Revolusi
di Kebun Anggur
Y Ari Nurcahyo ; Direktur
Eksekutif PARA Syndicate
|
KOMPAS, 22 Mei 2015
Dramaturgi
politik Presiden Joko Widodo yang lebih banyak menampilkan pencitraan di
”depan” panggung, tetapi lambat menjalankan konsolidasi di ”belakang”
panggung, terbukti menggerus tingkat kepuasan publik terhadap kinerja
pemerintahannya.
Dalam
enam bulan pertama percaya diri politik turun dengan tajam. Untuk
mengembalikan harapan publik, saat ini mendesak bagi Jokowi merevolusi kebun
anggur kekuasaannya: segera melakukan terobosan signifikan menunaikan
revolusi mental dan segera mengganti pembantunya yang tak cakap bekerja.
Tim transisi bermasalah
Kesalahan
kecil dalam mengeksekusi kebijakan politik di awal telah membuka kotak
persoalan yang mengatasinya berlarut-larut. Berawal dari keberadaan tim
transisi yang problematik, antiklimaks pembentukan kabinet balas jasa yang
oleh Daoed Joesoef disebut sebagai the
longest week that ever exist menemukan aktualitasnya pada kebijakan
prematur, seperti Kartu Indonesia Sehat, pergantian pemimpin Polri yang
menyeret kemelut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tentu meluruskan
kebijakan politik yang bengkok lebih sulit daripada membetulkan kebijakan
ekonomi yang melenceng. Sejak awal beberapa kebijakan politik Jokowi berkesan
tidak tepat.
Ketika
pemilu presiden, banyak orang mengapresiasi Jokowi mencanangkan revolusi
mental. Jokowi menulis ”Revolusi Mental” di Kompas (10/5/2014) melihat
reformasi yang telah bergulir 16 tahun baru sebatas kelembagaan, belum
menyentuh paradigma, cara pikir, mental— apalagi membudaya—akibat salah
kaprah dan salah kelola pembangunan yang belum menggerakkan manusia sebagai
subyek. Ia menawarkan terobosan budaya politik untuk membangun Indonesia baru
yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian
secara sosial-budaya sesuai dengan gagasan Trisakti Bung Karno.
Setahun
kemudian, revolusi mental sebagai gagasan sentral Jokowi dalam menawarkan
paradigma baru untuk bersama mengatasi permasalahan bangsa jauh panggang dari
api dan surut ke belakang karena belum ada realisasi konsep yang membumi di
ranah kebijakan.
Dari
awal Jokowi tampak tak paham bahwa pusat gravitasi revolusi mental adalah
pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kebudayaan. Penulis
sependapat dengan Daoed Joesoef (Kompas,
7/11/2014) bahwa kebijakan Jokowi memecah belah keutuhan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sungguh merisaukan dan bisa berakibat fatal karena
pendidikan adalah satu keseluruhan meski dibuat berjenjang dan merupakan
bagian dari kebudayaan. Karena sejak awal Jokowi keliru memahami pendidikan
dan kebudayaan, orbit realisasi revolusi mental lembam di aras kebijakan.
Revolusi
mental seharusnya menjadi gerakan menanam mimpi Indonesia jaya di kebun
anggur kebudayaan. Indonesia punya modal membangun kejayaan: 67 juta anak
muda berumur 10-24 tahun sebagai berkah demografi. Merekalah calon pemimpin
dan penggerak pembangunan Indonesia 30 tahun mendatang. Namun, prasyarat yang
kita miliki meraih bonus demografi itu masih jauh dari harapan. Pemerintah
hanya punya waktu kurang dari 15 tahun untuk serius melakukan terobosan
strategis dan berkelanjutan sehingga bisa meraih kesempatan emas di puncak
bonus demografi pada 2028-2031 (Kompas,
28/4).
Kita
punya tak hanya kesempatan besar menggerakkan pembangunan dan kemajuan
bangsa, tetapi juga menentukan masa depan, seperti yang mau kita ciptakan
mulai dari hari ini. Apakah bangsa ini akan terus menguras semua sumber
dayanya sekadar membunuh waktu, ataukah kita mau bergerak menggunakan segala
sumber daya yang masih ada untuk menghidupkan waktu sehingga roda pembangunan
berputar kencang. Kuncinya ada pada keseriusan kita menyingkirkan kebebalan
logika untuk memahami Indonesia.
Gagasan
besar revolusi mental, Trisakti, Nawacita, dan poros maritim harus mampu
menggerakkan mimpi bangsa di orbit kebudayaan sehingga mampu melahirkan
perubahan budaya masyarakat baru yang menghargai kebaikan dan keutamaan
hidup, seperti kejujuran, rendah hati, kerja keras, tangguh, sederhana, hormat
dan menghargai, serta antikorupsi. Ikhtiar membangun paradigma dan mental
baru itu butuh stamina dan kesabaran melakukan gerakan pembudayaan aktif. Nilai
dan keutamaan seperti itu yang harus segera ditanam di kebun anggur
kebudayaan kita yang kian hari kian gersang dari kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Jalan bahasa
Meminjam
filsafat Immanuel Kant (1724-1804) bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam
kemampuan manusia mengajar dirinya sendiri, manusia adalah sang pembelajar
hidup di kebun kebudayaannya. Kebudayaan semacam sekolah tempat manusia
belajar sekaligus mengajar; menyekolahkan manusia bertumbuh semakin
berbudaya, seraya di saat yang sama ia menambah- kan suatu nilai.
Jalan
kebudayaan menegaskan arti kebudayaan sebagai kata kerja, bukan kata benda
yang diam atau sudah jadi. Seperti uraiannya yang menyebut gejala kebudayaan
berlangsung dalam suatu tegangan antara imanensi (yang melingkupi) dan
transendensi (yang mengatasi), CA van Peursen (1976) melihat kebudayaan
sebagai rencana tertentu. Maka, jalan kebudayaan harus dimulai dari kerja
menyiapkan suatu strategi kebudayaan.
Gagasan
revolusi mental akan efektif menciptakan terobosan budaya baru jika dan hanya
jika ia menjadi kerja bersama di jalan kebudayaan. Persis karena mental
adalah gerak kesadaran manusia yang sedang menanami kebun anggur
kebudayaannya. Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan dan nilai.
Mewujudkan revolusi mental adalah kerja kebudayaan. Kita harus segera
menyusun suatu kebijakan mengenai kebudayaan: menerobos dinamika kebudayaan
dengan intensi habitus mental baru.
Johann
Gottfried Herder (1744-1803) menyatakan bahasa sangat penting membentuk
kesadaran diri suatu bangsa. Suatu bangsa ditempa oleh semangat nasionalnya
(Volksgeist) yang muncul dari bahasa dan mencerminkan karakter tanah airnya.
Bahasa nasional adalah roh penopang dan perawat identitas budaya dan
kesadaran nasional suatu bangsa. Karena itu, strategi kebudayaan diwujudkan
dengan mendaraskan revitalisasi bahasa Indonesia. Menguatnya arus globalisme
memerlukan bahasa nasional sebagai penopang semangat nasional. Bahasa
Indonesia, warisan par excellence Sumpah Pemuda 1928, sebagai bahasa nasional
dan bahasa persatuan harus dikembalikan ke arus utama strategi kebudayaan
Indonesia.
Ahli
linguistik Universitas Gadjah Mada, Sudaryanto, mengidentifikasi dua fungsi
bahasa yang khas dan hakiki: mengembangkan akal budi dan memelihara kerja
sama (Kompas, 23/11/2014). Terdapat hubungan erat dan esensial antara
keduanya. Revolusi mental dimungkinkan bila bangsa ini kembali menyadari
fungsi hakiki bahasa itu. Bangsa ini diharapkan bisa mengembalikan fungsi
bahasa Indonesia menjadi energi kreatif membangun kebudayaan, sebagai medium
intelektual menelurkan nilai kebaikan dan keutamaan publik seluas-luasnya di
masyarakat.
Seperti janji
kampanye Jokowi, jalan perubahan untuk Indonesia berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian dimulai dengan menghadirkan negara yang bekerja. Kini rakyat
menunggu revolusi di kebun anggur Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar