Gunung Sumbing yang Biru dan Membisu
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 04 Agustus 2015
Kabut putih menyelimuti puncak
Gunung Sumbing yang tua, tabah, dan anggun menghadapi terpaan angin dan
hujan. Kabut itu meleleh ketika sinar matahari pagi menerpanya.
Selimutnya tersingkap. Wajahnya
tampak lebih nyata. Dari jarak beberapa kilo meter di dekat Kota Temanggung,
batu-batu di puncak gunung itu tampak jelas lekuk-lekuknya. Juga, warna
alamnya yang putih, abu-abu, dan hitam. Di musim kemarau seperti ini, hawa
dingin menggigit tulang. Tapi, ketika sinar matahari memancar, kehangatan
muncul.
Seorang kakek tua yang duduk di
bawah rumpun pisang di ladangnya menghadap matahari pagi yang menghangatkan
itu. Si kakek mengisap kretek dalam lintingan besar. Ini kretek bikinannya
sendiri. Asap putih mengepul di udara. Dia menghisap lagi kreteknya dengan nikmat
dan mengembuskan asapnya. Tak henti-hentinya sepanjang pagi yang dingin. Dia
memerlukan kehangatan. Asap itu menyatu dengan kabut pagi yang perlahan-lahan
turun dari puncaki Gunung Sumbing.
Gulungan-gulungan asap putih itu
melewatinya, menerpa wajahnya yang tua, untuk kemudian lenyap di tempat yang
jauh. Kakek tua yang berbahagia itu sudah berpuluh-puluh tahun hidup di dalam
lingkungan gunung, batu, hawa dingin yang menggigit, dan ladang-ladang
tembakau. Pada bulanbulan seperti sekarang ini, pada akhir Juni, tanaman
tembakau mulai menghijau.
Dan memberi para warga yang hidup
di kulit gunung itu harapan hidup yang lebih baik. Akhir Juli harapan itu
bukan lagi sekadar harapan. Tanaman tembakaunya kelihatan hijau. Di seluruh
ladangnya itu hanya warna hijau yang tampak. Hijau tua yang menyegarkan.
Lebih tua dari warna batu akik dari Bacan zamrud atau batu giok.
Warna itu bukan hanya milik
ladangnya. Di semua ladang warna yang sama tampak di mana-mana. Akhir Juli
mendekati panen raya. Mereka akan segera memetik daun terbawah. Satu daun
terbawah, yang sudah tua dan sudah waktunya dipanen. Para petani menyebut
tembakau yang mereka panen itu emas hijau.
Di berbagai daerah, hingga di
Madura, di luar Pulau Jawa, sebutan emas hijau mewakili nama tembakau mereka.
Kita tahu, lembaran-lembaran daun tembakau itu begitu berharga, begitu mahal,
sebanding dengan harga emas.
Semenjak zaman kekeknya, kemudian
turun ke generasi ayahnya, dan kini ke generasinya, kehidupan itu seperti
cakra manggilingan roda perputaran nasib, roda kehidupan yang tak pernah
berhenti. Menanam tembakau, merawat, yaitu menyirami dan member inya pupuk ,
kemudian membersihkan gulma dan segenap tetumbuhan di sekitar tanaman
tembakaunya agar tanamannya berkembang baik dan subur.
Kemudian memanen. Kemudian
mengeram daun-daun hijau itu di dalam tumbuhan supaya warganya menjadi
kuning. Dan kemudian merajangnya: memotong dengan gobel yaitu pisau lebar dan
tajam, untuk membentuknya menjadi tembakau yang kita kenal. Hidup berputar
seperti itu. Tak ada perubahan kecuali jika alam berbuah.
Menghadapi apa yang disebut
perubahan iklim sekarang, tanaman tembakau pun mengalami perubahan. Ada masa,
seperti dua atau tiga tahun yang lewat, ketika hujan terus-menerus kandungan
air dalam tembakau lebih tinggi. Kualitas tembakaunya rendah. Harga jualnya
juga murah.
Petani
terpukul. Tetapi, di sepanjang tahun ini hujan sangat jarang turun. Ini
tahun yang baik bagi petani tembakau. Musim kering membuat kualitas tembakau
menjadi lebih baik. Kandungan air pada tembakau sedikit. Kualitasnya bagus.
Lebih bagus dibanding tembakau yang kandungan airnya lebih banyak.
Tembakau
Srinthil dari Desa Lamuk merupakan primadona. Baunya segar, seperti kombinasi
bau salak dan bau jenang dodol yang asam-asam manis. Bila disentuh, terasa
kelembutannya. Dia bisa bertahan lama, bertahun tahun. Harganya bisa mencapai
satu juta rupiah per kilogram.
Tadi
sudah disebutkan, tembakau diberi julukan sebagai emas hijau. Itu tembakau
biasa pada umumnya. Tembakau Srinthil, sang primadona, lain lagi.
“Derajatnya” lebih tinggi. Dia seperti berasal dari “trah” yang lain. Gunung
Sumbing dengan murah hati memberikan hasil seperti itu.
Gunung
itu tak pernah mengharap balasan apa pun dari para petani yang menumpang di
atas pemukaannya. Perlahan-lahan, berabad abad dalam kehidupannya yang diam
dan membisu, gunung itu tak pernah meminta apa pun. Dari kejauhan gunung itu
memancarkan keteduhan yang biru. Mungkin sebiru langit.
Mungkin
sebiru laut. Dia biru dan membisu. Si kakek tua itu sudah tak terlalu aktif
mengurusi pertanian tembakau. Anak, dan cucunya yang mulai dewasa,
menggantikannya. Sang kakek hanya mengawasi, ikut mengontrol, dan
mengingatkan kelalaian anak dan cucunya. Tapi, tak berarti sang kakek tak
lagi penting.
Kakek
mengingatkan telah tiba saatnya menyelenggarakan upacara menyambut masa panen
yang sudah merupakan tradisi, yang dianggap seperti sesuatu yang suci dan
abadi. Kali ini di ujung terakhir bulan Juli, upacara seperti itu sudah
waktunya diselenggarakan. Si kakek tahu seluk beluk upacara dengan sesajen
dan segelap doa dan kelengkapannya.
Ada
ketua adat, yang merupakan “ahli” di bidang itu. Tapi, si kakek yang
bertahun-tahun terlibat secara dekat didalam upacara itu menjadi “ahli” pula.
Inilah cara para petani menyatakan syukur pada yang Mahapemurah, yang membuat
hidup mereka selamat, sejahtera, dan penuh berkah. Itulah warisan tradisi.
Itulah
wujud kehidupan yang menggambarkan harmoni antara manusia dan tanah, manusia
dan batu, manusia dan air, manusia dan udara, manusia dan gunung, manusia dan
segenap tanaman, manusia dan tembakau. Harmoni itu dijaga. Mereka memohon
selamat tanahnya, selamat batunya, selamat airnya, selamat udaranya, selamat
gunungnya, selamat semuanya.
Manusia
dan alam bersahabat. Manusia dan alam selamat. Manusia dan alam, sebagai
makhluk, semua berbahagia. Semua sejahtera. Gunung Sumbing yang biru, sebiru
langit, sebiru laut, tetap membisu. Tapi, para petani yang sensitif,
merasakan tarikan “nafasnya”.
Mereka
yang paham, merasakan pula gerak kehidupannya. Gunung Sumbing yang biru dan
bisu juga makhluk hidup. Dia pun bernapas seperti kita, manusia, yang
menumpang hidup di permulaan kulitnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar