Memitigasi
Utang Negara
Moh Rozaq Asyhari ; Kandidat Doktor Fakultas Hukum Universitas
Indonesia; Sedang Meneliti Surat Utang Negara
|
KOMPAS, 09 Mei 2015
Tahun ini pemerintahan
Joko Widodo merencanakan untuk menambah utang negara sebesar Rp 451,8
triliun. Rencana tersebut tentunya sangat mengejutkan masyarakat. Pertama,
dalam visi-misi pencalonannya, Jokowi menyampaikan ideologi Trisaksi dalam
pemerintahannya, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan. Tentunya masyarakat mempertanyakan wujud
berdikari dalam ekonomi apabila negara terus terbebani dengan utang.
Kedua, pada rapat
dengan Komisi XI DPR pada November 2014, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla akan membayar utang negara hingga
Rp 1.000 triliun selama lima tahun ke depan. Hal ini tentunya bertentangan
dengan rencana penambahan utang yang akan dilakukan dalam jumlah fantastis
itu. Bahkan, salah satu peneliti dari Indonesia for Global Justice menyebutkan,
utang Presiden Jokowi dalam setahun sama dengan utang Presiden Soeharto
selama 30 tahun.
Jika dilihat, posisi
utang Indonesia terus bertambah signifikan. Tahun 2013, jumlah utang
pemerintah Rp 2.371,39 triliun. Dalam setahun di 2013, utang pemerintah
berarti naik Rp 393,68 triliun dibandingkan dengan posisi akhir 2012 sebesar
Rp 1.977,71 triliun. Pada Januari 2015, utang pemerintah Rp 2.702,29 triliun.
Pada posisi terakhir, utang Indonesia didominasi surat berharga yang mencapai
Rp 2021,02 triliun atau 74,8 persen total utang negara. Sisanya, Rp 681,27
triliun atau 25,2 persen, merupakan utang luar negeri. Utang luar negeri
memiliki dua sumber utama: bilateral dan multilateral. Utang bilateral
didominasi Jepang, Perancis, dan Jerman. Utang multilateral berasal dari Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Pembangunan Islam.
Istilah mitigasi
sengaja diambil sebagai judul tulisan ini. Pada umumnya, istilah mitigasi
digunakan dalam penanganan kebencanaan. Mitigasi bencana berarti serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana. Dalam konteks ini, mitigasi utang
negara merupakan upaya mengurangi risiko utang negara. Semakin tinggi jumlah
utang, akan berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi dan risiko terhadap
Indonesia. Pada jangka pendek, utang dapat memberikan kontribusi cukup
berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Namun, risikonya, pada
jangka panjang akumulasi dari utang pemerintah ini harus dibayar melalui
APBN.
Dampak negatif ke pertumbuhan
Analisis dari
overlapping generation model yang dilakukan Rossen (2002) menunjukkan
bagaimana beban dari sebuah pinjaman dapat ditransfer lintas generasi. Dengan
demikian, dalam jangka panjang, pembayaran utang oleh Pemerintah Indonesia
sama artinya dengan mengurangi tingkat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia pada masa mendatang.
Meningkatnya utang
pemerintah berarti juga semakin memberatkan posisi APBN karena utang itu
harus dibayar beserta bunganya. Penarikan pinjaman luar negeri baru akan
berdampak pada meningkatnya stok pinjaman luar negeri. Peningkatan stok
pinjaman luar negeri akan berdampak pada beban bunga dan cicilan pinjaman
luar negeri. Ironisnya, semasa krisis ekonomi, utang luar negeri itu harus
dibayar dengan menggunakan bantuan dana dari luar negeri, yang artinya sama
saja dengan utang baru.
Persoalan lain yang
tak dapat dihindari adalah motivasi negara donor dalam memberikan pinjaman
pada sebuah skim utang luar negeri. Pada setiap aliran dana yang diberikan
pastilah melekat agenda tertentu. Setidaknya ada dua hal penting yang
memotivasi dan melandasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara-negara
debitor, yakni motivasi politik dan motivasi ekonomi. Keduanya punya kaitan
sangat erat satu sama lain. Motivasi politik tentunya akan memasung
kebijakan-kebijakan strategis pemerintah, sedangkan motivasi ekonomi banyak
berdampak pada eksplorasi sumber daya alam nasional.
Beberapa riset
menunjukkan, utang luar negeri juga membawa dampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Rana dan Dowling
(1988) menyimpulkan, pengaruh bantuan luar negeri terhadap pertumbuhan
ekonomi adalah negatif di sembilan negara Asia, yakni Myanmar, Tiongkok,
India, Korea Selatan, Nepal, Filipina, Singapura, Sri Lanka, dan Thailand.
Kesimpulan serupa juga
diperoleh dari penelitian Karagol (1999) dengan metode 3SLS tentang External
Debt and Economic Growth Relationship Using the Simultaneous Equations.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pembayaran pinjaman berhubungan dengan total
pinjaman tahun sebelumnya dan ekspor; aliran modal masuk dipengaruhi
pertumbuhan ekonomi; serta pengaruh langsung pembayaran pinjaman terhadap
perekonomian adalah negatif. Kajian White (1992) serta Brewster dan Yeboah
(1994) mengenai dampak utang luar negeri sektor pemerintah atau utang luar
negeri secara keseluruhan menunjukkan, pada umumnya secara statistik utang
luar negeri tak menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di
negara-negara berkembang.
Agustin Kwasi Fosu
(2001) dalam studinya menemukan beban utang yang semakin besar telah
berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama di
negara-negara Sub-Sahara Afrika. Hasil penelitian Sachcs (1993) juga
menghasilkan kesimpulan yang sama.
Selain berdampak
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri juga membawa dampak
pada iklim investasi suatu negara. Penelitian Javed dan Sahinoz (2005) di
Turki, External Debt: Some Experience from Turkish Economy, dengan
menggunakan regresi OLS sebagai alat analisis menunjukkan, pinjaman luar
negeri berdampak negatif terhadap investasi. Semakin tinggi utang, akan
semakin berdampak negatif pada iklim investasi.
Berbagai risiko atas
utang negara haruslah diantisipasi dengan baik. Jangan sampai utang
pemerintah menjadi menumpuk tanpa prediksi dan berakibat pada terjadinya
gelembung utang pemerintah (government debt bubble). Pada situasi ini,
terjadi krisis karena negara tidak mampu membayar utang domestik ataupun
utang luar negeri, ditandai dengan pendapatan nasional lebih kecil daripada
anggaran untuk pembiayaan utang (debt budgeting) dan belanja pemerintah.
Oleh karena itu,
diperlukan mitigasi utang negara lewat tata kelola dan manajemen utang
pemerintah. Dengan mitigasi ini dikaji apakah perencanaan utang seperti yang
dilakukan tahun ini sudah tepat. Apakah nilainya yang mencapai Rp 451,8
triliun memang dibutuhkan. Demikian pula, apakah timing pengambilan utang
tersebut sudah tepat. Jangan sampai jatuh tempo (maturity date) utang
menumpuk pada satu termin secara bersamaan.
Tak dikelola dengan baik
Mengingat sejarah
penerbitan obligasi oleh pemerintah, terdapat beberapa jenis obligasi lama
yang oleh sebagian kalangan dinilai tidak dikelola dengan baik. Beberapa
jenis obligasi itu adalah Obligasi Republik Indonesia 1950, Obligasi
Berhadiah 1959, Obligasi Konsolidasi 1959, dan Obligasi Pembangunan 1964.
Sebagian kalangan menilai, pemerintah pada waktu itu tidak mampu membayar
penarikan obligasi tersebut. Pemerintah Orde Lama dinilai default alias gagal
membayar kembali utang kepada rakyat. Namun, pernyataan ini dibantah oleh
Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara. Dikatakan, yang terjadi bukanlah
default, melainkan kedaluwarsa dalam pencairan. Faktanya, sampai tahun 2001
persoalan obligasi lama ini masih diperkarakan oleh para ahli waris pemegang
obligasi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar