Minggu, 10 Mei 2015

Memitigasi Utang Negara

Memitigasi Utang Negara

Moh Rozaq Asyhari  ;  Kandidat Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Sedang Meneliti Surat Utang Negara
KOMPAS, 09 Mei 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun ini pemerintahan Joko Widodo merencanakan untuk menambah utang negara sebesar Rp 451,8 triliun. Rencana tersebut tentunya sangat mengejutkan masyarakat. Pertama, dalam visi-misi pencalonannya, Jokowi menyampaikan ideologi Trisaksi dalam pemerintahannya, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tentunya masyarakat mempertanyakan wujud berdikari dalam ekonomi apabila negara terus terbebani dengan utang.

Kedua, pada rapat dengan Komisi XI DPR pada November 2014, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla akan membayar utang negara hingga Rp 1.000 triliun selama lima tahun ke depan. Hal ini tentunya bertentangan dengan rencana penambahan utang yang akan dilakukan dalam jumlah fantastis itu. Bahkan, salah satu peneliti dari Indonesia for Global Justice menyebutkan, utang Presiden Jokowi dalam setahun sama dengan utang Presiden Soeharto selama 30 tahun.

Jika dilihat, posisi utang Indonesia terus bertambah signifikan. Tahun 2013, jumlah utang pemerintah Rp 2.371,39 triliun. Dalam setahun di 2013, utang pemerintah berarti naik Rp 393,68 triliun dibandingkan dengan posisi akhir 2012 sebesar Rp 1.977,71 triliun. Pada Januari 2015, utang pemerintah Rp 2.702,29 triliun. Pada posisi terakhir, utang Indonesia didominasi surat berharga yang mencapai Rp 2021,02 triliun atau 74,8 persen total utang negara. Sisanya, Rp 681,27 triliun atau 25,2 persen, merupakan utang luar negeri. Utang luar negeri memiliki dua sumber utama: bilateral dan multilateral. Utang bilateral didominasi Jepang, Perancis, dan Jerman. Utang multilateral berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam.

Istilah mitigasi sengaja diambil sebagai judul tulisan ini. Pada umumnya, istilah mitigasi digunakan dalam penanganan kebencanaan. Mitigasi bencana berarti serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana. Dalam konteks ini, mitigasi utang negara merupakan upaya mengurangi risiko utang negara. Semakin tinggi jumlah utang, akan berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi dan risiko terhadap Indonesia. Pada jangka pendek, utang dapat memberikan kontribusi cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Namun, risikonya, pada jangka panjang akumulasi dari utang pemerintah ini harus dibayar melalui APBN.

Dampak negatif ke pertumbuhan

Analisis dari overlapping generation model yang dilakukan Rossen (2002) menunjukkan bagaimana beban dari sebuah pinjaman dapat ditransfer lintas generasi. Dengan demikian, dalam jangka panjang, pembayaran utang oleh Pemerintah Indonesia sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada masa mendatang.

Meningkatnya utang pemerintah berarti juga semakin memberatkan posisi APBN karena utang itu harus dibayar beserta bunganya. Penarikan pinjaman luar negeri baru akan berdampak pada meningkatnya stok pinjaman luar negeri. Peningkatan stok pinjaman luar negeri akan berdampak pada beban bunga dan cicilan pinjaman luar negeri. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama saja dengan utang baru.

Persoalan lain yang tak dapat dihindari adalah motivasi negara donor dalam memberikan pinjaman pada sebuah skim utang luar negeri. Pada setiap aliran dana yang diberikan pastilah melekat agenda tertentu. Setidaknya ada dua hal penting yang memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara-negara debitor, yakni motivasi politik dan motivasi ekonomi. Keduanya punya kaitan sangat erat satu sama lain. Motivasi politik tentunya akan memasung kebijakan-kebijakan strategis pemerintah, sedangkan motivasi ekonomi banyak berdampak pada eksplorasi sumber daya alam nasional.

Beberapa riset menunjukkan, utang luar negeri juga membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Rana dan Dowling (1988) menyimpulkan, pengaruh bantuan luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi adalah negatif di sembilan negara Asia, yakni Myanmar, Tiongkok, India, Korea Selatan, Nepal, Filipina, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand.

Kesimpulan serupa juga diperoleh dari penelitian Karagol (1999) dengan metode 3SLS tentang External Debt and Economic Growth Relationship Using the Simultaneous Equations. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembayaran pinjaman berhubungan dengan total pinjaman tahun sebelumnya dan ekspor; aliran modal masuk dipengaruhi pertumbuhan ekonomi; serta pengaruh langsung pembayaran pinjaman terhadap perekonomian adalah negatif. Kajian White (1992) serta Brewster dan Yeboah (1994) mengenai dampak utang luar negeri sektor pemerintah atau utang luar negeri secara keseluruhan menunjukkan, pada umumnya secara statistik utang luar negeri tak menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang.

Agustin Kwasi Fosu (2001) dalam studinya menemukan beban utang yang semakin besar telah berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara Sub-Sahara Afrika. Hasil penelitian Sachcs (1993) juga menghasilkan kesimpulan yang sama.

Selain berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri juga membawa dampak pada iklim investasi suatu negara. Penelitian Javed dan Sahinoz (2005) di Turki, External Debt: Some Experience from Turkish Economy, dengan menggunakan regresi OLS sebagai alat analisis menunjukkan, pinjaman luar negeri berdampak negatif terhadap investasi. Semakin tinggi utang, akan semakin berdampak negatif pada iklim investasi.

Berbagai risiko atas utang negara haruslah diantisipasi dengan baik. Jangan sampai utang pemerintah menjadi menumpuk tanpa prediksi dan berakibat pada terjadinya gelembung utang pemerintah (government debt bubble). Pada situasi ini, terjadi krisis karena negara tidak mampu membayar utang domestik ataupun utang luar negeri, ditandai dengan pendapatan nasional lebih kecil daripada anggaran untuk pembiayaan utang (debt budgeting) dan belanja pemerintah.

Oleh karena itu, diperlukan mitigasi utang negara lewat tata kelola dan manajemen utang pemerintah. Dengan mitigasi ini dikaji apakah perencanaan utang seperti yang dilakukan tahun ini sudah tepat. Apakah nilainya yang mencapai Rp 451,8 triliun memang dibutuhkan. Demikian pula, apakah timing pengambilan utang tersebut sudah tepat. Jangan sampai jatuh tempo (maturity date) utang menumpuk pada satu termin secara bersamaan.

Tak dikelola dengan baik

Mengingat sejarah penerbitan obligasi oleh pemerintah, terdapat beberapa jenis obligasi lama yang oleh sebagian kalangan dinilai tidak dikelola dengan baik. Beberapa jenis obligasi itu adalah Obligasi Republik Indonesia 1950, Obligasi Berhadiah 1959, Obligasi Konsolidasi 1959, dan Obligasi Pembangunan 1964. Sebagian kalangan menilai, pemerintah pada waktu itu tidak mampu membayar penarikan obligasi tersebut. Pemerintah Orde Lama dinilai default alias gagal membayar kembali utang kepada rakyat. Namun, pernyataan ini dibantah oleh Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara. Dikatakan, yang terjadi bukanlah default, melainkan kedaluwarsa dalam pencairan. Faktanya, sampai tahun 2001 persoalan obligasi lama ini masih diperkarakan oleh para ahli waris pemegang obligasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar