Prinsip
Arbitrase pada Sistem Hukum Indonesia
Perlu
Diselaraskan dengan Kaidah Internasional
Frans H Winarta ; Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase dan
Hukum Bisnis,
Anggota Arbitrer di International Court of
Arbitration of ICC, Paris
|
KORAN SINDO, 13 Mei 2015
Dalam setiap transaksi
bisnis internasional, para pelaku usaha sering dihadapkan pada suatu benturan
yang sering mengakibatkan timbulnya sengketa bisnis. Hal ini disebabkan oleh
adanya perbedaan sistem hukum, kebiasaan, dan budaya dari setiap pelaku
usaha.
Untuk
mengatasihaltersebut, diperlukansuatu metode alternatif penyelesaian sengketa
yang dapat memberikan solusi kepada mereka. Selain litigasi di dalam
pengadilan yang konvensional, sekarang dikenal alternatif penyelesaian
sengketa berupa arbitrase perdagangan (commercial
arbitration).
Pada saat ini,
arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode alternatif penyelesaian
sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha. Hal ini disebabkan
karakteristik arbitrase yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan dari pelaku
usaha.
Pertama, putusan
arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikatpara
pihak (final and binding), ini
berarti bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau
peninjauan kembali, sebagaimana pada putusan pengadilan negeri, yang mana
akan lebih menghemat waktu (time
efficient).
Kedua, fleksibilitas
dari proses arbitrase. Dalam proses beracara di arbitrase dikenal adanya
prinsip kebebasan para pihak dalam menentukan proses arbitrase (party autonomy). Berdasarkan prinsip
ini, para pihak dapat dengan bebas menentukan prosedur acara arbitrase yang
mereka kehendaki, seperti bahasa yang digunakan, jumlah arbitrer, penunjukan
arbitrer, atau hukum yang berlaku.
Ketiga, kerahasiaan.
Sidang arbitrase selalu dilakukan dalam ruang tertutup (close door session), ini berarti sidang arbitrase tidak
diperuntukkan untuk umum, tetapi hanya bagi para pihak yang bersengketa atau
kuasanya.
Arbitrase dapat
diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum,
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak.Sengketa tersebut diselesaikan oleh hakim partikelir yang disebut
dengan arbitrer.
Arbitrer yang ditunjuk
dapat berupa arbitrer tunggal maupun berupa majelis arbitrase yang terdiri
dari tiga orang arbitrer. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase) mengatur bahwa kesepakatan tersebut harus dibuat dalam bentuk
tertulis. Kemudian, perjanjian arbitrase yang sah mengakibatkan para pihak
tidak dapat lagi mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri.
Ini berarti bahwa para
pihak telah memberikan kewenangan hanya kepada arbitrer untuk memeriksa dan
memutus perkara. Setelah memahami arbitrase sebagai metode alternatif
penyelesaian sengketa, sekarang yang menjadi pertanyaan apakah UU Arbitrase
sudah sesuai dengan kebutuhan para pelaku usaha? Pertanyaan ini dapat dijawab
dengan penerapan prinsip-prinsip dalam arbitrase internasional yang berlaku
pada UU Arbitrase.
Diawali dengan prinsip
yang menjadi dasar dari arbitrase, yaitu prinsip party autonomy. Prinsip party
autonomy merupakan prinsip dasar yang sangat penting dalam arbitrase, di
mana para pihak bebas menentukan proses acara arbitrase yang mereka kehendaki
bersama. Namun, seperti halnya dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan, kebebasan dalam prinsip party
autonomy sering dijadikan dasar bagi para pihak untuk menghambat proses
arbitrase itu sendiri.
Prinsip party autonomy tecermin dalam Pasal 31
ayat (1) UU Arbitrase, yang pada intinya mengatur secara tegas bahwa para
pihak bebas menentukan prose sacara arbitrase yang mereka kehendaki, dengan
catatan bahwa kesepakatan mereka tidak bertentangan dengan UU Arbitrase itu
sendiri.
Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa UU Arbitrase telah mengadopsi prinsip party autonomy dan telah sejalan dengan kaidah hukum arbitrase
internasional. Kemudian Prinsip Pemisahan atau Separability Principle. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu klausul
arbitrase berdiri sendiri dan memiliki nyawa yang terpisah dengan perjanjian
pokok.
Oleh karena itu,
berdasarkan separability principle, batalnya suatu perjanjian pokok tidak
memengaruhi keabsahan perjanjian arbitrase. UU Arbitrase Nasional telah menganut
separability principle, yang mana hal tersebut telah dituangkan dalam pasal
10, yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase tidak akan menjadi batal
dengan berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Prinsip arbitrase yang
berikutnya yaitu Kompetenz-Kompetenz principle. Prinsip ini dapat diartikan
sebagai prinsip yang memberikan kewenangan kepada majelis arbitrase untuk
menentukan kompetensinya sendiri. Oleh karena itu, keberatan dari salah satu
pihak atas yurisdiksi dari majelis arbitrase diajukan kepada majelis dan
majelis sendirilah yang menentukan.
Namun, UU Arbitrase
tidak mengatur secara khusus mengenai kewenangan yang dimiliki oleh majelis
arbitrase untuk menentukan yurisdiksinya sendiri, sehingga banyak pihak
mengajukan keberatan atas kompetensi dari majelis arbitrase ke pengadilan.
Hal tersebut sering
kali menghambat proses pemeriksaan arbitrase itu sendiri. Di samping mengenai
permasalahan di atas, dalam praktiknya terdapat juga permasalahan mengenai
pembatalan putusan arbitrase yang mana alasannya sering mengada-ada.
Pembatalan putusan
arbitrase dapat dibatalkan dengan alasan-alasan limitatif yang terkandung di
dalam Pasal 70 UU Arbitrase, yaitu adanya: (i) dokumen palsu; (ii) bukti yang
disembunyikan; atau (iii) tipu muslihat.
Namun sangat
disayangkan, dalam praktiknya banyak putusan arbitrase yang dibatalkan dengan
alasan benturan kepentingan (conflict
of interests) arbiter atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban
umum (public policy) yang
jelas-jelas tidak terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan dapat menghambat
proses arbitrase itu sendiri.
Padahal seharusnya
alasan melawan ketertiban umum (public
policy) merupakan alasan yang digunakan untuk menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan
putusan arbitrase oleh pengadilan) sesuai dengan Pasal 66 UU Arbitrase.
Sedangkan alasan
benturan kepentingan (conflict of
interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan
mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse)
dengan mengajukan tuntutan hak ingkar (challenge)
sesuai Pasal 22 UU Arbitrase yang mengatur bahwa hak ingkar dapat diajukan
apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan, atau pekerjaan
dengan salah satu pihak, sehingga tidak tepat jika hal-hal di atas dijadikan
alasan pembatalan putusan arbitrase.
Hal ini disebabkan
oleh ketidakpahaman dan ketidakpercayaan mereka terhadap arbitrase. Selain
itu, mereka merasa lebih nyaman dan terbiasa dengan proses litigasi
konvensional di pengadilan.
UU Arbitrase
dihadapkan pada tantangan zaman, yaitu kepastian hukum dan kecepatan dalam
alternatif penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, perlu dilakukan amendemen
terhadap UU Arbitrase yang mengatur kewenangan kepada majelis arbitrase untuk
menentukan sendiri yurisdiksi yang dimilikinya terhadap perlawanan yurisdiksi
arbitrase.
Kemudian, apabila
Indonesia mampu menjadi negara yang lebih bersahabat terhadap arbitrase
(arbitration friendly) ini akan mendorong iklim investasi di Indonesia yang
lebih kondusif, hal ini dikarenakan, pada saat ini arbitrase telah menjadi
pilihan utama bagi para pelaku usaha baik asing maupun domestik untuk
menyelesaikan sengketa mereka.
Selain daripada itu,
UU Arbitrase pun perlu juga diselaraskan dengan peraturan dan praktik dari
institusi-institusi arbitrase internasional seperti ICC dan UNCITRAL, antara
lain peraturan mengenai arbitrer darurat atau emergency arbitrator provisions
yang dapat memberi solusi cepat dalam keadaan darurat untuk melindungi hak
dan aset dari pihak yang beperkara.Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa perubahan UU Arbitrase dan perubahan sikap terhadap
arbitrase sangat diperlukan.
Apabila Indonesia
mengabaikan hal tersebut, negara tidak dapat memenuhi tuntutan akan kepastian
hukum bagi para pelaku usaha di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar