereka itu yang disebut pahlawan.
Mitos “bersenjata”
inilah yang membuat kita miskin gagasan dan citacita dalam membangun bangsa
yang kreatif dan inovatif dalam kerja yang produktif. Sebabnya, budaya akal
sehat tidak menjadi pertimbangan utama. Narasi kepahlawanan kita mengalami
reduksi makna. Akibatnya, makna kepahlawanan dibatasi dengan pengertian yang
sangat sempit dan kurang tepat karena mitos itu hanya melahirkan dominasi
“budaya otot” dalam ruang-ruang publik.
Pola ini yang membuat
kita jadi kurang menghargai akal sehat dan pertimbangan rasional. Faktanya,
kemerdekaan Indonesia bukan sekadar buah hasil dari perang fisik angkat
senjata, melainkan juga buah jasa dari para pekerja otak yang mendayakan
kecerdasan pikiran, kerja intelektual, kreasi budayawan dan sastrawan, serta
seluruh kekuatan rakyat.
Melalui strategi
perang diplomasi internasional mereka mampu meyakinkan dunia bahwa penjajahan
bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan. Pemaknaan pahlawan selama ini
identik dengan romantisme perjuangan menggunakan senjata dan tumpah darah.
Kepahlawanan lebih dilihat dengan personifikasi heroisme menegakkan
panji-panji kebesaran. Seperti dikembangkan mitos bahwa kepahlawanan adalah
dunia orang-orang supergagah berani semata.
Memang itu tidak
salah. Namun, jika hanya satu dimensi itu yang diangkat, justru akan
menenggelamkan nilai-nilai kepahlawanan yang sejati. Hendaknya kita jangan
terjebak pada mitos kepahlawanan sempit seperti itu. Hal ini hanya akan
melahirkan generasi yang punya imajinasi sempit dan miskin gagasan. Jika
dibiarkan, secara pelan, namun pasti, bangsa ini kurang menghargai kecerdasan
berpikir dan kreativitas bekerja, yang bisa digali dari pemaknaan
kepahlawanan yang sejati.
Revitalisasi Kepahlawanan
Bangsa ini membutuhkan
revitalisasi makna kepahlawanan lebih luas yang relevan bagi kehidupan
kekinian. Bagaimana supaya nilai-nilai kepahlawanan bisa mengejawantah dalam
sikap hidup dan perilaku kita? Masih adakah pahlawan di negeri kita hari ini?
Sejauh mana mental, perilaku, sikap, keteladanan para pahlawan, yang tidak
pernah lupa kita peringati, bisa aktual dan mengejawantah dalam kehidupan
kita seharihari? Relevansi dan revitalisasi itu yang penting dan dibutuhkan.
Tidak cukup
menghormati mereka hanya dengan mengheningkan cipta menundukkan kepala
semenit untuk mendoakannya? Sebab, pahlawan bukan hanya dimaknai sebagai
orang yang berjuang mengorbankan jiwa raganya. Sudah waktunya pahlawan
diartikan sebagai nilai-nilai dan semangat. Terlalu sempit jika menghargai
pahlawan hanya sebagai sosok fisiknya.
Sejatinya kepahlawanan
adalah semangat berdikari, semangat membela kaum tertindas, dan membela
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam pengertian fisik, sosok pahlawan mungkin akan
terus kita ingat. Tetapi, buat apa mengingat dan memperingatinya setiap tahun
jika tak ada internalisasi nilai-nilai yang mengejawantah dalam segenap sikap
dan perilaku kita.
Apalagi jika kita
justru makin menggerusnya dengan kemunafikan dan kebohongan. Kita mempercayai
adagium “sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.”
Namun, hendaknya pemaknaan pesan itu jangan terlalu datar dan hanya
penghormatan sebatas rutinitas formal tahunan. Seperti pertempuran Surabaya,
kala itu Bung Tomo berjuang menegakkan harkat dan martabat Indonesia merdeka,
membela kehormatan bangsa dan kedaulatan negara dari ancaman kolonialisme.
Kita saat ini tidak
cukup sekadar “mengheningkan cipta” tanpa pemahaman makna yang menggugah
kesadaran. Hal mengheningkan cipta bukan soal kepala tertunduk saja. Di sana
seharusnya menghidupkan dorongan yang menggerakkan kesadaran reflektif untuk
meneladani sikap hidup dan keutamaan seorang pahlawan, yang setia mengabdi
kemanusiaan, membela hak yang dirampas, melayani yang lemah dan tertindas.
Tidak cukup
menghormati pahlawan dan mengenang jasanya hanya dengan mengheningkan cipta
jika tanpa mengaktualkan habitus kepahlawanan dalam kehidupan nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar