Jumat, 07 Agustus 2015

Gunung Sumbing yang Biru dan Membisu

Gunung Sumbing yang Biru dan Membisu

Mohamad Sobary  ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
                                                  KORAN SINDO, 04 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kabut putih menyelimuti puncak Gunung Sumbing yang tua, tabah, dan anggun menghadapi terpaan angin dan hujan. Kabut itu meleleh ketika sinar matahari pagi menerpanya.

Selimutnya tersingkap. Wajahnya tampak lebih nyata. Dari jarak beberapa kilo meter di dekat Kota Temanggung, batu-batu di puncak gunung itu tampak jelas lekuk-lekuknya. Juga, warna alamnya yang putih, abu-abu, dan hitam. Di musim kemarau seperti ini, hawa dingin menggigit tulang. Tapi, ketika sinar matahari memancar, kehangatan muncul.

Seorang kakek tua yang duduk di bawah rumpun pisang di ladangnya menghadap matahari pagi yang menghangatkan itu. Si kakek mengisap kretek dalam lintingan besar. Ini kretek bikinannya sendiri. Asap putih mengepul di udara. Dia menghisap lagi kreteknya dengan nikmat dan mengembuskan asapnya. Tak henti-hentinya sepanjang pagi yang dingin. Dia memerlukan kehangatan. Asap itu menyatu dengan kabut pagi yang perlahan-lahan turun dari puncaki Gunung Sumbing.

Gulungan-gulungan asap putih itu melewatinya, menerpa wajahnya yang tua, untuk kemudian lenyap di tempat yang jauh. Kakek tua yang berbahagia itu sudah berpuluh-puluh tahun hidup di dalam lingkungan gunung, batu, hawa dingin yang menggigit, dan ladang-ladang tembakau. Pada bulanbulan seperti sekarang ini, pada akhir Juni, tanaman tembakau mulai menghijau.

Dan memberi para warga yang hidup di kulit gunung itu harapan hidup yang lebih baik. Akhir Juli harapan itu bukan lagi sekadar harapan. Tanaman tembakaunya kelihatan hijau. Di seluruh ladangnya itu hanya warna hijau yang tampak. Hijau tua yang menyegarkan. Lebih tua dari warna batu akik dari Bacan zamrud atau batu giok.

Warna itu bukan hanya milik ladangnya. Di semua ladang warna yang sama tampak di mana-mana. Akhir Juli mendekati panen raya. Mereka akan segera memetik daun terbawah. Satu daun terbawah, yang sudah tua dan sudah waktunya dipanen. Para petani menyebut tembakau yang mereka panen itu emas hijau.

Di berbagai daerah, hingga di Madura, di luar Pulau Jawa, sebutan emas hijau mewakili nama tembakau mereka. Kita tahu, lembaran-lembaran daun tembakau itu begitu berharga, begitu mahal, sebanding dengan harga emas.

Semenjak zaman kekeknya, kemudian turun ke generasi ayahnya, dan kini ke generasinya, kehidupan itu seperti cakra manggilingan roda perputaran nasib, roda kehidupan yang tak pernah berhenti. Menanam tembakau, merawat, yaitu menyirami dan member inya pupuk , kemudian membersihkan gulma dan segenap tetumbuhan di sekitar tanaman tembakaunya agar tanamannya berkembang baik dan subur.

Kemudian memanen. Kemudian mengeram daun-daun hijau itu di dalam tumbuhan supaya warganya menjadi kuning. Dan kemudian merajangnya: memotong dengan gobel yaitu pisau lebar dan tajam, untuk membentuknya menjadi tembakau yang kita kenal. Hidup berputar seperti itu. Tak ada perubahan kecuali jika alam berbuah.

Menghadapi apa yang disebut perubahan iklim sekarang, tanaman tembakau pun mengalami perubahan. Ada masa, seperti dua atau tiga tahun yang lewat, ketika hujan terus-menerus kandungan air dalam tembakau lebih tinggi. Kualitas tembakaunya rendah. Harga jualnya juga murah.

Petani terpukul. Tetapi, di sepanjang tahun ini hujan sangat jarang turun. Ini tahun yang baik bagi petani tembakau. Musim kering membuat kualitas tembakau menjadi lebih baik. Kandungan air pada tembakau sedikit. Kualitasnya bagus. Lebih bagus dibanding tembakau yang kandungan airnya lebih banyak.

Tembakau Srinthil dari Desa Lamuk merupakan primadona. Baunya segar, seperti kombinasi bau salak dan bau jenang dodol yang asam-asam manis. Bila disentuh, terasa kelembutannya. Dia bisa bertahan lama, bertahun tahun. Harganya bisa mencapai satu juta rupiah per kilogram.

Tadi sudah disebutkan, tembakau diberi julukan sebagai emas hijau. Itu tembakau biasa pada umumnya. Tembakau Srinthil, sang primadona, lain lagi. “Derajatnya” lebih tinggi. Dia seperti berasal dari “trah” yang lain. Gunung Sumbing dengan murah hati memberikan hasil seperti itu.

Gunung itu tak pernah mengharap balasan apa pun dari para petani yang menumpang di atas pemukaannya. Perlahan-lahan, berabad abad dalam kehidupannya yang diam dan membisu, gunung itu tak pernah meminta apa pun. Dari kejauhan gunung itu memancarkan keteduhan yang biru. Mungkin sebiru langit.

Mungkin sebiru laut. Dia biru dan membisu. Si kakek tua itu sudah tak terlalu aktif mengurusi pertanian tembakau. Anak, dan cucunya yang mulai dewasa, menggantikannya. Sang kakek hanya mengawasi, ikut mengontrol, dan mengingatkan kelalaian anak dan cucunya. Tapi, tak berarti sang kakek tak lagi penting.

Kakek mengingatkan telah tiba saatnya menyelenggarakan upacara menyambut masa panen yang sudah merupakan tradisi, yang dianggap seperti sesuatu yang suci dan abadi. Kali ini di ujung terakhir bulan Juli, upacara seperti itu sudah waktunya diselenggarakan. Si kakek tahu seluk beluk upacara dengan sesajen dan segelap doa dan kelengkapannya.

Ada ketua adat, yang merupakan “ahli” di bidang itu. Tapi, si kakek yang bertahun-tahun terlibat secara dekat didalam upacara itu menjadi “ahli” pula. Inilah cara para petani menyatakan syukur pada yang Mahapemurah, yang membuat hidup mereka selamat, sejahtera, dan penuh berkah. Itulah warisan tradisi.

Itulah wujud kehidupan yang menggambarkan harmoni antara manusia dan tanah, manusia dan batu, manusia dan air, manusia dan udara, manusia dan gunung, manusia dan segenap tanaman, manusia dan tembakau. Harmoni itu dijaga. Mereka memohon selamat tanahnya, selamat batunya, selamat airnya, selamat udaranya, selamat gunungnya, selamat semuanya.

Manusia dan alam bersahabat. Manusia dan alam selamat. Manusia dan alam, sebagai makhluk, semua berbahagia. Semua sejahtera. Gunung Sumbing yang biru, sebiru langit, sebiru laut, tetap membisu. Tapi, para petani yang sensitif, merasakan tarikan “nafasnya”.

Mereka yang paham, merasakan pula gerak kehidupannya. Gunung Sumbing yang biru dan bisu juga makhluk hidup. Dia pun bernapas seperti kita, manusia, yang menumpang hidup di permulaan kulitnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar