Versi
Lain Poros Maritim
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Direktur Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 13 Mei 2015
Dua hari lalu digelar
seminar bertajuk ”Poros Maritim dan Politik Luar Negeri Indonesia” di
Kementerian Luar Negeri RI. Sedianya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan
memberikan pidato kunci. Kontan, para duta besar negara sahabat berbondong-bondong
hadir, begitu juga para pengamat, praktisi dan mahasiswa, tak kurang dari 500
orang jumlahnya.
Maklum, sejak Presiden
Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2014
tentang keinginannya mengembalikan kejayaan Indonesia sebagainegara maritim,
praktisbelum ada penjabaran resmi tentang apa yang direncanakan pemerintah
untuk mencapai citacita tersebut.
Memang Presiden sempat
berpidato tentang hal ini di KTT Asia Timur; tercatat ada 5 pilar dari
prinsip Indonesia sebagai poros maritim (yang diterjemahkan sebagai maritime
fulcrum alias titik tumpu maritim dunia). Diskusi ini menarik karena
menghadirkan generasi pemikiran maritim yang berbeda dari sisi pengalaman dan
pemahaman.
Kalangan yang masih
samar-samar tentang ide poros maritim pemerintah merasa menjadi kaya akan
diskusi yang berlangsung karena menampilkan versi yang berbeda dari yang
selama ini kita dengar. Versi itu terutama berasal dari pokok paparan pakar
hukum laut internasional Hasjim Djalal dan Direktur Jenderal serta Kepala
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan di Kementerian Luar Negeri Darmansjah
Djumala. Saya mencoba membagikan informasi tentang poin-poin yang diangkat
dalam diskusi hari itu.
Pokok pertama
pembahasan adalah kata ”poros maritim”. Kata ”poros” dijelaskan Presiden
ketika berbicara dalam KTT Asia Timur pada November 2014. Ia berkata,
”Indonesia berharap untuk menjadi poros maritim dunia yang menghubungkan dua
samudra dan ingin muncul sebagai negara maritim makmur yang disegani untuk
itu Indonesia akan membangun kembali budaya kemaritiman.
”Dalam diskusi,
konteks kata poros dapat dimengerti sebagai posisi geostrategis Indonesia
yang menuntut Indonesia untuk berperan lebih baik dalam mengelola lautnya.
Maklum tercatat 2/3 wilayah Indonesia adalah laut. Indonesia berbatasan laut
dengan 10 negara. Perairan Indonesia pun tergolong padat oleh lalu lintas
kapalkapal dalam dan luar negeri untuk berbagai tujuan, mulai dari berdagang,
memanfaatkan hasil laut, menjalankan tugas pertahanan hingga membawa sampah
nuklir.
Poin Presiden tentang
perlunya kembali memberikan perhatian dan memandang ke laut tidak disanggah,
tetapi yang menarik adalah bobot perhatian dan cara memandangnya yang tidak
sama antara pemerintah dan beberapa ahli. Salah satunya diungkapkan Hasjim
Djalal, profesor hukum laut internasional yang sangat disegani, bahkan di tingkat
internasional.
Dia dulu pernah
berperan sebagai ketua sekaligus presiden dari International Seabed Authority (organisasi internasional
independen yang dibentuk menyusul Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982/UNCLOS
dan kesepakatan implementasi hukum tersebut pada 1994). Dalam pernyataannya,
Hasjim mengatakan prinsip yang tergambar dalam uraian pemerintah tentang laut
dan poros maritim adalah prinsip connectivity
(sebagai penghubung).
Namun dia mengingatkan
bahwa status Indonesia yang sudah dikenal dan tercatat secara legal di
tingkat internasional adalah sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Status itu menyandang makna dan logikanya
yang sesungguhnya lebih dalam daripada sekadar sebagai penghubung. Hasjim
menyebut konsep negara maritim (maritime
state).
Untuk menjadi negara
maritim, Indonesia harus paham memanfaatkan ruang maritim untuk kepentingan
ekonomi, pertahanan, politik, dan sebagainya. Hasjim mengutip contoh negara
seperti Belanda dan Singapura. Kedua
negara ini sesungguhnya bukan terdaftar sebagai negara kepulauan, tetapi
ternyata lebih dapat memaksimalkan wilayah lautnya yang terbilang sangat
terbatas dibandingkan Indonesia.
Mereka gigih dan ngotot memanfaatkan laut, baik yang
dekat maupun jauh, sehingga mereka dikenal sebagai negara maritim. Apabila Indonesia
ingin sejajar dengan negara-negara maritim lain, Hasjim mencatat perlunya
Indonesia memenuhi syarat- syarat berikut ini. 1. Mampu dan telah menggunakan
hak-hak atas laut internal sebagaimana ditetapkan dalam UNCLOS. 2. Menetapkan
perairan kepulauan dan mendaftarkannya ke PBB.
3. Mengakui wilayah
laut teritorial (12 mil dari karang terluar) termasuk menetapkan perbatasan
yang jelas dengan negara-negara tetangga. 4. Menetapkan zona tambahan (contiguous zone) untuk dimanfaatkan
dalam menambah biaya bea, imigrasi, termasuk dalam hal standar-standar
tertentu dan mendaftarkan wilayah (baru) ini kepada PBB. 5. Menetapkan zona
ekonomi untuk mengklaim hak pengelolaan perikanan.
6 Menetapkan hak
pengelolaan dasar laut di luar zona 200 mil dan ini sama sekali belum
dimanfaatkan oleh Indonesia. 7. Menetapkan hak atas samudera, baik lautnya
maupun dasar lautnya (bayangkan bahwa negara seperti China dan Korea Selatan
sudah punya hak ini di Samudera Hindia, padahal mereka tidak berbatasan laut
dengan wilayah itu.
8. Mengakui hak
negara-negara lain atas laut di Indonesia. 9 Mampu menjaga
zonamaritimIndonesia, baik dari segi keamanan maupun pertahanan, termasuk
pemanfaatan sumber daya yang ada di sana. 10. Mampu melindungi lingkungan
hidup di laut, termasuk menghindarkan dari polusi dan kerusakan lingkungan.
Poin-poin dari Hasjim
Djalal menunjukkan bahwa menjadi penghubung saja adalah penerjemahan yang
kurang lengkap dari konsep poros maritim. Secara tidak langsung, Wakil
Menteri Luar Negeri juga mengakui kelemahan konsep tersebut karena
penerjemahan konsep poros maritim masih berkembang mengingat Indonesia masih
kekurangan dari segi infrastruktur dan sumber daya manusia.
Yang menarik adalah
kata ”kedaulatan” berkali-kali muncul dalam penerjemahan konsep poros
maritim. Kedaulatan diartikan sebagai kemampuan memfasilitasi kegiatan
maritim, mengelola sumber daya, menjaga pertahanan dan keamanan, serta
menegakkan aturan (di dalam wilayah kita).
Poin itu memancing
komentar bahwa cara pandang Indonesia terlalu terbatas pada urusan dalam
negeri semata. Dan menyajikan poin seperti itu dalam forum yang dihadiri
perwakilan negara asing justru menunjukkan bahwa Indonesia terlalu naif
mengharapkan negara lain mau mendukung agenda nasional. Dari diskusi tersebut
terlihat bahwa ada dua asumsi yang sangat berbeda tentang cara mencapai visi
poros maritim.
Asumsi pertama dengan
menunjukkan kemampuan Indonesia dalam mengelola, menjaga, dan merawat wilayah
laut, baik yang di dalam negeri, yang dilewati kapal-kapal negara lain maupun
yang berdekatan dan jauh posisinya dari perairan internal. Jika kemampuan itu
ditunjukkan, otomatis respek akan diperoleh dan negara-negara lain akan bertumpu
pada kompetensi Indonesia tersebut.
Asumsi kedua dengan
menjadi fasilitator bagi negara-negara lain yang punya kompetensi untuk
mengelola wilayah laut internal. Syarat dalam asumsi kedua ini adalah suatu
harapan bahwa negara-negara lain yang mengelola wilayah Indonesia akan
berbagi kesejahteraan dan turut merawat lingkungan.
Silakan kita renungkan
mana asumsi yang paling jitu memberi hasil bagi Indonesia dengan risiko
politik dan pertahanan yang seminim mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar