Rabu, 05 Agustus 2015

Internasionalisasi Islam Nusantara

Internasionalisasi Islam Nusantara

M Sya'roni Rofii ;   Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional;
Co-founder OIC Youth Indonesia
                                                      JAWA POS, 03 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI-HARI ini dalam pergaulan internasional, ketika berbicara tentang Islam, sejumlah kata identik yang muncul pertama adalah terorisme, kekerasan, intoleransi, dan keterbelakangan. Kendati kata-kata tersebut sangat bias makna dan cenderung tendensius karena telah terpatri dalam tradisi orientalisme Barat yang menempatkan Timur, meminjam istilah Edward Said, dalam posisi inferior (Edward Said, 1978).

Para pemimpin dunia telah mencoba meredakan ketegangan yang muncul di level publik dengan mengampanyekan dialog-dialog antar pemimpin komunitas agama dan peradaban seperti yang diinisiatori oleh Sekjen PBB era Kofi Annan, namun tidak begitu memberikan dampak yang signifikan. Faktanya, statistik terkait Islamophobia terus meningkat dari tahun ke tahun, baik di Eropa maupun Amerika (Gallup, 2011).

Berdasar hasil riset terbaru Pew Research Center yang dirilis pada April 2015, disebutkan Islam merupakan agama yang mengalami pertumbuhan paling cepat untuk saat ini dan akan mendekati jumlah komunitas Kristen pada 2050 dengan 2,76 miliar pemeluk. Saat ini ranking pertama ditempati Kristen dengan jumlah 2,17 miliar pemeluk dan Islam 1,6 miliar penganut (Pew Research Center, 2015).
Angka itu menjelaskan fenomena global yang terjadi saat ini. Dengan jumlah komunitas beragama berada pada level tertinggi, satu-satunya cara untuk menghindari konflik atau benturan antaragama dan peradaban adalah mempelajari untuk saling menghargai antara satu pemeluk agama dan pemeluk agama lain.

Entitas Muslim Indonesia

NU dan Muhammadiyah awal Agustus ini akan menggelar agenda strategis organisasi berupa muktamar. Lazimnya organisasi modern, dua organisasi itu akan memilih ketua umum untuk lima tahun mendatang. Dalam penyelenggaraan kali ini, NU dan Muhammadiyah memilih tema berbeda tapi masih berada dalam satu frame, yakni meneguhkan semangat kebangsaan melalui jalur dakwah sosial agama.

NU mengambil tema Islam Nusantara, sebuah tema yang telah dilontarkan ke hadapan publik tanah air sekaligus di hadapan Presiden Joko Widodo. Ide itu disambut baik oleh presiden sekaligus diminta untuk terus dilestarikan, terutama di kalangan santri di wilayah-wilayah pedesaan. Sementara Muhammadiyah hadir dengan tema Islam Berkemajuan. Pilihan tema dilatari keinginan pimpinan Muhammadiyah untuk mengambil langkah nyata dalam memajukan peradaban bangsa melalui gerakan dakwah yang selama ini digeluti Muhammadiyah di bidang pendidikan dan kesehatan dengan membidik segmen kelompok perkotaan (Jawa Pos, 28/7). Walaupun sebetulnya dua organisasi itu dengan sumber daya kader yang dimiliki tidak lagi membatasi segmen dakwah. Sebab, NU dan Muhammadiyah bisa masuk di komunitas perkotaan dan pedesaan.

Dalam pentas sejarah Indonesia, dua organisasi itu telah memberikan sumbangsih begitu besar dalam mengawal tegaknya Republik Indonesia, baik sejak awal perjuangan kemerdekaan maupun ketika berhadapan dengan rezim represif macam Orde Baru atau rezim reformasi. Sikap dua organisasi yang menerima secara terbuka Pancasila sebagai ideologi negara serta organisasi masyarakat menciptakan harmoni dalam kebinekaan.

Kini tantangan yang dihadapi berubah sangat signifikan. Terdapat beberapa isu yang perlu menjadi concern NU serta Muhammadiyah dalam muktamar di Jombang dan Makassar. Pertama, toleransi dan kebinekaan. Insiden yang terjadi di Tolikara beberapa waktu lalu merupakan contoh kasus yang terkait dengan masih adanya gesekan-gesekan kecil di akar rumput yang melibatkan kelompok agama. NU dan Muhammadiyah harus kembali tampil ke depan untuk menjadi promotor bagi ide toleransi antarumat beragama di seluruh penjuru Indonesia.

Kedua, penyebaran nilai keislaman dan keindonesiaan. Dengan semakin meningkatnya jumlah pemeluk agama di dunia, sangat dibutuhkan peran dua organisasi itu untuk memperkenalkan Islam Indonesia yang sarat nilai kesantunan dan toleransi. Jika selama ini Islam identik dengan kekerasan dan teror akibat rentetan peristiwa teror oleh kelompok kecil yang mengatasnamakan Islam, kini sudah saatnya ormas NU-Muhammadiyah berkolaborasi mengirimkan kader-kader terbaik untuk berdakwah mendiseminasi Islam model Indonesia ke negara-negara yang selama ini masih memiliki persoalan Islamophobia, terutama Amerika Utara dan Eropa. Metode yang belum banyak dibidik adalah menerjemahkan karya-karya para sarjana muslim atau para kiai NU-Muhammadiyah ke bahasa Arab dan Inggris agar pemikiran mereka bisa diakses oleh publik Barat.

Ketiga, diplomasi melalui sektor keagamaan. Dalam diplomasi modern, terdapat tren multi-track diplomacy, di mana sebuah negara mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki untuk menyebarkan nilai-nilai ke luar. NU-Muhammadiyah seharusnya sudah mulai menggandeng Kementerian Luar Negeri untuk menjadi mitra dalam bidang diplomasi publik dengan memfokuskan dakwah di negara-negara yang jumlah komunitas muslimnya sangat minoritas seperti di Amerika, Eropa, dan Tiongkok. Program itu bisa berbentuk pelatihan imam masjid dan penceramah asal negara tersebut di Indonesia, di lembaga pendidikan dan pesantren milik NU serta Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar