Kamis, 06 Agustus 2015

Dampak Kesepakatan Nuklir Iran

Dampak Kesepakatan Nuklir Iran

Smith Alhadar  ;   Penasihat ISMES; Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
                                                       KOMPAS, 05 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah perundingan maraton 18 hari yang melelahkan di Vienna, Austria, pada 14 Juli, Iran dan P5+1 mencapai kesepakatan final bersejarah atas program nuklir Iran. P5+1 adalah enam kekuatan dunia: AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis, dan Jerman.

Tercapainya kesepakatan ini tak lepas dari sanksi ekonomi PBB, AS, dan Uni Eropa (UE) yang telah memukul ekonomi Iran. Di lain pihak, AS  juga menghadapi masalah di kawasan  Ukraina, Asia Pasifik, dan masalah internal. Tadinya, harapan AS dan UE agar musim semi Arab berdampak pada Iran ternyata tidak terwujud.

Dampak internal-regional

Kesepakatan ini punya implikasi signifikan atas identitas Iran. Sejak Revolusi 1979, Iran mendefinisikan dirinya sebagai penentang kekuatan global, khususnya AS yang disebut "Setan Besar". Ini dapat dilihat dari pernyataan pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei di hadapan mahasiswa  di Teheran (11 Juli 2015)  bahwa inti dari revolusi Iran adalah melawan arogansi global AS.

Hal ini tentu tak diharapkan oleh Washington yang berharap kesepakatan ini akan mengakhiri permusuhan Iran-AS. Apalagi, Khamenei juga menyerukan agar mahasiswa melanjutkan perjuangan melawan AS. Mengingat Khamenei telah memberikan mandat kepada tim perunding Iran untuk mencapai kesepakatan dengan P5+1, dengan memberikan konsesi secukupnya, kita harus menganggap pernyataan Khamenei itu hanya untuk konsumsi dalam negeri.

Kesepakatan yang merintangi aktivitas program nuklir Iran hingga ke batas di mana Iran dianggap tidak mungkin membuat bom nuklir, setidaknya hingga 10 tahun ke depan, telah mengecewakan kelompok garis keras dalam negeri. Kesepakatan itu dinilai menghilangkan identitas Iran yang dibangun pemimpin revolusi, Ayatullah Ruhullah Khomeini (alm).

Hilangnya identitas itu tentu sangat menyakitkan. Khamenei, pengganti Khomeini, tidak memiliki kharisma dan kedudukan keagamaan yang sama dengan Khomeini. Hal ini membuat Khamenei selalu mencari titik kompromi di antara kelompok-kelompok yang bertikai.

Dalam konteks inilah, pernyataan Khamenei harus diletakkan. Hilangnya identitas itu akan menelanjangi Iran sebagai negara yang menjalankan politik sektarian, yaitu mendukung kelompok Syiah di mana pun, yang membawa konflik dengan negara-negara Arab Sunni di kawasan, seperti Arab Saudi.

Kesepakatan membuat kubu reformis yang berkuasa memiliki kesempatan lagi untuk memperkokoh eksistensi mereka. Dulu, selama dua periode pemerintahan reformis (1997-2005) gagal total karena tidak didukung lingkungan internasional. Ratusan media reformis dan kelonggaran kode berpakaian bagi perempuan dan musik Barat tak dapat  diteruskan, menyusul memburuknya kondisi ekonomi. Inflasi dan pengangguran sangat tinggi. Mata uang riyal Iran terjun bebas.

Faktor-faktor inilah yang membuat Mahmoud Ahmadinejad-Wali Kota Teheran yang sederhana dan pekerja keras dari kubu konservatif-menang mudah dalam Pemilu 2005. Pemilihnya kelas menengah ke bawah yang paling terkena dampak ekonomi. Namun, pemerintahan Ahmadinejad pun gagal lantaran dikenai sanksi ekonomi dan isolasi politik yang lebih berat oleh PBB, AS, dan UE, menyusul sikap kerasnya dalam soal program nuklir dan retorika anti-semitnya.  Ini membuat Hassan Rouhani dari kalangan reformis mengalahkan lawan dari kubu konservatif dalam Pemilu 2013.

Dicabutnya sanksi memungkinkan pemerintahan Presiden Hassan Rouhani mendapatkan kembali dana Iran sekitar 100 miliar-150 miliar dollar AS yang dibekukan di  bank-bank luar negeri. Uang sebanyak itu bisa dipakai sebagai kompensasi bagi kelompok garis keras, membangun infrastruktur, dan memperluas serta meningkatkan kapasitas industri Iran. Kelompok garis keras di parlemen bisa saja bersuara keras, tapi sejumlah jajak pendapat di Iran menunjukkan mayoritas rakyat Iran menyukai AS.

Kalau Iran gembira, tidak demikian dengan Israel dan Arab Saudi. Selama bertahun-tahun Iran menjadi mimpi buruk bagi mereka. Saking takutnya, PM Israel Benjamin Netanyahu, pada Maret lalu, berkunjung dan berpidato di Kongres AS, dengan melangkahi Gedung Putih. Pidato Netanyahu yang provokatif itu bertujuan menjegal kesepakatan yang masih bersifat tentatif ketika itu.

Pencabutan sanksi atas Iran memang mengubah perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Setelah Perang 1967, Israel belum pernah merasa rentan seperti saat ini. Toh, Iran tidak mengakui eksistensi Israel, tidak mendukung Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas dari faksi Fatah, dan hanya mendukung Hamas dan Jihad Islami.

Arab Saudi pun mengambil langkah yang tidak biasa. Mendiang Raja Abdullah bin Abdul Aziz  menawarkan suplai minyak murah berjangka panjang kepada Presiden  Xi Jinping asalkan Tiongkok mau menjegal kesepakatan program nuklir Iran. Gagal dengan Tiongkok, Saudi membangun aliansi dengan Perancis dan Rusia.

Pada Mei, Presiden Perancis Francois Hollande menghadiri KTT GCC di Riyadh untuk membicarakan nuklir Iran dan kerja sama pertahanan. Pada akhir Juni, Wakil Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa. Permintaan Saudi agar Rusia menarik dukungan terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad dukungan Iran tidak dikabulkan. Namun, Rusia menyetujui kerja sama pertahanan dengan Saudi dan pembangunan 16 reaktor nuklir sipil di sana untuk menandingi Iran. Hal ini menandai lomba nuklir di kawasan. Toh, Mesir juga telah menyatakan akan mengikuti jejak Iran.

Terkait Afganistan, pemerintahan Presiden Ashraf Gani dukungan AS dan Iran  terlalu rapuh, sementara koalisi Pakistan-Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) ingin mengembalikan Taliban ke pusat kekuasaan. Pakistan ingin mengendalikan pemerintahan Kabul untuk memudahkannya mendapat akses ke Asia Tengah, sementara GCC-terdiri dari Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, dan Kuwait-hendak menyedot kekuatan Iran dari sebelah timur, sebagaimana yang mereka lakukan di masa lalu. GCC juga akan meningkatkan bantuan kepada oposisi Suriah untuk menjatuhkan rezim Bashar al-Assad dukungan Iran. Ini juga akan berarti melemahkan Hizbullah di Lebanon yang selama ini mendapat bantuan Iran melalui Suriah.

Hal lain yang akan dilakukan Iran adalah mengontrol Teluk Persia. Mungkin saja Iran menyulut  rakyat Bahrain yang 70 persen populasinya menganut Syiah. Iran juga mungkin akan mengompori Syiah di Saudi dan UEA yang diperlakukan sebagai warga kelas dua, serta terus membantu milisi Houthi di Yaman. Alhasil,  Timur Tengah akan menyaksikan dinamika baru.

Dampak global

Rekonsiliasi dengan Iran memungkinkan AS berkonsentrasi pada Tiongkok yang asertif di Asia Pasifik dan Rusia yang mendukung separatis Ukraina. Mobilisasi militer di Baltik, Eropa Timur, dan Asia Pasifik sangat penting untuk memperkuat diplomasi AS vis a vis  Tiongkok dan Rusia. Hal lain, pencabutan sanksi akan menurunkan harga minyak dunia, menyusul masuknya satu juta barrel minyak Iran ke pasar internasional jika Saudi tidak bersedia memotong produksinya. Dampak lain, Iran yang kaya sumber alam dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Apalagi, dunia bisa mendapatkan akses ke Asia Tengah yang tertutup melalui Iran. Akses melalui Turki tidak praktis dan mahal.

Namun, harus dikatakan juga bahwa dicabutnya sanksi belum membuat Iran bisa leluasa membantu persenjataan kepada sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Namun, ini tidak berarti Iran dapat berperangai agresif. Jika Teheran secara frontal memaksakan perubahan status quo di kawasan yang mengancam kepentingan Barat, akan tercipta situasi genting yang melibatkan kekuatan-kekuatan global.

Semua ini, beserta oposisi Saudi dan Israel, dapat mendorong Kongres membatalkan kesepakatan itu. Namun, jika AS membatalkan, sementara PBB, UE, Rusia, dan Tiongkok mendukungnya, akan muncul persoalan internasional baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar