Rohingya,
Kemanusiaan, dan Perdamaian
Ribut Lupiyanto ; Deputi
Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration)
|
MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2015
RATUSAN pengungsi asal Rohingya,
Myanmar, mendarat di Pantai Langsa, bagian timur Provinsi Aceh, Jumat (15/5).
Rombongan itu merupakan yang kedua setelah rombongan pertama terdampar di
perairan Aceh Utara, Minggu (10/5). Kondisi kesehatan mereka dikabarkan buruk
bahkan delapan orang di antara mereka kini berada dalam perawatan intensif.
Pengungsi kini menempati lokasi
penampungan baru di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kuala Cangkoi sejak Rabu
(13/5) malam. Badan PBB yang mengurus pengungsi (UNHCR) menyatakan jumlah
pengungsi dan pencari suaka di Indonesia hingga kini mencapai 12 ribu orang.
Kementerian Luar Negeri
Indonesia menyatakan siap membantu para pengungsi yang terdampar di perairan
Indonesia. Pemerintah mengikuti prinsip non-refoulement
meski Indonesia bukan penanda tangan Konvensi Internasional mengenai Status
Pengungsi 1951. Prinsip tersebut melarang penolakan dan pengiriman pengungsi
atau pencari suaka ke wilayah tempat kebebasan dan hidup mereka terancam
karena alasan-alasan tertentu seperti alasan ras, agama, atau kebangsaan.
Apresiasi patut diberikan kepada
pemerintah dan TNI yang membantu pengungsi atas nama kemanusiaan. Para
pengungsi mengaku melarikan diri karena konflik di Negara Bagian Rakhine.
Puncak konflik meletus di Negara Bagian Rakhine utara, Myanmar, mulai 2012
antara orang Buddha Rakhine dan muslim Rohingya.
Konstitusi Indonesia menetapkan
prinsip politik luar negeri bebas aktif. Akan tetapi, selain itu mengamatkan
agar ikut serta dalam upaya perdamaian dunia. Sebagai pemimpin ASEAN,
Indonesia penting tampil terdepan turut berkontribusi memfasilitasi
penyelesaian konflik Rohingya.
Konsepsi damai
Istilah ‘toleransi’ berasal dari
bahasa Latin tolerate yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran lain
atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Susan Mendus (dalam Abdillah,
2015) membagi toleransi menjadi toleransi negative (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance).
Toleransi negatif hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tak
menyakiti orang/kelompok lain, sedangkan toleransi positif juga membutuhkan bantuan
dan kerja sama dengan kelompok lain.
Toleransi di peradaban Barat
muncul sebagai reaksi atas peristiwa penyelewengan dan penindasan atas nama
agama. John Locke (dalam Nugroho, 2010) menjabarkan tiga N pikiran mengenai
pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk individu yang keluar
dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik, melainkan cukup ekskomunikasi
(pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran sehingga satu
sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah tidak boleh
memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan ada lah masalah privat.
Aplikasi toleransi yang paling
sensitif ialah toleransi dalam kehidupan beragama. Semua agama setuju dengan
beberapa komitmen yang berkaitan dengan hubungan beragama dan etika dunia.
Karenanya semua agama mengajarkan umat untuk menghindari kekerasan (Hans Kung dalam Maarif, 2015).
Toleransi merupakan syarat
mutlak terciptanya kedamaian. Budaya damai menurut Deklarasi PBB 13 September
1999 ialah sejumlah nilai, keyakinan, tradisi, perilaku, dan gaya hidup, yang
berbasis pada prinsip-prinsip nonkekerasan, toleransi, solidaritas,
menghargai hak asasi dan kebebasan, dan lebih khusus adalah menyediakan ruang
untuk partisipasi dan pemberdayaan perempuan.Kedamaian itu oleh Johan Galtung
(1964) digambarkan dengan istilah positive
peace dan negative peace. Galtung
melihat kekerasan dalam tiga ranah, yaitu budaya, struktural, dan kekerasan
langsung.
Toleransi dan kedamaian menjadi
norma ketimuran yang dijunjung Indonesia mulai aspek kultural hingga regulasi
formal. Hal itu menjadi konsekuensi Indonesia yang dikenal sebagai megacultural
diversity dengan tidak kurang dari 250 kelompok etnik dan lebih dari 500
jenis ragam bahasa yang dimiliki (Zada, 2012). Berbagai regulasi telah hadir
guna mengatur implementasi toleransi dan kehidupan damai di negeri ini,
antara lain dengan ratifikasi dua instrumen HAM internasional, yakni International Covenant on Civil and
Political Right (ICCPR) dan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR), pada 26
Oktober 2005.Selain itu, ada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26
Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Kaitannya dalam perlindungan hak-hak
beragama, telah ditambahkan Pasal 28E, 28I, dan 29 dalam amendemen UUD 1945
serta Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Strategi menyemai damai
Upaya
membangun atau revitalisasi peradaban penting dimulai dari level mikro.
Indonesia memiliki potensi besar memberikan keteladanan bagi dunia dalam
upaya tersebut. Kuncinya bagaimana kesuksesan menyemai toleransi dan
kedamaian dalam negeri serta menguatkan geopolitik guna mentransformasikannya
ke kehidupan internasional.
Pertama,
menciptakan kekondusifan keberagaman dan keberagamaan. Aksi penistaan atau
penodaan terhadap suatu agama mesti disikapi secara bijak tanpa reaksi
kekerasan. KH Mustofa Bisri (2015) memberikan wejangan, “Yang menghina
agamamu tidak bisa merusak agamamu, tetapi yang bisa merusak agamamu justru
perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamu.” Jalur formal dan
konstitusional mesti dikedepankan. Nalar akademik penting ditonjolkan
daripada kekuatan fisik. Konsekuensinya negara harus hadir menciptakan rasa
keadilan.
Kedua, memandang masalah
konflik, kekerasan, hingga terorisme secara komprehensif. Semua ini menjadi kunci
mencerabut semua akar permasalahan. Prof Tariq Ramadan menyatakan problem
kekerasan dewasa ini bukan pada esensi agama tertentu, melainkan bagaimana
politik dan ekonomi bermain di tengah kesengkarutan perbedaan dan kerentanan.
Analogi tersebut sesuai untuk kondisi Indonesia. Permasalahan berbau SARA
sering berhulu pada ketimpangan ekonomi. Untuk itu, penyikapan mesti terpadu
dan sinergi lintas lini, misalnya dengan upaya pemerataan pembangunan dan
pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Ketiga,
semua pihak penting menahan diri dan menghindari provokasi. Reaksi kekerasan
terkadang merupakan respons atas aksi tertentu. Etika verbal dan tulisan
penting dijunjung tinggi dengan prinsip toleransi. Atas nama pembelaan
minoritas, jangan pula dilakukan dengan tindakan atau ucapan provokatif.
Semua mesti berada pada kesamaan tensi dan kejernihan berpikir.
Sembari menyemai kehidupan
bernegara yang toleran dan damai, Indonesia mesti tampil terdepan dalam
kehidupan internasional. Diplomasi dan kontribusi lainnya penting diupayakan
demi mewujudkan keadilan global. Diskriminasi dan standar ganda Barat mesti
diimbangi dan dilawan. Penggalangan dukungan menjadi kunci demi terciptanya
peradaban dunia yang toleran dan damai secara hakiki. Rohingya menjadi
laboratorium yang menguji kapasitas Indonesia mewujudkan perdamaian tanpa
mencampuri urusan negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar