Sabtu, 08 Agustus 2015

Menjaga Marwah Muktamar

Menjaga Marwah Muktamar

Biyanto; Dosen UIN Sunan Ampel; Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
                                                  KORAN SINDO, 04 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perhatian umat kini pasti tertuju pada dua organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar di Tanah Air, NU dan Muhammadiyah. Itu karena keduanya sedang menyelenggarakan agenda besar muktamar.

Penyelenggaraan muktamar dua ormas ini pun dilaksanakan dalam waktu hampir bersamaan. NU lebih dulu memulai penyelenggaraan muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Selanjutnya disusul Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3-7 Agustus 2015. Umat pasti berharap muktamar kali ini menjadi momentum kebangkitan bagi keduanya.

Harus diakui, ajang muktamar sekaligus menjadi ujian bagi NU dan Muhammadiyah untuk menunjukkan kemandiriannya di tengah tarik-menarik berbagai kepentingan pihak luar. Termasuk kepentingan pemerintah dan partai-partai politik yang begitu terasa selama perhelatan muktamar.

Di tengah tarik-menarik kepentingan itulah, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengingatkan agar ormas keagamaan benar-benar mandiri. Menurut Din, sebagai pilar civil society, NU dan Muhammadiyah harus mandiri agar terbebas dari intervensi pihak luar. Sebagai langkah awal, Din mencanangkan program muktamar mandiri.

Gagasan muktamar mandiri ini telah bergulir sejak Muhammadiyah menggelar muktamar satu abad di Yogyakarta, Juli 2010. Muktamar mandiri adalah muktamar tanpa bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/ D). Menurut Din, untuk kebutuhan muktamar di Makassar, Muhammadiyah berkomitmen tidak mengajukan proposal pada pemerintah.

Jika pemerintah pusat dan daerah memberikan donasi pada panitia muktamar, itu harus dipahami sebagai penghargaan atas kontribusi Muhammadiyah dalam sejarah pembangunan bangsa. Penyelenggaraan muktamar mandiri dengan segala konsekuensinya jelas tidak mudah.

Apalagi, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp40 miliar. Itu belum termasuk anggaran pembangunan sarana-prasarana Universitas Muhammadiyah Makassar sebagai tempat utama perhelatan muktamar. Padahal, pembangunan sarana prasarana muktamar mencapai Rp100 miliar. Pasti dibutuhkan kerja keras untuk memobilisasi sumber daya internal organisasi dan kerja sama dengan swasta.

Pernyataan Din dan komitmen Muhammadiyah untuk mewujudkan kemandirian layak diapresiasi. Hingga kini elemen civil society pada umumnya belum mampu mandiri jika berhadapan dengan kepentingan negara dan partai politik. Elemen civil society masih menunjukkan ketergantungan, terutama bantuan pendanaan.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin elemen civil society bersikap kritis terhadap pemerintah dan partai politik jika dalam setiap kegiatan selalu meminta belas kasihan? Padahal, menurut Hikam (1990), elemen civil society harus berkarakter kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian, dan ketaatan pada hukum.

Berarti elemen civil society harus mewujudkan sikap dan tindakan independen. Spirit kemandirian itu penting karena dalam konteks kehidupan sosial-politik nasional kini jelas membutuhkan kiprah civil society sebagai kekuatan checks and balances. Karena itu, NU dan Muhammadiyah harus menampilkan diri layaknya civil society yang sebenarnya.

Pertanyaannya, mampukah dua ormas tersebut merealisasikan semangat kemandirian sehingga muktamar berlangsung secara terhormat dan bermartabat. Harus diakui, pemerintah dan partai politik pasti selalu memantau jika tidak ikut “bermain” di arena muktamar. Hasil muktamar akan sangat bermakna bagi pemerintah.

Termasuk siapa ketua umum terpilih dari NU dan Muhammadiyah. Pemerintah pasti berharap ketua umum terpilih merupakan figur yang lebih “bersahabat” sehingga dapat bekerja sama. Sementara partai-partai politik juga tidak ingin ketinggalan. Mereka pasti bermain untuk mengamankan figur-figur tertentu.

Harapannya, ketua umum dan anggota pimpinan terpilih adalah figur yang dapat diajak membesarkan partainya. Satu lagi pihak yang tidak boleh dilupakan adalah kepentingan korporasi nasional dan internasional. Mereka berkepentingan untuk mengembangkan perusahaannya.

Mereka pun berani menawarkan sponsor yang menggiurkan untuk menyukseskan muktamar. Karena ada begitu banyak kepentingan, intervensi politik pihak luar dalam muktamar sulit dihindari. Meski begitu, NU dan Muhammadiyah harus memastikan muktamar berlangsung bersih dari segala bentuk permainan politik.

Apalagi jika politik uang (money politics) turut memainkan peran dalam muktamar. Rasanya sangat tidak terhormat jika dalam pemilihan pimpinan ormas keagamaan diwarnai praktik politik kotor. Muktamar NU kini tengah memasuki tahapan penting yakni penentuan Rais Am Syuriah PBNU serta tahapan pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.

Para kiai harus menjaga kehormatan (marwah) Muktamar NU dari permainan politik kotor. Sementara muktamar Muhammadiyah di Makassar telah menghasilkan 39 orang sebagai Anggota Tetap PP Muhammadiyah periode 2015-2020. Mereka terpilih melalui Sidang Tanwir yang telah berlangsung pada 1-2 Agustus 2015. Dari 39 nama itu akan dipilih 13 orang sebagai tim formatur.

Selanjutnya, 13 orang formatur akan bermusyawarah dan bermufakat untuk memilih ketua umum. Mekanisme pemilihan ketua umum melalui sidang formatur jelas lebih aman dari model pemilihan langsung. Meski begitu, Muhammadiyah harus tetap mewaspadai kepentingan pemerintah dan korporasi nasionalinternasional. Karena dalam dua periode kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah sangat kritis.

Bukan saja kritis pada kebijakan pemerintah, Muhammadiyah juga rajin melakukan “jihad konstitusi”. Jihad konstitusi Muhammadiyah harus dipahami dalam konteks meluruskan kiblat bangsa. Hingga kini Muhammadiyah sukses mengajukan judicial review terhadap UU Migas, UU Ormas, UU Rumah Sakit, dan UU Minerba.

Kiprah Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi jelas menimbulkan ketidaknyamanan pihak-pihak yang dirugikan. Akhirnya, diucapkan selamat bermuktamar bagi keluarga besar NU dan Muhammadiyah.

Muktamar kali ini harus menjadi momentum untuk membuat peta jalan (roadmap) kemandirian organisasi sehingga terbebas dari segala intervensi. Semoga elite masingmasing organisasi juga dapat menjaga marwah muktamar dari praktik politik kotor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar