Angin Antireformasi dalam Muhammadiyah
Djoko Susilo ;
Mantan Ketua PP Pemuda
Muhammadiyah
|
JAWA
POS, 03 Agustus 2015
PEKAN ini Muhammadiyah menggelar kongres di Makassar,
Sulawesi Selatan. Ada beberapa agenda penting dalam pertemuan akbar warga
persyarikatan ini. Di antara agenda tersebut, penggantian Din Syamsuddin
sebagai ketua umum karena masa jabatannya habis dan melanjutkan langkah
reformasi organisasi, baik khitah perjuangan maupun keorganisasian. Itu bukan
hal baru, tetapi masalah lama yang sering timbul dan tenggelam dalam
Muhammadiyah.
Dua puluh lima tahun lalu, gerakan reformasi dalam
Muhammadiyah sempat mencuat dalam muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta pada
1990. Saat itu terdapat dua kubu yang berseteru. Yakni, kubu Jogjakarta yang
antireformasi dengan tokohnya Drs Djazman al Kindi melawan kubu Jakarta yang
proreformasi di bawah pimpinan Drs H Lukman Harun.
Ketegangan kembali muncul pasca gerakan reformasi nasional
pada 1999 hingga awal 2000-an. Euforia kebebasan dan demokratisasi nasional
itu juga berpengaruh di kalangan Muhammadiyah. Sebagian warga Muhammadiyah
larut dalam euforia itu dengan aktif dalam kegiatan politik, antara lain
mendukung PAN yang didirikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Amien
Rais. Dari jajaran pimpinan pusat sampai tingkat ranting, warga Muhammadiyah
mulai terbelah secara politik. Ada yang mendukung PAN, namun masih banyak
pula yang setia kepada Golkar, PPP, atau bahkan PDIP, serta mendukung
partai-partai baru seperti PBB dan Masyumi.
Meski demikian, yang banyak mengkhawatirkan bagi kalangan
''konservatif'' Muhammadiyah saat itu adalah apa yang ditengarai mulai
berjangkitnya ''virus liberal'' dalam Muhammadiyah, baik di kalangan AMM
(Angkatan Muda Muhammadiyah) maupun di kalangan senior Muhammadiyah.
Kelompok JIMM dan para senior Muhammadiyah bersimpati
dengan itu sebenarnya hanya ingin mengembalikan gairah ber-Muhammadiyah dan
khususnya dalam bidang pemikiran. Mereka menilai, sejak beberapa dasawarsa
terakhir sudah terjadi kemandekan berpikir atau dalam bahasa warga
Muhammadiyah, terjadi ''kejumudan'' intelektual. Penyakit TBC alias takhayul,
bidah, dan khurafat yang dahulu sangat ditakuti kini membayang-bayangi lagi.
Tokoh-tokoh yang cukup berbobot pun akhirnya terpental. Di
antaranya, Dr Amien Abdullah, Dr Abdul Munir Mulkhan, dan Dr Muslim
Abdurrachman. Kelompok muda yang bergabung dengan JIMM pun diberangus
sehingga mereka tidak mendapat forum di lingkungan Muhammadiyah. Beberapa
tokoh mudanya, misalnya mantan Ketua IMM Sukidi, akhirnya hijrah ke Amerika
Serikat.
Din Syamsuddin termasuk tokoh yang moderat yang
sesungguhnya mencoba menyeimbangkan antara reformasi dan komitmen kepada
nilai-nilai tradisional Muhammadiyah. Sejak kemunculannya di jajaran elite
Pemuda Muhammadiyah pada 1990 lewat muktamar Pemuda Muhammadiyan di
Palembang, Din selalu mencoba membuat keseimbangan. Sebagai ketua umum PP
Muhammadiyah sejak 2005 pun, dia mampu menyeimbangkan berbagai pihak. Dia
aktif dalam forum keagamaan, politik, bahkan menjadi inisiator ''Jihad
Konstitusional'', sampai bergaul akrab dengan kalangan nonmuslim maupun para
artis.
Dalam muktamar di Makassar kali ini, di antara para calon
yang muncul,satu-satunya yang mendekati kemampuan Din Syamsuddin hanya Prof
Dr A. Syafiq Mughni. Syafiq yang merupakan tokoh Muhammadiyah Jawa Timur asli
Paciran, Lamongan, mempunyai kapasitas intelektual dan keagamaan sekelas Din.
Pesaing Syafiq yang terpenting adalah Dr Yunahar Ilyas.
Sebagai lulusan universitas di Arab Saudi, Yunahar sering dianggap mewakili
kelompok ''Wahabi'' meski anggapan itu tidak tepat. Namun, karena dia
''kurang gaul'' dengan para artis atau tokoh-tokoh nonmuslim seperti Din
Syamsuddin, Yunahar kurang dikenal secara nasional. Sangat sulit membayangkan
Yunahar Ilyas bisa bergaul luwes dengan para artis seperti Cici Tegal, Iis
Dahlia, dan barisan artis lain yang selama ini dekat dengan Muhammadiyah.
Hasil persaingan antara Syafiq Mughni dan Yunahar Ilyas
itu akan mewarnai perjalanan Muhammadiyah lima tahun ke depan. Sudah tentu,
hal itu juga akan mewarnai kehidupan nasional karena Muhammadiyah merupakan
salah satu komponen bangsa dan organisasi Islam terbesar. Untuk Muhammadiyah,
ini sangat strategis karena di belakang Syafiq berdiri sederetan intelektual
muda yang reformis dan progresif. Misalnya, Dr Rizal Sukma, Dr Muhadjir
Effendy, Dr Abdul Mukti MEd, dan H Hajriyanto Y. Thohari.
Sebaliknya di kubu Yunahar Ilyas terdapat nama-nama yang
populer dengan mereka yang antiliberal. Misalnya, Buya Risman dan Goodwill
Zubir.
Oleh karena itu, sesungguhnya sangat sulit mengharapkan
adanya kejutan dalam muktamar Muhammadiyah di Makassar ini. Bahkan, sebagian
tokoh reformis agak ketakutan kalau dianggap terlalu ''proreformasi'' dan hal
itu akan disamakan dengan ''proliberal'' yang pada akhirnya akan membuat
mereka terpental dari jajaran elite PP Muhammadiyah. Namun, jika Muhammadiyah
ingin semakin maju, mestinya kelompok intelektual muda progresif diberi
kesempatan lebih banyak ketimbang mereka yang hanya ingin mempertahankan
status quo.
Sangat sulit membayangkan Muhammadiyah dipimpin tokoh yang tidak
punya wawasan keagamaan memadai tetapi sekaligus punya wawasan nasional dan
internasional yang luas.
Rasanya akan menjadi bencana bagi Muhammadiyah jika
pimpinannya nanti kelompok yang eksklusif, garis keras, dan bahkan menampakkan
wajah mirip kaum ''Wahabi'' atau ''Salafi'' yang terasa asing di kalangan
umat Islam Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar