Solusi
Pergerakan Manusia Pengungsi
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2015
DALAM sepekan ini, kelompok
manusia dengan meng gunakan perahu yang berada di tengah laut ditolong oleh
para nelayan di Aceh. Jumlah pergerakan manusia secara tidak biasa (irregular movement of people) dalam
satu gelombang bisa berkisar 100 hingga 500 orang.
Hampir semua dalam keadaan yang
mengenaskan mengingat bekal makanan dan pakaian yang mereka bawa seadanya.
Pemerintah Indonesia, Malaysia,
dan Thailand pun bersikap. Demikian pula dengan pemerintah Australia.
Australia sama sekali tidak menghendaki kehadiran mereka meski Australia
ialah peserta Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Pengungsi.
Secara profil kebanyakan dari
pergerakan manusia ini merupakan pengungsi dan pencari suaka. Mereka ialah
masyarakat Rohingya. Masyarakat keturunan Bangladesh yang telah tiga generasi
bermukim di Myanmar. Belakangan ini mereka mengalami diskriminasi dari
pemerintah Myanmar yang menyebabkan mereka keluar dari Myanmar dengan bekal
dan perahu seadanya.
Namun, ada pula pergerakan manusia
yang merupakan pencari kerja asal Bangladesh. Tujuan mereka ialah Malaysia.
Namun, mereka masuk secara ilegal melalui laut. Bahkan, ada juga yang
merupakan korban perdagangan manusia (human
trafficking).
Pemerintah Malaysia dan Thailand
awalnya menolak masuk masyarakat Rohingya dan Bangladesh. Mereka diberi bahan
bakar dan suplai makanan dan diminta untuk melanjutkan perjalanan.
Sementara itu di Indonesia,
meski Panglima TNI menolak kehadiran mereka dengan alasan keamanan, para
nelayan membantu mereka dan didaratkan di wilayah Indonesia.
Atas persoalan itu, tiga menteri
luar negeri (menlu) yakni Indonesia, Thailand, dan Malaysia telah bertemu di
Putra Jaya. Mereka membahas bagaimana mengatasi manusia ini, yang kebanyakan
dilabel sebagai pengungsi Rohingya.
Solusi pertama yang disepakati
ialah menampung mereka di negara tempat mereka ditemukan. Solusi itu
didasarkan pada alasan kemanusiaan (humanitarian).
Menjadi pertanyaan apakah mereka
akan ditampung berdampingan dengan penduduk setempat di negara mereka? Bila
itu dilakukan, kemungkinan mereka akan berbaur dengan penduduk dan pada
akhirnya bermukim.
Bila mereka menganggap Indonesia
sebagai tempat yang ideal untuk bermukim, mereka akan memanggil para
kerabatnya untuk datang ke Indonesia. Indonesia pun akan berubah dari negara
transit menjadi negara tujuan. Bila itu terjadi, hal tersebut akan menjadi
beban bagi pemerintah Indonesia yang hing ga kini masih harus mengentaskan
rakyatnya dari kemiskinan.
Oleh karena itu, solusi
kemanusian harus dilakukan dengan menampung para pengungsi di pulau tidak
berpenghuni. Pulau itu akan mirip Pulau Galang ketika banyak orang Vietnam
keluar dari negaranya yang dikenal dengan nama boat people.
Pulau penampungan itu, selain
menampung para pengungsi, juga digunakan untuk menyeleksi (screening) atas manusia perahu ini.
Bila mereka ada pencari kerja dan berasal dari Bangladesh, mereka akan
dikembalikan ke negaranya. Bangladesh tidak memiliki keberatan untuk menerima
mereka kembali.
Bila mereka berasal dari
Myanmar, bila pemerintah Myanmar bisa menerima mereka kembali, maka akan
dikembalikan. Namun, bila pemerintah Myanmar belum bisa menerima, mereka
harus menunggu sampai ada negara yang ikut dalam Konvensi Pengungsi menerima
mereka.
Menlu RI Retno Marsudi telah
menyampaikan pernyataannya bahwa Indonesia hanya bersedia menampung para pengungsi
Rohingya selama satu tahun. Bila proses seleksi tidak selesai dalam satu tahun,
tentu harus dicarikan pulau dari negara lain.
Di pulau yang tidak berpenghuni
ini tentu harus dibangun infrastruktur untuk kehidupan manusia. Di sini dana
yang dikeluarkan harus berasal dari masyarakat dan organisasi internasional
seperti PBB dan UNHCR. Demikian pula suplai makanan.
Masalah pergerakan manusia ini
bukan masalah Indonesia sehingga tidak bisa di selesaikan oleh Indonesia
saja.
Solusi kedua yang penting untuk
dilakukan ialah mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan kebijakan
diskriminatif terhadap masyarakat Rohingya. Kebijakan diskriminatif itulah
yang menyebabkan masyarakat Rohingya keluar dari Myanmar.
Pemerintah Indonesia harus mampu
untuk menggerakkan masyarakat dan organisasi internasional, termasuk ASEAN
dan PBB, menekan pemerintah Myanmar. Hanya dengan dua solusi tersebut maka
gelombang manusia melalui laut akan dapat diselesaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar