Malu
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
24 Oktober 2015
Seperti biasa, dengan suara
menggebu dan tangan tak bisa diam, Ketua Umum Partai Nasional Demokrat
(NasDem) Surya Paloh mengajak bangsa yang pernah berbudaya luhur ini kembali
mengenal rasa malu. Hal itu dikaitkan dengan "musibah kecil" yang
menimpa Partai NasDem. Sekretaris jenderal partai, Patrice Rio Capella
tiba-tiba dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hanya perlu waktu tiga jam, Rio
Capella sudah dicopot dari partai, bahkan juga sebagai anggota DPR. Surya
Paloh menyebutkan, kita harus membudayakan rasa malu. Korupsi itu memalukan.
NasDem memang terkenal dengan gerakan perubahan atau restorasi Indonesia.
Kembali memiliki rasa malu bisa jadi restorasi yang paling mendasar, tak usah
bicara yang muluk-muluk. Dengan memiliki rasa malu, seseorang bisa menahan
diri dari nafsu setan, berhati-hati melangkah, dan selalu becermin:
"Kalau saya melakukan perbuatan buruk itu, memalukan keluarga apa tidak,
ya?"
Tak lama setelah Rio Capella
dijadikan tersangka, DPR, yang "belum berhasil" melemahkan KPK,
kembali jadi korban. Kali ini menimpa Dewie Yasin Limpo, politikus Partai
Hanura. Dewie tertangkap tangan menerima suap untuk sebuah proyek kelistrikan
di Papua yang baru dalam pembahasan anggaran. Bayangkan, proyek di negeri ini
baru pada tingkat pembahasan saja sudah ada suap-suapan di DPR, lembaga yang
menyetujui dan mengawasi anggaran. Luar biasa modus korupsi sekarang ini.
Andai Dewie mempertimbangkan
rasa malu, mungkin dia tak perlu melakukan hal itu. Apa lagi yang kurang pada
keluarga Limpo? Kekayaan dan kehormatan sudah menyatu. Ayah Dewie tokoh
terhormat dan amat disegani di Makassar, kakaknya sedang menjabat gubernur
saat ini, saudara-saudaranya pegang berbagai jabatan publik dengan kendaraan
politik yang berbeda-beda. Setitik Dewie, rusak dinasti Limpo sebelanga.
Adakah semesta bergerak? Ketika
para dinasti yang awalnya membangun kedinastian dengan idealisme lalu tergoda
untuk menguasai secara berlebihan dan rakyat tak berdaya mengingatkan, alam
pun ikut campur. Gara-gara diabaikannya rasa malu, beberapa dinasti guncang.
Dinasti Atut di Banten, kini dinasti Limpo di Makassar. Juga "setengah
dinasti" yang sedang dibangun di Bangkalan.
Memudarnya rasa malu tak cuma
di kalangan para dinasti. Juga perorangan. Misalnya, anggota DPR—lagi-lagi
harus dijadikan contoh buruk. Dewie Limpo adalah anggota DPR ke-86 yang
dijerat KPK sejak 2002. Semua partai tak ada yang bersih mulus. Di luar
korupsi, rasa malu pun merosot di urusan etika. Ketua DPR Setya Novanto dan
Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkena kasus saat bertemu dengan kandidat presiden
Amerika Serikat, Donald Trump. Kasusnya ditangani majelis kehormatan. Kedua
pemimpin DPR itu sudah tiga kali dipanggil majelis, tapi mangkir. Tiba-tiba
saja majelis memutuskan memberikan hukuman ringan: teguran. Bagaimana mungkin
orang yang gagal diperiksa tiba-tiba dijatuhi hukuman? Baik pimpinan DPR
maupun majelis sudah tak punya rasa malu mempertontonkan sandiwara ini.
Tentu tak adil jika hanya
menyebut anggota DPR. Rasa malu yang hilang melanda berbagai orang. Ada yang
mencela Presiden Jokowi dan tanpa malu memelihara kebencian itu
terus-menerus. Sebaliknya, ada yang terus-menerus membela Jokowi apa pun yang
dikerjakan, juga tanpa malu-malu. Padahal Jokowi bisa salah dan bisa pula
benar. Mari ikuti Surya Paloh yang mengajak kita untuk punya rasa malu, meski
Bang Surya patut juga dikritik karena tak malu tampil berlama-lama di
televisi yang frekuensinya milik publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar