Kamis, 06 Agustus 2015

UU MD3 dan Pemilu Legislatif

UU MD3 dan Pemilu Legislatif

Ramlan Surbakti  ;   Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga
                                                       KOMPAS, 05 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagaimana mungkin anggota DPR bisa memperjuangkan aspirasi daerah pemilihan apabila yang menjadi peserta pemilu anggota DPR di setiap daerah pemilihan bukan calon anggota DPR, melainkan partai politik peserta pemilu?

Bagaimana mungkin setiap anggota DPR mengklaim mewakili daerah pemilihan (dapil) dan karena itu memperjuangkan aspirasi dapil apabila jumlah dapil DPR bukan 560, melainkan hanya 77? Bagaimana mungkin setiap anggota DPR mengklaim Rp 20 miliar per tahun sebagai dana aspirasi dapil jika besaran daerah pemilihan anggota DPR bukan single-member constituency (satu kursi untuk setiap dapil DPR), melainkan multi-member constituency (tiga hingga sepuluh kursi).

Selain itu, alokasi dana per anggota DPR justru akan mempertajam kesenjangan pembangunan daerah karena alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi belum dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan keterwakilan (equal representation). Harga kursi DPR (jumlah penduduk untuk satu kursi DPR) paling mahal dan paling murah berada di provinsi di luar Jawa.

Dimensi konstitusi

Yang memiliki kursi DPR bukan calon terpilih anggota DPR, melainkan partai politik peserta pemilu yang mampu memenuhi ambang batas perwakilan. Penetapan calon terpilih anggota DPR berdasarkan ”suara terbanyak” (baca: jumlah suara lebih banyak) hanya berfungsi sebagai tata cara menentukan nama calon yang akan mengisi kursi partai. Jelas hal ini sangat kontras dengan formula penetapan calon terpilih untuk pemilu anggota DPR atau Senat di Amerika Serikat; baik karena yang menjadi peserta pemilu anggota DPR atau Senat di AS bukan parpol, melainkan calon yang diajukan oleh partai maupun formula pemilihan yang digunakan bukan proporsional dan suara terbanyak, melainkan mayoritarian.

Yang paling aneh adalah bagaimana mungkin anggota DPR mengklaim memperjuangkan aspirasi dapil bila yang menjadi materi kampanye yang harus disampaikan kepada pemilih di setiap dapil bukan visi, misi, dan program para calon, melainkan visi, misi, dan program parpol sebagai peserta pemilu. Dokumen visi, misi, dan program parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD wajib diserahkan kepada KPU sebagai salah satu persyaratan menjadi peserta pemilu. Karena itu, dokumen ini niscaya masih tersimpan di KPU. Parpol yang menjanjikan program pembangunan kepada pemilih di setiap dapil, mengapa anggota DPR yang memperjuangkan aspirasi dapil?

Berdasarkan sistem pemilihan umum yang diadopsi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, seorang pemilih memberikan suara kepada suatu partai (langsung atau melalui seorang calon yang diajukan oleh suatu partai) tidak lain karena menganggap visi, misi, dan program partai tersebut sesuai dengan aspirasinya. Itulah sebabnya pengambilan keputusan di DPR selalu dilakukan berdasarkan pendapat akhir setiap fraksi tidak hanya karena parpol yang menjadi pemilik kursi di DPR, tetapi juga karena parpol-lah yang menyampaikan visi, misi, dan program kepada rakyat di setiap dapil.

Karena itu, berdasarkan ketentuan UUD dan UU Pemilu itu, peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan DPRD-lah yang wajib memperjuangkan apa yang sudah dijanjikan kepada rakyat pada kampanye pemilu, yaitu visi, misi, dan program partai. Yang harus diperjuangkan para anggota DPR dari suatu parpol menjadi UU atau APBN bukan aspirasi dapil, melainkan visi, misi, dan program parpol.

Untuk memperjelas dimensi konstitusi dari persoalan dana aspirasi ini, perlu dikemukakan peserta pemilu penyelenggara lembaga negara lainnya sebagai perbandingan. Peserta pemilu anggota DPD adalah perseorangan (Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945) dan, karena itu, setiap calon anggota DPD wajib menyusun visi, misi, dan program perseorangan calon anggota DPD sebagai materi kampanye. Dokumen ini juga wajib diserahkan kepada KPU sebagai salah satu persyaratan menjadi peserta pemilu. Karena itu, yang harus diperjuangkan oleh anggota DPD terpilih adalah berupaya menjadikan visi, misi, dan program dia sebagai calon anggota DPD sebagai bagian dari UU atau APBN.

Karena yang menjadi peserta pemilu presiden dan wakil presiden bukan parpol atau gabungan parpol, melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh parpol (Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945); maka, yang wajib menyusun visi, misi, dan program bukan parpol, melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dokumen visi, misi, dan program ini tidak hanya harus diserahkan kepada KPU sebagai pemenuhan salah satu persyaratan sebagai peserta pemilu, tetapi juga menjadikan visi, misi, dan program tersebut menjadi materi kampanye. Karena itu yang harus diperjuangkan pasangan calon terpilih presiden dan wakil presiden adalah menjadikan visi, misi, dan program yang sudah ditawarkan kepada rakyat pada waktu kampanye pemilu menjadi bagian dari UU dan APBN.

Biang kerok

Karena heboh soal urusan dana aspirasi, niscaya muncul pertanyaan berikut. Ketika DPR memberikan masukan dan ikut membahas dan menyetujui RAPBN (dengan atau tanpa perubahan) yang diajukan oleh pemerintah, aspirasi siapa yang dikemukakan? Jawabannya niscayalah aspirasi dapil sebagaimana yang dijanjikan parpol kepada rakyat pada waktu kampanye pemilu. Apa saja yang menjadi aspirasi dapil? Tidak lain merupakan visi, misi, dan program yang dijanjikan parpol yang memiliki kursi di DPR (karena pemilih memberikan suara kepada suatu partai karena menilai visi, misi, dan program parpol sesuai dengan aspirasinya).

Apabila anggota DPR mengusulkan dana aspirasi dapil (usulan program pembangunan daerah pemilihan), itu tak hanya tidak sesuai dengan UUD dan UU Pemilu (yang mengatur bagaimana anggota DPR terpilih), tetapi juga menimbulkan tanda tanya atau kesan seolah aspirasi dapil belum pernah diperjuangkan. Padahal, keberadaan DPR justru untuk menyuarakan aspirasi dapil melalui parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa anggota DPR mengklaim mewakili dan memperjuangkan aspirasi dapil? Pasal 78 UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) mengenai bunyi sumpah/janji para anggota DPR menugaskan ”para anggota DPR untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan NKRI.” Selanjutnya, dalam Pasal 80 huruf j UU MD3, para anggota DPR dinyatakan berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Dengan demikian, biang kerok dari heboh dana aspirasi anggota DPR tidak lain UU No 17/2014 tentang MD3.

Bagaimana seseorang terpilih seharusnya menentukan bagaimana seseorang itu menjalankan tugas. UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD seharusnya menentukan substansi tugas dan kewenangan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan, ketentuan Pasal 78 dan Pasal 80 huruf j di atas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD. Fraksi sebagai wakil partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR-lah yang seharusnya mengoordinasi (bahkan dapat memaksa) anggota DPR dari partai itu untuk melaksanakan tugas merepresentasikan dapil sesuai dengan visi, misi, dan program yang sudah dijanjikan partai kepada pemilih di setiap dapil.

Sebagai perbandingan dapat dikemukakan apa yang terjadi di AS. Di AS yang menjadi peserta pemilu anggota DPR ataupun Senat adalah calon yang diajukan (yang memenangkan pemilihan pendahuluan dan konvensi) oleh partai. Besaran dapil di kedua lembaga ini adalah satu kursi di setiap dapil. Di DPR ataupun Senat terdapat sejumlah pimpinan fraksi dari setiap partai. Salah satu di antaranya disebut Whip yang bertugas mengoordinasi anggota dalam penentuan agenda dan pembuatan keputusan agar sesuai dengan agenda partai. Akan tetapi, seorang anggota DPR atau Senator dapat mengatakan kepada pimpinan partainya: saya tidak dapat mengikuti suara partai karena konstituen saya memiliki aspirasi lain. Pimpinan partai tidak berwenang menarik (memberhentikan) wakil rakyat yang tidak mengikuti suara partai karena yang menjadi peserta pemilu adalah calon yang diajukan partai. Yang berjanji kepada para pemilih di suatu dapil bukan partai politik, melainkan calon anggota DPR atau calon Senator.

Dalam konteks Indonesia, pimpinan fraksi atas perintah dewan pimpinan partai berhak menarik anggotanya dari DPR jika anggota tersebut tidak melaksanakan garis kebijakan partai. Tidak hanya karena kursi DPR itu adalah milik partai, tetapi juga karena partai sudah menyampaikan visi, misi, dan program partai sebagai garis kebijakan partai kepada pemilih di setiap dapil. Singkat kata, ke depan substansi UU tentang MD3 (khususnya tentang tugas dan kewenangan DPR, DPD, dan DPRD) harus mengikuti sistem pemilu yang diadopsi dalam UU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar