Trisula Abad Kedua
Benni Setiawan ; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta;
Peneliti Maarif Institute for
Culture and Humanity
|
KORAN
SINDO, 04 Agustus 2015
Abad kedua penuh tantangan.
Tantangan itu masih terkait dengan etos pembaruan yang telah lama menjadi
ciri Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 1912 ini.
Pembaruan Muhammadiyah abad
pertama melalui pembangunan basis kesadaran dan kecerdasan melalui sekolah,
penyantunan yang lemah melalui Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan Roemah
Miskin, telah menjadi milik bangsa. Bangsa dan gerakan lain telah meniru
langkah pembaruan Muhammadiyah itu melalui pembangun sekolah dengan berbagai model,
lembaga penyantunan yatim piatu, dan gerakan-gerakan pendampingan terhadap
kaum mustadh’afin (miskin).
Karena telah menjadi milik bangsa,
seakan gelombang ijtihad Muhammadiyah telah terhenti. Hampir seluruh yang
telah diusahakan oleh Persyarikatan yang kini dipimpin oleh Profesor Din
Syamsuddin ini telah ditiru dan dikembangkan oleh orang lain, baik secara
individu maupun kelompok. Karena itu, kini Muhammadiyah dituntut untuk
menemukan model baru.
Model baru ini wilayah
Muhammadiyah untuk tetap mempertahankan diri sebagai ikon gerakan pembaruan
di Indonesia maupun di dunia. Ide meneguhkan gerakan pembaruan Muhammadiyah
itu setidaknya muncul dalam grup diskusi WA (WhatApp) “Islam Berkemajuan”.
Adalah Hajriyanto Y Thohari
memantik diskusi dengan menyebut perlunya gerak bersama tiga lembaga yaitu
Muhammadiyah Disaster Management Center (Lembaga Penanggulangan Bencana),
Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), dan Lembaga Amal Zakat, Infak, dan
Sedekah (Lazis).
Melalui hal tersebut, Muhammadiyah
akan bergerak dan menjadi pilar dalam penanggulangan bencana dan resolusi
konflik, pemberdayaan masyarakat, dan pengumpulan dana umat.
Manajemen
Keuangan Masjid
Trisula tersebut saling menopang
satu sama lain. Lazismu bergerak dalam bidang pengumpulan dana umat,
penyaluran dan pengembangan masyarakat dilakukan oleh MPM, serta penanggulan
bencana dan resolusi konflik oleh MDMC. Pengumpulan dana umat itu bisa dimulai
dari perumusan kajian dan aksi penyertaan pendapatan bersama.
Hal itu dimulai dari manajemen
keuangan masjid satu atap. Infak masjid dapat dikelola dan dikembangkan
menjadi dana untuk kesejahteraan umat. Misalnya, dalam satu desa, terdapat 20
masjid. dalam satu bulan pendapatan infak salat Jumat setiap masjid
Rp500.000. Jika dikumpulkan, ada dana segar Rp10.000.000 per bulan.
Dana itu akan dapat menggerakkan
sektor produktif setiap desa. Desa pun akan menjadi mandiri dengan dana yang
terkumpul dari infak masjid kampung. Masyarakat desa tidak perlu berebut Dana
Desa yang hingga kini belum jelas realisasinya. Lazismu juga dapat
mengumpulkan dana dari para guru, karyawan, dosen yang bekerja di
Persyarikatan Muhammadiyah.
Pengumpulan
dana itu dimulai dari menghimpun dana pensiun. Iuran bulanan dana pensiun
dapat menjadi penggerak sektor riil Persyarikatan. Jika kini Persyarikatan
mempekerjakan 30 juta orang, akan mendapat dana segar minimal Rp300 miliar
jika mereka membayar Rp10.000 per bulan. Dana Rp300 miliar bila dikelola
dengan baik akan mampu menggerakkan sektor publik secara lebih baik. Bangsa
Indonesia pun akan terbebas dari krisis melalui dana ketahanan umat tersebut.
Pemihakan Kaum Lemah
Lebih
lanjut, saat dana sudah memadai, tugas MPM untuk menjadi penggerak sektor
produktif. Gerakan MPM hasil rintisan Said Tuhuleley (wafat, Selasa, 9 Juni
2015) telah menorehkan prestasi luar biasa. Banyak daerah telah berhasil
dibina dalam bingkai pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Gerakan
MPM ala Said terus menjadi bukti bahwa Muhammadiyah terus bergerak bersama
kaum lemah (mustadh’afin).
Pak
Said melalui MPM pun mengubur anggapan Muhammadiyah elitis dan tak pernah
berbicara pada ranah pemihakan terhadap kaum miskin. Muhammadiyah selalu
berada di tengah pemberdayaan dan pemandirian kaum miskin. Berbekal Teologi
al-Ashr dan al-Ma’un, Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai gerakan
sosial keagamaan yang paling fokus mengurusi masalah itu.
Jika
masih ada sebagian kecil pengamat mengatakan Muhammadiyah jauh dari kaum
miskin, dapat dikatakan mereka tidak mengenal gerakan ini. Said pun dengan
falsafah “Selama Rakyat Menderita, Tidak Ada Kata Istirahat” telah menjadi
penerjemah gagasan Kiai Dahlan dan Kiai Sudja’ dalam proses kreatif
menebarkan benih kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Memberi untuk Negeri
Pilar
ketiga adalah MDMC. MDMC merupakan lembaga baru hasil Muktamar Ke-46 di
Yogyakarta. Kiprah MDMC tidak hanya bergerak dalam negeri, namun juga sampai
pendampingan korban bencana di Asia Tenggara. Barori Budi Aji, seorang teman
dari MDMC, pernah bercerita tentang kiprah lembaga ini di Papua.
Saat
terjadi bencana Wasior, tidak ada satu pun lembaga keagamaan bisa masuk ke
sana. Karena MDMC mengusung tema kemanusiaan, ia satu-satunya lembaga
berbasis agama yang dapat masuk membantu korban bencana Wasior. Karena kiprah
yang luar biasa dan tak pernah membawa “embel-embel” agama, pascabencana,
Muhammadiyah mendapat tanah wakaf dari warga beberapa hektare.
Wakaf
tanah itu pun dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh
Muhammadiyah. Gerakan MDMC dengan tema “Memberi untuk Negeri” telah
membuktikan bahwa kiprah Muhammadiyah sampai saat ini terus menginspirasi dan
memberikan yang terbaik untuk negeri. Muhammadiyah tidak pernah minta jabatan
politik.
Bagi
Muhammadiyah, memberi yang terbaik untuk negeri merupakan ”jihad akbar”.
Jihad akbar inilah yang terus menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi
sosial kemasyarakatan tersubur dan terbesar dalam hal aset. Muhammadiyah pun
menjadi the largest Islamic organization on the world. Muhammadiyah pun tidak
sekadar organisasi nasional Indonesia.
Kiprah
Muhammadiyah melalui tokoh-tokohnya dan kerja nyata MDMC telah mengantarkan
Persyarikatan menapaki jejaring internasional. Internasionalisasi pemikiran
dan gerak Muhammadiyah pun tinggal menunggu hasil dari kerja peradaban selama
seabad silam. Akhirnya Lazizmu, MPM, dan MDMC merupakan trisula abad ini.
Trisula
inilah yang akan mewarnai perjalanan Muhammadiyah abad kedua. Abad kedua yang
terus menuntut Muhammadiyah sebagai pilar pembaruan Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar