UU MD3 dan Pemilu Legislatif
Ramlan Surbakti ; Guru
Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
05 Agustus 2015
Bagaimana mungkin anggota DPR bisa
memperjuangkan aspirasi daerah pemilihan apabila yang menjadi peserta pemilu
anggota DPR di setiap daerah pemilihan bukan calon anggota DPR, melainkan
partai politik peserta pemilu?
Bagaimana mungkin setiap anggota
DPR mengklaim mewakili daerah pemilihan (dapil) dan karena itu memperjuangkan
aspirasi dapil apabila jumlah dapil DPR bukan 560, melainkan hanya 77?
Bagaimana mungkin setiap anggota DPR mengklaim Rp 20 miliar per tahun sebagai
dana aspirasi dapil jika besaran daerah pemilihan anggota DPR bukan single-member constituency (satu kursi
untuk setiap dapil DPR), melainkan multi-member
constituency (tiga hingga sepuluh kursi).
Selain itu, alokasi dana per
anggota DPR justru akan mempertajam kesenjangan pembangunan daerah karena
alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi belum dilakukan berdasarkan prinsip
kesetaraan keterwakilan (equal
representation). Harga kursi DPR (jumlah penduduk untuk satu kursi DPR)
paling mahal dan paling murah berada di provinsi di luar Jawa.
Dimensi
konstitusi
Yang memiliki kursi DPR bukan
calon terpilih anggota DPR, melainkan partai politik peserta pemilu yang
mampu memenuhi ambang batas perwakilan. Penetapan calon terpilih anggota DPR
berdasarkan ”suara terbanyak” (baca: jumlah suara lebih banyak) hanya
berfungsi sebagai tata cara menentukan nama calon yang akan mengisi kursi
partai. Jelas hal ini sangat kontras dengan formula penetapan calon terpilih
untuk pemilu anggota DPR atau Senat di Amerika Serikat; baik karena yang
menjadi peserta pemilu anggota DPR atau Senat di AS bukan parpol, melainkan
calon yang diajukan oleh partai maupun formula pemilihan yang digunakan bukan
proporsional dan suara terbanyak, melainkan mayoritarian.
Yang paling aneh adalah bagaimana
mungkin anggota DPR mengklaim memperjuangkan aspirasi dapil bila yang menjadi
materi kampanye yang harus disampaikan kepada pemilih di setiap dapil bukan
visi, misi, dan program para calon, melainkan visi, misi, dan program parpol
sebagai peserta pemilu. Dokumen visi, misi, dan program parpol sebagai
peserta pemilu anggota DPR dan DPRD wajib diserahkan kepada KPU sebagai salah
satu persyaratan menjadi peserta pemilu. Karena itu, dokumen ini niscaya
masih tersimpan di KPU. Parpol yang menjanjikan program pembangunan kepada
pemilih di setiap dapil, mengapa anggota DPR yang memperjuangkan aspirasi
dapil?
Berdasarkan sistem pemilihan umum
yang diadopsi dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD, seorang pemilih memberikan suara kepada suatu partai (langsung atau
melalui seorang calon yang diajukan oleh suatu partai) tidak lain karena
menganggap visi, misi, dan program partai tersebut sesuai dengan aspirasinya.
Itulah sebabnya pengambilan keputusan di DPR selalu dilakukan berdasarkan
pendapat akhir setiap fraksi tidak hanya karena parpol yang menjadi pemilik
kursi di DPR, tetapi juga karena parpol-lah yang menyampaikan visi, misi, dan
program kepada rakyat di setiap dapil.
Karena itu, berdasarkan ketentuan
UUD dan UU Pemilu itu, peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan DPRD-lah
yang wajib memperjuangkan apa yang sudah dijanjikan kepada rakyat pada kampanye
pemilu, yaitu visi, misi, dan program partai. Yang harus diperjuangkan para
anggota DPR dari suatu parpol menjadi UU atau APBN bukan aspirasi dapil,
melainkan visi, misi, dan program parpol.
Untuk memperjelas dimensi
konstitusi dari persoalan dana aspirasi ini, perlu dikemukakan peserta pemilu
penyelenggara lembaga negara lainnya sebagai perbandingan. Peserta pemilu
anggota DPD adalah perseorangan (Pasal 22E Ayat (4) UUD 1945) dan, karena
itu, setiap calon anggota DPD wajib menyusun visi, misi, dan program
perseorangan calon anggota DPD sebagai materi kampanye. Dokumen ini juga
wajib diserahkan kepada KPU sebagai salah satu persyaratan menjadi peserta
pemilu. Karena itu, yang harus diperjuangkan oleh anggota DPD terpilih adalah
berupaya menjadikan visi, misi, dan program dia sebagai calon anggota DPD
sebagai bagian dari UU atau APBN.
Karena yang menjadi peserta pemilu
presiden dan wakil presiden bukan parpol atau gabungan parpol, melainkan
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh parpol (Pasal
6A Ayat (1) UUD 1945); maka, yang wajib menyusun visi, misi, dan program
bukan parpol, melainkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dokumen
visi, misi, dan program ini tidak hanya harus diserahkan kepada KPU sebagai
pemenuhan salah satu persyaratan sebagai peserta pemilu, tetapi juga
menjadikan visi, misi, dan program tersebut menjadi materi kampanye. Karena
itu yang harus diperjuangkan pasangan calon terpilih presiden dan wakil
presiden adalah menjadikan visi, misi, dan program yang sudah ditawarkan
kepada rakyat pada waktu kampanye pemilu menjadi bagian dari UU dan APBN.
Biang
kerok
Karena heboh soal urusan dana
aspirasi, niscaya muncul pertanyaan berikut. Ketika DPR memberikan masukan
dan ikut membahas dan menyetujui RAPBN (dengan atau tanpa perubahan) yang
diajukan oleh pemerintah, aspirasi siapa yang dikemukakan? Jawabannya
niscayalah aspirasi dapil sebagaimana yang dijanjikan parpol kepada rakyat
pada waktu kampanye pemilu. Apa saja yang menjadi aspirasi dapil? Tidak lain
merupakan visi, misi, dan program yang dijanjikan parpol yang memiliki kursi
di DPR (karena pemilih memberikan suara kepada suatu partai karena menilai
visi, misi, dan program parpol sesuai dengan aspirasinya).
Apabila anggota DPR mengusulkan
dana aspirasi dapil (usulan program pembangunan daerah pemilihan), itu tak
hanya tidak sesuai dengan UUD dan UU Pemilu (yang mengatur bagaimana anggota
DPR terpilih), tetapi juga menimbulkan tanda tanya atau kesan seolah aspirasi
dapil belum pernah diperjuangkan. Padahal, keberadaan DPR justru untuk
menyuarakan aspirasi dapil melalui parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR.
Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa anggota DPR mengklaim mewakili dan memperjuangkan aspirasi dapil?
Pasal 78 UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (MD3) mengenai bunyi sumpah/janji para anggota DPR menugaskan ”para
anggota DPR untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan NKRI.” Selanjutnya,
dalam Pasal 80 huruf j UU MD3, para anggota DPR dinyatakan berhak mengusulkan
dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Dengan demikian,
biang kerok dari heboh dana aspirasi anggota DPR tidak lain UU No 17/2014
tentang MD3.
Bagaimana seseorang terpilih
seharusnya menentukan bagaimana seseorang itu menjalankan tugas. UU No 8/2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD seharusnya menentukan substansi
tugas dan kewenangan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan, ketentuan Pasal 78
dan Pasal 80 huruf j di atas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3)
UUD 1945 yang menetapkan parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD.
Fraksi sebagai wakil partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di
DPR-lah yang seharusnya mengoordinasi (bahkan dapat memaksa) anggota DPR dari
partai itu untuk melaksanakan tugas merepresentasikan dapil sesuai dengan
visi, misi, dan program yang sudah dijanjikan partai kepada pemilih di setiap
dapil.
Sebagai perbandingan dapat
dikemukakan apa yang terjadi di AS. Di AS yang menjadi peserta pemilu anggota
DPR ataupun Senat adalah calon yang diajukan (yang memenangkan pemilihan
pendahuluan dan konvensi) oleh partai. Besaran dapil di kedua lembaga ini
adalah satu kursi di setiap dapil. Di DPR ataupun Senat terdapat sejumlah
pimpinan fraksi dari setiap partai. Salah satu di antaranya disebut Whip yang bertugas mengoordinasi
anggota dalam penentuan agenda dan pembuatan keputusan agar sesuai dengan
agenda partai. Akan tetapi, seorang anggota DPR atau Senator dapat mengatakan
kepada pimpinan partainya: saya tidak dapat mengikuti suara partai karena
konstituen saya memiliki aspirasi lain. Pimpinan partai tidak berwenang
menarik (memberhentikan) wakil rakyat yang tidak mengikuti suara partai
karena yang menjadi peserta pemilu adalah calon yang diajukan partai. Yang
berjanji kepada para pemilih di suatu dapil bukan partai politik, melainkan
calon anggota DPR atau calon Senator.
Dalam konteks Indonesia, pimpinan
fraksi atas perintah dewan pimpinan partai berhak menarik anggotanya dari DPR
jika anggota tersebut tidak melaksanakan garis kebijakan partai. Tidak hanya
karena kursi DPR itu adalah milik partai, tetapi juga karena partai sudah
menyampaikan visi, misi, dan program partai sebagai garis kebijakan partai
kepada pemilih di setiap dapil. Singkat kata, ke depan substansi UU tentang
MD3 (khususnya tentang tugas dan kewenangan DPR, DPD, dan DPRD) harus
mengikuti sistem pemilu yang diadopsi dalam UU tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar