Urgensi
Merombak Kabinet
Anna Luthfie ; Ketua DPP Partai Perindo
|
JAWA POS, 18 Mei 2015
MENURUNNYA
pamor pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam enam bulan terakhir melahirkan
sinyal bahwa pemerintah perlu segera berbenah. Perbaikan dan pembenahan ini
tentu merujuk pada kinerja menteri sebagai pelaksana dari apa yang menjadi
visi dan misi pemerintahan ini. Pemerintah perlu membuka ke publik sejauh
mana kinerja menteri sebagai bagian dari transparansi untuk membangun kembali
kepercayaan publik.
Bagaimanapun
kepercayaan publik akhir-akhir ini cenderung menurun kepada pemerintah.
Sejumlah hasil survei menyebut hal ini tidak terlepas dari merosotnya kinerja
pemerintah di bidang ekonomi. Selain kondisi ekonomi makro yang cenderung
kurang bersahabat, persoalan ekonomi yang langsung bersentuhan dengan rakyat
(baca: daya beli masyarakat menurun) lebih mudah melahirkan rasa frustrasi
publik jika kondisinya terus memburuk.
Salah
satu yang ditengarai menjadi penyebab adalah perubahan kebijakan pemerintah
terkait penetapan harga BBM. Jika sebelumnya perubahan harga itu cenderung
berkala dan melihat kecukupan fiskal negara untuk menopang subsidi dengan
perubahan harga minyak dunia, dinamika penetapan harga BBM sekarang cenderung
diserahkan pada mekanisme pasar. Dalam enam bulan pertama pemerintahan ini
berjalan, setidaknya sudah tiga kali terjadi perubahan harga BBM.
Padahal,
dinamika perubahan harga BBM ini cenderung berpengaruh langsung pada
pergerakan harga kebutuhan pokok. Bisa ditebak, masyarakat langsung merasakan
dampak kenaikan harga BBM ini. Parahnya, kondisi makroekonomi juga turut
menjadi faktor yang memengaruhi kondisi ekonomi. Sebut saja tingkat inflasi
yang juga turut berakumulasi pada melonjaknya sejumlah tarif seperti listrik,
transportasi umum, dan elpiji. Hal makro lain yang turut menyumbang turunnya
apresiasi publik di bidang ekonomi adalah nilai tukar rupiah yang cenderung
merosot terhadap dolar AS. Tidak heran, persepsi publik terhadap kondisi
perekonomian pun menjadi negatif.
Menteri Ekonomi
Kondisi
ini mau tidak mau melahirkan wacana kepada publik soal perlunya perombakan
kabinet untuk meningkatkan performa kinerja pemerintah. Isu perombakan
kabinet sendiri dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu.
Terutama terkait sorotan publik pada kinerja empat menteri ekonomi, yaitu
Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Bambang
Brodjonegoro, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, dan Menteri
Perdagangan Rachmat Gobel.
Menurut
sejumlah analis ekonomi, kinerja menteri-menteri ini kurang mampu membawa
perubahan ekonomi. Rupiah masih tertahan di angka Rp 13 ribu dan pertumbuhan
ekonomi yang hanya 4,7 persen turut menjadi indikator untuk menilai sejauh
mana kinerja mereka. Jika ditelusuri, sejak Kabinet Kerja terbentuk,
sebenarnya sejumlah pihak menyebut keraguan apakah para menteri bidang
ekonomi mampu menjalankan target perekonomian yang dicanangkan pemerintahan
Jokowi, seperti pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7 persen, memperkuat
kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan kedaulatan keuangan. Sejumlah visi
dan misi ini tertuang dalam sembilan program prioritas pemerintah atau
disebut Nawa Cita.
Jika
melihat apa yang ingin dicapai, dalam enam bulan terakhir, jajaran menteri
memang belum menunjukkan kinerja yang berarti. Selain indikator perekonomian
makro di atas dan tingkat pertumbuhan yang masih di bawah 5 persen (4,7
persen), secara tidak langsung performa menteri di bidang ekonomi belum
menunjukkan jaminan kondisi perekonomian akan bangkit. Apalagi, saat ini
wacana impor beras, yang sebelumnya menjadi komitmen pemerintah ini untuk
menghentikan impor, cenderung dibuka kembali dengan sejumlah asumsi terkait
ketersediaan beras nasional yang dinilai belum memenuhi kebutuhan nasional.
Maka,
wacana perombakan menteri pun muncul sebagai bagian dari koreksi publik atas
kinerja pemerintah. Sejauh ini, presiden belum memastikan apakah reshuffle
kabinet perlu dilakukan atau tidak. Namun, sinyal atas perombakan menteri ini
bukan berarti sekadar wacana. Boleh jadi presiden akan menimbang kembali
perlunya merombak kabinet. Alasan perombakan menteri masih terlalu dini
karena menteri baru bekerja enam bulan bukan sesuatu yang menghalangi
terjadinya perombakan. Semua tetap bergantung pada otoritas presiden sebagai
pemegang hak prerogatif.
Perlu Disuntik Pil Berani
Penulis
memandang Presiden Jokowi terkesan terlalu berhati-hati terkait persoalan
perombakan kabinet ini. Memang perombakan menteri bisa berdampak pada gejolak
ekonomi, dan tentu saja dinamika atau percikan politik. Gejolak ekonomi bisa
terjadi, khususnya perombakan menteri di bidang ekonomi ditengarai memberikan
sentimen negatif terhadap pasar bursa. Sejumlah pengamat pasar menyebut para
pelaku pasar hanya akan melakukan transaksi jangka pendek. Sentimen negatif
ini akan berakhir setelah adanya menteri baru.
Dinamika
dan atau percikan politik tentu akan menyita energi pemerintah. Hal ini
terkait pembagian jatah politik dari partai politik pendukung pemerintah.
Tarikan-tarikan ini tentu tidak mudah bagi presiden untuk membangun sebuah
keseimbangan politik, antara kebutuhan menempatkan orang secara profesional
dan kebutuhan dukungan politik dari partai. Tentu, untuk mencapai semua ini,
dibutuhkan proses politik yang tidak mudah, tetapi membutuhkan keberanian
politik. Evaluasi kinerja pemerintahan adalah momentum untuk mengukur sejauh
mana kinerja kabinet, apakah bekerja sekadar menyenangkan sang presiden atau
benar-benar bekerja untuk kepentingan kebangkitan dan kemaslahatan rakyat.
Urgensi
perombakan kabinet harus dijawab presiden Jokowi sebagai pemilik mandat
rakyat. Bukankah presiden pernah menyatakan, ’’Tidak ada visi dan misi
menteri, yang ada visi dan misi presiden.’’ Tentu ini menjadi penanda semua
tanggung jawab pemerintahan tetap berada di tangan presiden. Kepentingan
perombakan menteri harus dilakukan berdasar kebutuhan untuk menjawab keraguan
publik. Pergantian menteri jangan dilakukan hanya untuk kebutuhan sirkulasi
dan bargaining kekuasaan. Jika itu dilakukan, presiden tengah bermain-main dengan
mandat rakyat. Jika pertimbangannya berdasar ikhtiar untuk meningkatkan
kinerja dan performa pemerintahan, tentu pilihan pada menteri yang tepat,
baik secara kapasitas maupun akseptabilitas, menjadi sebuah keniscayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar