Internasionalisasi Islam Nusantara
M Sya'roni Rofii ;
Kandidat Doktor Ilmu Politik dan
Hubungan Internasional;
Co-founder OIC Youth Indonesia
|
JAWA
POS, 03 Agustus 2015
HARI-HARI ini dalam pergaulan internasional, ketika
berbicara tentang Islam, sejumlah kata identik yang muncul pertama adalah
terorisme, kekerasan, intoleransi, dan keterbelakangan. Kendati kata-kata
tersebut sangat bias makna dan cenderung tendensius karena telah terpatri
dalam tradisi orientalisme Barat yang menempatkan Timur, meminjam istilah
Edward Said, dalam posisi inferior (Edward Said, 1978).
Para pemimpin dunia telah mencoba meredakan ketegangan
yang muncul di level publik dengan mengampanyekan dialog-dialog antar
pemimpin komunitas agama dan peradaban seperti yang diinisiatori oleh Sekjen
PBB era Kofi Annan, namun tidak begitu memberikan dampak yang signifikan.
Faktanya, statistik terkait Islamophobia terus meningkat dari tahun ke tahun,
baik di Eropa maupun Amerika (Gallup, 2011).
Berdasar hasil riset terbaru Pew Research Center yang dirilis pada April 2015, disebutkan
Islam merupakan agama yang mengalami pertumbuhan paling cepat untuk saat ini
dan akan mendekati jumlah komunitas Kristen pada 2050 dengan 2,76 miliar
pemeluk. Saat ini ranking pertama ditempati Kristen dengan jumlah 2,17 miliar
pemeluk dan Islam 1,6 miliar penganut (Pew
Research Center, 2015).
Angka itu menjelaskan fenomena global yang terjadi saat
ini. Dengan jumlah komunitas beragama berada pada level tertinggi,
satu-satunya cara untuk menghindari konflik atau benturan antaragama dan
peradaban adalah mempelajari untuk saling menghargai antara satu pemeluk
agama dan pemeluk agama lain.
Entitas Muslim Indonesia
NU dan Muhammadiyah awal Agustus ini akan menggelar agenda
strategis organisasi berupa muktamar. Lazimnya organisasi modern, dua
organisasi itu akan memilih ketua umum untuk lima tahun mendatang. Dalam
penyelenggaraan kali ini, NU dan Muhammadiyah memilih tema berbeda tapi masih
berada dalam satu frame, yakni
meneguhkan semangat kebangsaan melalui jalur dakwah sosial agama.
NU mengambil tema Islam Nusantara, sebuah tema yang telah
dilontarkan ke hadapan publik tanah air sekaligus di hadapan Presiden Joko Widodo.
Ide itu disambut baik oleh presiden sekaligus diminta untuk terus
dilestarikan, terutama di kalangan santri di wilayah-wilayah pedesaan.
Sementara Muhammadiyah hadir dengan tema Islam Berkemajuan. Pilihan tema
dilatari keinginan pimpinan Muhammadiyah untuk mengambil langkah nyata dalam
memajukan peradaban bangsa melalui gerakan dakwah yang selama ini digeluti
Muhammadiyah di bidang pendidikan dan kesehatan dengan membidik segmen
kelompok perkotaan (Jawa Pos, 28/7).
Walaupun sebetulnya dua organisasi itu dengan sumber daya kader yang dimiliki
tidak lagi membatasi segmen dakwah. Sebab, NU dan Muhammadiyah bisa masuk di
komunitas perkotaan dan pedesaan.
Dalam pentas sejarah Indonesia, dua organisasi itu telah
memberikan sumbangsih begitu besar dalam mengawal tegaknya Republik
Indonesia, baik sejak awal perjuangan kemerdekaan maupun ketika berhadapan
dengan rezim represif macam Orde Baru atau rezim reformasi. Sikap dua
organisasi yang menerima secara terbuka Pancasila sebagai ideologi negara
serta organisasi masyarakat menciptakan harmoni dalam kebinekaan.
Kini tantangan yang dihadapi berubah sangat signifikan.
Terdapat beberapa isu yang perlu menjadi concern NU serta Muhammadiyah dalam
muktamar di Jombang dan Makassar. Pertama, toleransi dan kebinekaan. Insiden
yang terjadi di Tolikara beberapa waktu lalu merupakan contoh kasus yang
terkait dengan masih adanya gesekan-gesekan kecil di akar rumput yang
melibatkan kelompok agama. NU dan Muhammadiyah harus kembali tampil ke depan
untuk menjadi promotor bagi ide toleransi antarumat beragama di seluruh
penjuru Indonesia.
Kedua, penyebaran nilai keislaman dan keindonesiaan.
Dengan semakin meningkatnya jumlah pemeluk agama di dunia, sangat dibutuhkan
peran dua organisasi itu untuk memperkenalkan Islam Indonesia yang sarat
nilai kesantunan dan toleransi. Jika selama ini Islam identik dengan
kekerasan dan teror akibat rentetan peristiwa teror oleh kelompok kecil yang
mengatasnamakan Islam, kini sudah saatnya ormas NU-Muhammadiyah berkolaborasi
mengirimkan kader-kader terbaik untuk berdakwah mendiseminasi Islam model
Indonesia ke negara-negara yang selama ini masih memiliki persoalan
Islamophobia, terutama Amerika Utara dan Eropa. Metode yang belum banyak
dibidik adalah menerjemahkan karya-karya para sarjana muslim atau para kiai
NU-Muhammadiyah ke bahasa Arab dan Inggris agar pemikiran mereka bisa diakses
oleh publik Barat.
Ketiga, diplomasi melalui sektor keagamaan. Dalam
diplomasi modern, terdapat tren multi-track
diplomacy, di mana sebuah negara mengerahkan seluruh potensi yang
dimiliki untuk menyebarkan nilai-nilai ke luar. NU-Muhammadiyah seharusnya
sudah mulai menggandeng Kementerian Luar Negeri untuk menjadi mitra dalam
bidang diplomasi publik dengan memfokuskan dakwah di negara-negara yang
jumlah komunitas muslimnya sangat minoritas seperti di Amerika, Eropa, dan
Tiongkok. Program itu bisa berbentuk pelatihan imam masjid dan penceramah
asal negara tersebut di Indonesia, di lembaga pendidikan dan pesantren milik
NU serta Muhammadiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar