Rabu, 05 Agustus 2015

Angin Antireformasi dalam Muhammadiyah

Angin Antireformasi dalam Muhammadiyah

Djoko Susilo ;   Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah
                                                      JAWA POS, 03 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEKAN ini Muhammadiyah menggelar kongres di Makassar, Sulawesi Selatan. Ada beberapa agenda penting dalam pertemuan akbar warga persyarikatan ini. Di antara agenda tersebut, penggantian Din Syamsuddin sebagai ketua umum karena masa jabatannya habis dan melanjutkan langkah reformasi organisasi, baik khitah perjuangan maupun keorganisasian. Itu bukan hal baru, tetapi masalah lama yang sering timbul dan tenggelam dalam Muhammadiyah.

Dua puluh lima tahun lalu, gerakan reformasi dalam Muhammadiyah sempat mencuat dalam muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta pada 1990. Saat itu terdapat dua kubu yang berseteru. Yakni, kubu Jogjakarta yang antireformasi dengan tokohnya Drs Djazman al Kindi melawan kubu Jakarta yang proreformasi di bawah pimpinan Drs H Lukman Harun.

Ketegangan kembali muncul pasca gerakan reformasi nasional pada 1999 hingga awal 2000-an. Euforia kebebasan dan demokratisasi nasional itu juga berpengaruh di kalangan Muhammadiyah. Sebagian warga Muhammadiyah larut dalam euforia itu dengan aktif dalam kegiatan politik, antara lain mendukung PAN yang didirikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Amien Rais. Dari jajaran pimpinan pusat sampai tingkat ranting, warga Muhammadiyah mulai terbelah secara politik. Ada yang mendukung PAN, namun masih banyak pula yang setia kepada Golkar, PPP, atau bahkan PDIP, serta mendukung partai-partai baru seperti PBB dan Masyumi.

Meski demikian, yang banyak mengkhawatirkan bagi kalangan ''konservatif'' Muhammadiyah saat itu adalah apa yang ditengarai mulai berjangkitnya ''virus liberal'' dalam Muhammadiyah, baik di kalangan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) maupun di kalangan senior Muhammadiyah.

Kelompok JIMM dan para senior Muhammadiyah bersimpati dengan itu sebenarnya hanya ingin mengembalikan gairah ber-Muhammadiyah dan khususnya dalam bidang pemikiran. Mereka menilai, sejak beberapa dasawarsa terakhir sudah terjadi kemandekan berpikir atau dalam bahasa warga Muhammadiyah, terjadi ''kejumudan'' intelektual. Penyakit TBC alias takhayul, bidah, dan khurafat yang dahulu sangat ditakuti kini membayang-bayangi lagi.

Tokoh-tokoh yang cukup berbobot pun akhirnya terpental. Di antaranya, Dr Amien Abdullah, Dr Abdul Munir Mulkhan, dan Dr Muslim Abdurrachman. Kelompok muda yang bergabung dengan JIMM pun diberangus sehingga mereka tidak mendapat forum di lingkungan Muhammadiyah. Beberapa tokoh mudanya, misalnya mantan Ketua IMM Sukidi, akhirnya hijrah ke Amerika Serikat.
Din Syamsuddin termasuk tokoh yang moderat yang sesungguhnya mencoba menyeimbangkan antara reformasi dan komitmen kepada nilai-nilai tradisional Muhammadiyah. Sejak kemunculannya di jajaran elite Pemuda Muhammadiyah pada 1990 lewat muktamar Pemuda Muhammadiyan di Palembang, Din selalu mencoba membuat keseimbangan. Sebagai ketua umum PP Muhammadiyah sejak 2005 pun, dia mampu menyeimbangkan berbagai pihak. Dia aktif dalam forum keagamaan, politik, bahkan menjadi inisiator ''Jihad Konstitusional'', sampai bergaul akrab dengan kalangan nonmuslim maupun para artis.

Dalam muktamar di Makassar kali ini, di antara para calon yang muncul,satu-satunya yang mendekati kemampuan Din Syamsuddin hanya Prof Dr A. Syafiq Mughni. Syafiq yang merupakan tokoh Muhammadiyah Jawa Timur asli Paciran, Lamongan, mempunyai kapasitas intelektual dan keagamaan sekelas Din.

Pesaing Syafiq yang terpenting adalah Dr Yunahar Ilyas. Sebagai lulusan universitas di Arab Saudi, Yunahar sering dianggap mewakili kelompok ''Wahabi'' meski anggapan itu tidak tepat. Namun, karena dia ''kurang gaul'' dengan para artis atau tokoh-tokoh nonmuslim seperti Din Syamsuddin, Yunahar kurang dikenal secara nasional. Sangat sulit membayangkan Yunahar Ilyas bisa bergaul luwes dengan para artis seperti Cici Tegal, Iis Dahlia, dan barisan artis lain yang selama ini dekat dengan Muhammadiyah.

Hasil persaingan antara Syafiq Mughni dan Yunahar Ilyas itu akan mewarnai perjalanan Muhammadiyah lima tahun ke depan. Sudah tentu, hal itu juga akan mewarnai kehidupan nasional karena Muhammadiyah merupakan salah satu komponen bangsa dan organisasi Islam terbesar. Untuk Muhammadiyah, ini sangat strategis karena di belakang Syafiq berdiri sederetan intelektual muda yang reformis dan progresif. Misalnya, Dr Rizal Sukma, Dr Muhadjir Effendy, Dr Abdul Mukti MEd, dan H Hajriyanto Y. Thohari.

Sebaliknya di kubu Yunahar Ilyas terdapat nama-nama yang populer dengan mereka yang antiliberal. Misalnya, Buya Risman dan Goodwill Zubir.
Oleh karena itu, sesungguhnya sangat sulit mengharapkan adanya kejutan dalam muktamar Muhammadiyah di Makassar ini. Bahkan, sebagian tokoh reformis agak ketakutan kalau dianggap terlalu ''proreformasi'' dan hal itu akan disamakan dengan ''proliberal'' yang pada akhirnya akan membuat mereka terpental dari jajaran elite PP Muhammadiyah. Namun, jika Muhammadiyah ingin semakin maju, mestinya kelompok intelektual muda progresif diberi kesempatan lebih banyak ketimbang mereka yang hanya ingin mempertahankan status quo. 
Sangat sulit membayangkan Muhammadiyah dipimpin tokoh yang tidak punya wawasan keagamaan memadai tetapi sekaligus punya wawasan nasional dan internasional yang luas.

Rasanya akan menjadi bencana bagi Muhammadiyah jika pimpinannya nanti kelompok yang eksklusif, garis keras, dan bahkan menampakkan wajah mirip kaum ''Wahabi'' atau ''Salafi'' yang terasa asing di kalangan umat Islam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar