Deregulasi Berbahasa
Saifur Rohman ; Pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia
Universitas Negeri Jakarta
|
JAWA
POS, 26 Oktober 2015
TERHITUNG
Oktober 2015 ini sudah dua bulan umur putusan menghapus pentingnya bahasa
Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA). Penerbitan Permenaker Nomor 16 Tahun
2015 itu merupakan pengganti Permenakertrans 12/2013.
Selama itu
pula respons negatif publik tidak mendapatkan perhatian pemerintah.
Tampaknya, pemerintah tetap bersikukuh dengan pandangan tentang perlunya
deregulasi bahasa bagi TKA untuk peningkatan investasi, bisnis, dan alih
teknologi.
Ketika
diyakini tidak ada hubungan antara kemampuan berbahasa Indonesia dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, justru hal yang perlu ditanyakan:
mentalitas seperti apakah yang menghasilkan keyakinan tersebut? Bila
argumentasi ekonomi tidak perlu didukung eksistensi bahasa, patut ditanyakan:
apakah melestarikan bahasa Indonesia termasuk semangat tribalisme?
Mental Matre
Kita sudah
lama tahu tentang hubungan antara mentalitas dan bahasa dari teori bahasa
seharihari. John Langshaw Austin, filsuf Amerika, melihat betapa bahasa
merupakan pasangan dari tindakan. Sementara itu, tindakan adalah sisi lain
dari gambaran tentang semangat dan pemikiran.
Jadi, ungkapan
berbahasa dimengerti sebagai akumulasi tindakan dan semangat. Itulah
sebabnya, teori tindak tutur ( speech act) dianggap memadai memberikan
keterangan tentang mentalitas terdalam dari seorang penutur.
Sebagai
contoh, ketika diucapkan ”bahasa Indonesia tidak diperlukan bagi TKA”, hal
itu sekaligus mengandung kondisi mentalitas penutur. Bahasa dimasukkan dalam
sebuah benda yang ”tidak perlu” atau ”tidak penting”, ”tidak mendesak” dalam
pembangunan bangsa. Bila ditelusuri lebih jauh melalui pendekatan filosofis,
mentalitas tersebut dilahirkan dari keyakinan-keyakinan yang tertanam di
balik kesadaran. Marilah dimulai dari gambaran keyakinan yang paling umum.
Bahwasanya era
global telah ditandai dengan reduksi kebudayaan dalam serat optik, bahasa
Inggris sebagai lingua franca, dan program-program digital yang sangat renik.
Kehidupan ekonomi diliputi lalulalang investasi antarnegara, hadirnya
multinational corporation, peredaran alat tukar asing yang meluas ke
pasar-pasar mikro, hingga pialang investasi dalam skala besar. Di tengah
persaingan tersebutlah muncul keyakinan bahwa bahasa Indonesia tidak
diperlukan.
Dalam kacamata
liberalisme, upaya mencapai kesejahteraan tentulah lebih tinggi daripada
kewajiban berbahasa Indonesia. Sebab, hak sejahtera berada dalam wilayah hak asasi
manusia (HAM) universal, sedangkan hak berbahasa berada dalam wilayah hak
ideologis.
Orang
Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sebetulnya tidak melanggar
hak asasi setiap warga negara. Dia cukuplah melanggar kesepakatan ideologis
yang ditetapkan para pendiri bangsa.
Itulah
sebabnya, dalam perspektif egalitarianisme, hak mengemukakan pendapat sebagai
hak asasi tidak mengandung tuntutan menggunakan sebuah bahasa tertentu untuk
mengemukakannya. Dengan demikian, mempertahankan bahasa tertentu pun tidaklah
menjadi bagian dari HAM karena isi hak asasi adalah hak untuk bebas, setara,
dan sejahtera.
Bila asumsi
tersebut benar, liberalisme, egalitarianisme, dan sekularisme tidak bisa
dipisahkan dalam konteks penyusunan kebijakan mutakhir. Bukti secara
kronologis, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Permenakertrans 12/2013
tentang TKA masih melihat pentingnya kemampuan bahasa Indonesia bagi TKA.
Dalam ayat (1)
dituangkan syarat-syarat tersebut, yakni 1) memiliki pendidikan yang relevan,
2) kompetensi yang jelas, 3) pernyataan alih teknologi, dan 4) dapat
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Persyaratan keempat dalam peraturan
yang baru pun dihapus. Hal itu dapat dilihat dalam Permenaker 16/2015 tentang
Tata Cara Penggunaan TKA. Bab V pasal 36 memberikan persyaratan 1)
pendidikan, 2) sertifikat, 3) kesediaan alih teknologi, 4) memiliki NPWP, 5)
memiliki polis asuransi, dan 6) ikut dalam jaminan sosial. Jadi, syarat
kemampuan berbahasa Indonesia itu telah diganti dengan kepemilikan NPWP
(nomor pokok wajib pajak), asuransi, dan jaminan sosial.
Martabat Bangsa
Berdasar
senarai di atas, ditinjau dari sisi mana pun, mengecilkan peran bahasa
Indonesia dalam pembangunan bangsa ini kiranya sulit untuk diterima. Ada tiga
argumentasi yang mendasari pernyataan tersebut.
Pertama,
pemerintah berusaha mengedepankan pentingnya pemasukan dari pajak dan
institusi asuransi. Itu berarti pemerintah tidak memiliki politik kebudayaan
yang baik untuk menghasilkan nilai-nilai demi meningkatkan martabat bangsa.
Kedua, pemerintah
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, yakni UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan. Pasal 33 ayat (1) berbunyi, ”Bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.”
Ketiga,
sempitnya pemikiran strategis yang didasarkan pada visi kebangsaan. Tampak
betapa rapuhnya ingatan historis dan rendahnya kewaspadaan pada masa depan.
Itulah sebabnya, pepatah Amir
Hamzah ”bahasa menunjukkan bangsa” harus dimengerti sebagai bagian dari
politik kebudayaan Indonesia. Entah bagaimana caranya, perlu langkah-langkah
hukum secara serius dan terus-menerus untuk meninjau ulang kebijakan
pemerintah yang menjauhkan diri dari cita-cita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar