TEMPO.CO, 01 Agustus 2015 |
Boneka itu disenangi anak-anak. Tetapi, jika dalam
pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak ini muncul calon boneka, itu
buruk. Kalau calonnya boneka, menjadilah dia bupati atau gubernur
boneka-kalau terpilih. Bagaimana kalau gubernur boneka itu naik pangkat
menjadi presiden? Ini tak usah dibahas.
Kenapa ada calon boneka? Mari kita usut. Calon kepala
daerah harus didukung 20 persen suara hasil pemilu yang lalu. Itu calon dari
partai atau gabungan partai. Ada calon independen, tapi syaratnya diperberat.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 9 Tahun 2015, calon
independen di daerah yang berpenduduk 8-12 juta harus mengumpulkan dukungan minimal
7,5 persen. Dalam pilkada sebelumnya, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 13
Tahun 2010, angka itu cuma 4 persen. Makin berkurang penduduknya, makin
tinggi persentase dukungan. Misalnya, untuk daerah berpenduduk sampai 250
ribu, dukungan minimal 10 persen. Singkat kata, calon independen kurang
diminati.
Partai yang kini kadernya sedang menjabat, hampir
seluruhnya dicalonkan kembali. Statusnya petahana. Meski prestasi petahana
tak terlalu tampak, pengaruhnya sangat besar karena bisa menggerakkan
birokrasi. Betul, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi sudah mengeluarkan
edaran agar pegawai negeri sipil netral. Ah, orang tahu itu cuma teori. Kalau
petahana yang tak berprestasi saja sulit dilawan, apalagi petahana yang
berprestasi, ditambah populer lagi. Contohnya Wali Kota Surabaya, Tri
Rismaharini. Wakil Presiden Jusuf Kalla saja mengakui kehebatan Risma dan
menyebut "sulit untuk dikalahkan".
Tapi politik itu mengadopsi seni silat, tak ada pendekar
yang tak bisa dikalahkan. Apa akal? Partai politik yang oposisi ambil sikap
tidak mengeluarkan calon. Jadilah petahana itu calon tunggal. Kesannya calon
tunggal itu di atas angin. Padahal celaka, karena berdasarkan aturan KPU
Nomor 8 Tahun 2015, jika dalam pilkada serentak ini calonnya tunggal, pilkada
di daerah itu diundur ke pilkada serentak 2017. Risiko bagi petahana besar
karena dia akan digantikan oleh pelaksana tugas, lantaran masa jabatannya
habis. Risma, misalnya, harus diganti pada 20 September nanti saat masa
jabatannya habis. Jika pilkada diundur ke 2017, pengaruh Risma pada birokrasi
diduga sudah berkurang, mungkin pula kepopulerannya menurun. Itu jurus
silatnya.
Lho, bonekanya di mana dong? Sabar. KPU punya aturan unik
bin ajaib. Pendaftaran pilkada dibuat selama tiga hari (26-28 Juli). Namun,
kalau cuma ada calon tunggal, KPU buat sosialisasi selama tiga hari (29-31
Juli), lalu dibuka pendaftaran susulan tiga hari (1-3 Agustus). Setelah itu
baru verifikasi dan diputuskan, pilkada berlanjut atau diundur. Untuk apa sih
sosialisasi lagi? Entah, mbok tanya KPU. Tapi di sinilah waktunya
"musyawarah mufakat", partai yang (pura-pura) gagal mencari calon
"diminta dengan sangat hormat" menampilkan calon asal-asalan.
Barangkali disertai apa yang disebut "politik transaksional".
Politik dengan "jurus silat tangan kosong" ini
sudah terjadi di beberapa daerah. Tak mau menunggu masa sosialisasi dan
pendaftaran susulan, hanya dalam hitungan menit sebelum ditutup, tiba-tiba
calon tak jadi tunggal. Tentu terjadi "musyawarah". Sekarang,
tinggal 12 daerah yang calonnya masih tunggal, termasuk pilkada Surabaya.
Akankah besok lahir calon yang lain? Kita lihat saja.
Pada masa Orde Baru,
itu disebut "calon pendamping" yang sudah pasti kalah. Karena kita
anti-Orde Baru, itu yang disebut calon boneka. Kasihan anak-anak, boneka jadi
simbol negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar