Menjaga Marwah Muktamar
Biyanto; Dosen UIN Sunan Ampel; Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 04 Agustus 2015
Perhatian umat kini pasti tertuju
pada dua organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar di Tanah Air, NU dan
Muhammadiyah. Itu karena keduanya sedang menyelenggarakan agenda besar
muktamar.
Penyelenggaraan muktamar dua ormas
ini pun dilaksanakan dalam waktu hampir bersamaan. NU lebih dulu memulai
penyelenggaraan muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015. Selanjutnya
disusul Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 3-7 Agustus 2015. Umat
pasti berharap muktamar kali ini menjadi momentum kebangkitan bagi keduanya.
Harus diakui, ajang muktamar
sekaligus menjadi ujian bagi NU dan Muhammadiyah untuk menunjukkan
kemandiriannya di tengah tarik-menarik berbagai kepentingan pihak luar.
Termasuk kepentingan pemerintah dan partai-partai politik yang begitu terasa
selama perhelatan muktamar.
Di tengah tarik-menarik
kepentingan itulah, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din
Syamsuddin mengingatkan agar ormas keagamaan benar-benar mandiri. Menurut
Din, sebagai pilar civil society, NU dan Muhammadiyah harus mandiri agar
terbebas dari intervensi pihak luar. Sebagai langkah awal, Din mencanangkan
program muktamar mandiri.
Gagasan muktamar mandiri ini telah
bergulir sejak Muhammadiyah menggelar muktamar satu abad di Yogyakarta, Juli
2010. Muktamar mandiri adalah muktamar tanpa bantuan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah (APBN/ D). Menurut Din, untuk kebutuhan muktamar di
Makassar, Muhammadiyah berkomitmen tidak mengajukan proposal pada pemerintah.
Jika pemerintah pusat dan daerah
memberikan donasi pada panitia muktamar, itu harus dipahami sebagai
penghargaan atas kontribusi Muhammadiyah dalam sejarah pembangunan bangsa.
Penyelenggaraan muktamar mandiri dengan segala konsekuensinya jelas tidak
mudah.
Apalagi, anggaran yang dibutuhkan
mencapai Rp40 miliar. Itu belum termasuk anggaran pembangunan
sarana-prasarana Universitas Muhammadiyah Makassar sebagai tempat utama
perhelatan muktamar. Padahal, pembangunan sarana prasarana muktamar mencapai
Rp100 miliar. Pasti dibutuhkan kerja keras untuk memobilisasi sumber daya
internal organisasi dan kerja sama dengan swasta.
Pernyataan Din dan komitmen
Muhammadiyah untuk mewujudkan kemandirian layak diapresiasi. Hingga kini
elemen civil society pada umumnya belum mampu mandiri jika berhadapan dengan
kepentingan negara dan partai politik. Elemen civil society masih menunjukkan
ketergantungan, terutama bantuan pendanaan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin
elemen civil society bersikap kritis terhadap pemerintah dan partai politik
jika dalam setiap kegiatan selalu meminta belas kasihan? Padahal, menurut
Hikam (1990), elemen civil society
harus berkarakter kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self generating),
keswadayaan (self supporting),
kemandirian, dan ketaatan pada hukum.
Berarti elemen civil society harus mewujudkan sikap
dan tindakan independen. Spirit kemandirian itu penting karena dalam konteks
kehidupan sosial-politik nasional kini jelas membutuhkan kiprah civil society sebagai kekuatan checks and balances. Karena itu, NU
dan Muhammadiyah harus menampilkan diri layaknya civil society yang sebenarnya.
Pertanyaannya,
mampukah dua ormas tersebut merealisasikan semangat kemandirian sehingga
muktamar berlangsung secara terhormat dan bermartabat. Harus diakui,
pemerintah dan partai politik pasti selalu memantau jika tidak ikut “bermain”
di arena muktamar. Hasil muktamar akan sangat bermakna bagi pemerintah.
Termasuk
siapa ketua umum terpilih dari NU dan Muhammadiyah. Pemerintah pasti berharap
ketua umum terpilih merupakan figur yang lebih “bersahabat” sehingga dapat
bekerja sama. Sementara partai-partai politik juga tidak ingin ketinggalan.
Mereka pasti bermain untuk mengamankan figur-figur tertentu.
Harapannya,
ketua umum dan anggota pimpinan terpilih adalah figur yang dapat diajak
membesarkan partainya. Satu lagi pihak yang tidak boleh dilupakan adalah kepentingan
korporasi nasional dan internasional. Mereka berkepentingan untuk
mengembangkan perusahaannya.
Mereka
pun berani menawarkan sponsor yang menggiurkan untuk menyukseskan muktamar.
Karena ada begitu banyak kepentingan, intervensi politik pihak luar dalam
muktamar sulit dihindari. Meski begitu, NU dan Muhammadiyah harus memastikan
muktamar berlangsung bersih dari segala bentuk permainan politik.
Apalagi
jika politik uang (money politics)
turut memainkan peran dalam muktamar. Rasanya sangat tidak terhormat jika
dalam pemilihan pimpinan ormas keagamaan diwarnai praktik politik kotor.
Muktamar NU kini tengah memasuki tahapan penting yakni penentuan Rais Am
Syuriah PBNU serta tahapan pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.
Para
kiai harus menjaga kehormatan (marwah) Muktamar NU dari permainan politik
kotor. Sementara muktamar Muhammadiyah di Makassar telah menghasilkan 39
orang sebagai Anggota Tetap PP Muhammadiyah periode 2015-2020. Mereka
terpilih melalui Sidang Tanwir yang telah berlangsung pada 1-2 Agustus 2015.
Dari 39 nama itu akan dipilih 13 orang sebagai tim formatur.
Selanjutnya,
13 orang formatur akan bermusyawarah dan bermufakat untuk memilih ketua umum.
Mekanisme pemilihan ketua umum melalui sidang formatur jelas lebih aman dari
model pemilihan langsung. Meski begitu, Muhammadiyah harus tetap mewaspadai
kepentingan pemerintah dan korporasi nasionalinternasional. Karena dalam dua
periode kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah sangat kritis.
Bukan
saja kritis pada kebijakan pemerintah, Muhammadiyah juga rajin melakukan
“jihad konstitusi”. Jihad konstitusi Muhammadiyah harus dipahami dalam
konteks meluruskan kiblat bangsa. Hingga kini Muhammadiyah sukses mengajukan
judicial review terhadap UU Migas, UU Ormas, UU Rumah Sakit, dan UU Minerba.
Kiprah
Muhammadiyah melakukan jihad konstitusi jelas menimbulkan ketidaknyamanan
pihak-pihak yang dirugikan. Akhirnya, diucapkan selamat bermuktamar bagi
keluarga besar NU dan Muhammadiyah.
Muktamar
kali ini harus menjadi momentum untuk membuat peta jalan (roadmap) kemandirian organisasi
sehingga terbebas dari segala intervensi. Semoga elite masingmasing
organisasi juga dapat menjaga marwah muktamar dari praktik politik kotor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar