Kamis, 05 November 2015

Malu

Malu

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 24 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperti biasa, dengan suara menggebu dan tangan tak bisa diam, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (NasDem) Surya Paloh mengajak bangsa yang pernah berbudaya luhur ini kembali mengenal rasa malu. Hal itu dikaitkan dengan "musibah kecil" yang menimpa Partai NasDem. Sekretaris jenderal partai, Patrice Rio Capella tiba-tiba dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hanya perlu waktu tiga jam, Rio Capella sudah dicopot dari partai, bahkan juga sebagai anggota DPR. Surya Paloh menyebutkan, kita harus membudayakan rasa malu. Korupsi itu memalukan. NasDem memang terkenal dengan gerakan perubahan atau restorasi Indonesia. Kembali memiliki rasa malu bisa jadi restorasi yang paling mendasar, tak usah bicara yang muluk-muluk. Dengan memiliki rasa malu, seseorang bisa menahan diri dari nafsu setan, berhati-hati melangkah, dan selalu becermin: "Kalau saya melakukan perbuatan buruk itu, memalukan keluarga apa tidak, ya?"

Tak lama setelah Rio Capella dijadikan tersangka, DPR, yang "belum berhasil" melemahkan KPK, kembali jadi korban. Kali ini menimpa Dewie Yasin Limpo, politikus Partai Hanura. Dewie tertangkap tangan menerima suap untuk sebuah proyek kelistrikan di Papua yang baru dalam pembahasan anggaran. Bayangkan, proyek di negeri ini baru pada tingkat pembahasan saja sudah ada suap-suapan di DPR, lembaga yang menyetujui dan mengawasi anggaran. Luar biasa modus korupsi sekarang ini.

Andai Dewie mempertimbangkan rasa malu, mungkin dia tak perlu melakukan hal itu. Apa lagi yang kurang pada keluarga Limpo? Kekayaan dan kehormatan sudah menyatu. Ayah Dewie tokoh terhormat dan amat disegani di Makassar, kakaknya sedang menjabat gubernur saat ini, saudara-saudaranya pegang berbagai jabatan publik dengan kendaraan politik yang berbeda-beda. Setitik Dewie, rusak dinasti Limpo sebelanga.

Adakah semesta bergerak? Ketika para dinasti yang awalnya membangun kedinastian dengan idealisme lalu tergoda untuk menguasai secara berlebihan dan rakyat tak berdaya mengingatkan, alam pun ikut campur. Gara-gara diabaikannya rasa malu, beberapa dinasti guncang. Dinasti Atut di Banten, kini dinasti Limpo di Makassar. Juga "setengah dinasti" yang sedang dibangun di Bangkalan.

Memudarnya rasa malu tak cuma di kalangan para dinasti. Juga perorangan. Misalnya, anggota DPR—lagi-lagi harus dijadikan contoh buruk. Dewie Limpo adalah anggota DPR ke-86 yang dijerat KPK sejak 2002. Semua partai tak ada yang bersih mulus. Di luar korupsi, rasa malu pun merosot di urusan etika. Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkena kasus saat bertemu dengan kandidat presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kasusnya ditangani majelis kehormatan. Kedua pemimpin DPR itu sudah tiga kali dipanggil majelis, tapi mangkir. Tiba-tiba saja majelis memutuskan memberikan hukuman ringan: teguran. Bagaimana mungkin orang yang gagal diperiksa tiba-tiba dijatuhi hukuman? Baik pimpinan DPR maupun majelis sudah tak punya rasa malu mempertontonkan sandiwara ini.

Tentu tak adil jika hanya menyebut anggota DPR. Rasa malu yang hilang melanda berbagai orang. Ada yang mencela Presiden Jokowi dan tanpa malu memelihara kebencian itu terus-menerus. Sebaliknya, ada yang terus-menerus membela Jokowi apa pun yang dikerjakan, juga tanpa malu-malu. Padahal Jokowi bisa salah dan bisa pula benar. Mari ikuti Surya Paloh yang mengajak kita untuk punya rasa malu, meski Bang Surya patut juga dikritik karena tak malu tampil berlama-lama di televisi yang frekuensinya milik publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar