Trialog
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 02 Agustus 2015
Beberapa waktu yang lalu, masih dalam suasana lebaran,
sebagian pemudik sudah balik ke Jakarta, tetapi belum pada kerja, masih
nyantai-nyantai di rumah.
Saya seperti biasa olahraga jalan kaki, pagi-pagi,
keliling kompleks perumahan saya dan kampung-kampung di sekitar kompleks. Di
salah satu kampung itu, tempat permukiman orang Betawi, sambil berjalan
santai, saya mencuri dengar percakapan dua ibu muda. Ibu yang pertama (Ibu I)
sedang membawa jalan-jalan anak balitanya (sekitar umur 2,5 tahun) dan melewati
rumah ibu yang kedua (Ibu II), yang sedang santai berdiri di pintu pagar
rumahnya, sambil menonton orang-orang yang lewat (tentunya termasuk saya).
Ketika melihat Ibu I dengan balitanya, Ibu II menyapa si
balita (bukan menyapa ibunya), ”Eeeeh.... baru pulang mudik, Neng?” ”Iya...
bayu balik, kemayin, cing”, Ibu I menjawab dengan suara dicadelkan dan
dikecilkan seakan suara anak bayi yang baru bisa ngomong. ”Seneng, dong.
Ketemu sama siapa saja di Jawa, kamu Neng?” lanjut Ibu II (buat orang Betawi,
Jakarta tidak terletak di Pulau Jawa, sehingga kalau mereka bilang Jawa,
tidak termasuk Jakarta).
”Iya... cium tangan sama embah, sama Pak De....”, jawab
Ibu I lagi, yang bukan orang Betawi, tetap dengan suara dicadelkan dan
dikecilkan. Sementara itu si balita sendiri berdiri diam, kepalanya mendongak
ke atas untuk melihat muka Ibu II yang mungkin kelihatannya aneh buat si
balita. Dia tidak sadar bahwa dirinya sedang dijadikan wayang golek, dengan
ibunya sendiri sebagai dalang dan Ibu I yang aneh itu sebagai lawan
bicaranya.
Yang menarik dari pengalaman curi dengar saya di atas,
adalah bahwa ketika Ibu I bertemu dengan Ibu II telah terjadi trialog, yaitu
diskusi antartiga pihak yaitu Ibu I dan Ibu II dengan melibatkan balita,
bukan dialog langsung antara Ibu I dan Ibu II. Walaupun si balita pasif,
tidak ngomong apa-apa (ngomong saja belum bisa, kok), tetapi eksistensi atau
keberadaannya diakui, bahkan diajak ngobrol oleh kedua ibu itu.
Buat saya gejala ini menarik, justru karena sering kita
jumpai di Indonesia, tetapi hampir tidak pernah saya lihat di luar negeri. Di
luar sana, ketika dua orang dewasa bertemu dan salah satunya membawa balita,
percakapan tetap akan berlangsung antara dua orang dewasa itu. Salah satu
contoh yang saya masih ingat adalah ketika saya masih kuliah di Edinburgh,
Skotlandia (Inggris).
Edinburgh adalah kota yang sangat cantik. Bagian tercantik
dari kota itu adalah sebuah taman rumput yang sangat luaaaas... di
tengah-tengah kota. Taman yang dinamakan the Princess Garden ini terletak di
sebuah lembah, dikelilingi bukit di keempat sisinya. Di atas bukit di sisi
selatan tegak menjulang Istana Edinburgh, tempat bersemayamnya Duke of
Edinburgh, yaitu Pangeran Philips, suami Ratu Elizabeth II yang sekarang
sedang bertakhta.
Sepanjang bukit di sisi utara, terentang deretan toko-toko
di sepanjang Princess Street, dan di
ujung sebelah timur Princess Street
adalah railway station yang sangat
antik, mirip stasiun kereta api dalam novel Harry Potter, si ahli sihir. Nah,
pada suatu pagi yang cerah di musim panas, saya duduk di salah satu bangku
yang disediakan berderet-deret untuk pengunjung yang ingin memandangi taman
dan Istana Edinburgh.
Saya memegangi sejumlah buku yang mau saya baca untuk
membuat tugas, tetapi mata saya lebih rajin memandangi pasangan- pasangan
lawan jenis yang sedang asyik bergumul di atas rumput (yang kalau di
Indonesia sudah disensor). Pada saat itu di bangku dekat saya duduk seorang
ibu muda juga (saya namakan Mom I) yang sedang mengasuh anak bayinya yang
terlena di dalam kereta bayinya (di Inggris dinamakan ”pram”) sambil membaca
novel entah apa judulnya (waktu itu belum ada Harry Potter).
Tidak lama datang seorang wanita setengah baya (saya
namakan saja Mom II), yang minta izin untuk duduk di sebelah Mom I. Mom I
dengan ceria mempersilakan Mom II, dan si Mom II pun mengambil tempat duduk
sambil mengucapkan beberapa kata basa-basi tentang bayi yang sedang pulas,
tetapi dia tidak mengajak bayi itu bercakap-cakap melainkan mengajak langsung
Mom I berdialog (karena hanya melibatkan dua orang, namanya bukan trialog),
dan seperti setiap orang Inggris di manapun, mereka selalu membuka percakapan
dengan topik cuaca.
Mom II, ”What a
wonderful morning, to day, isnWhat a wonderful morning, to day, isnt” Mom I,
”Yeah, it is not like this every day, is it ” Mom II, ”No, just last week we
had the chilliest summer in British history” dan seterusnya the conversation goes on and on (maaf,
yang gak ngerti bahasa Inggrisnya cari saja di Google Translate, ya). Memang
orang Skotlandia terkenal ramah, jadi di mana-mana cepat berteman.
Jadi pertanyaannya mengapa ibu-ibu di Kampung Betawi, kok
gak ngomongin cuaca, malah ngajak ngomong anak balita yang belum bisa
ngomong, sementara para Mom di Inggris sana, malah sibuk serius bicarakan
cuaca? Perbedaan ini tidak dapat diterangkan begitu saja dengan ilmu
psikologi umum, karena selain perilaku manusia yang universal ada
perilaku-perilaku yang khusus, yang terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan
lokal.
Karena itulah 10-20 tahun terakhir ini muncul cabang
psikologi baru, yaitu psikologi ulayat (Indigenous
Psychology) yang mempelajari perilaku khusus dalam kaitan budaya
tertentu, dan psikologi lintas budaya, yang membandingkan perilaku
antarbudaya.
Itulah sebabnya banyak politisi atau pejabat ditingkat
pusat (Jakarta) yang sering keblinger dalam membuat keputusan-keputusan,
karena yang dipahami oleh orang Jakarta, belum tentu yang berlaku di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar