Kain
dan Abil
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 10 Mei 2015
Ini kisah tentang
anak-anak Adam dan Hawa. Alkisah, pada suatu hari, Kain mencari cara untuk
membunuh adiknya, Abil. Ia merasa sakit hati karena korban bakarannya tidak
diterima Hyang Jagad Nata. Sebaliknya, asap korban bakaran Abil membubung
tinggi mengangkasa, menembus langit sampai ke hadapan-Nya.
Iri dan sakit hati
menguasai Kain. Ia benci pada Abil. Ia tidak mau hal itu terulang lagi. Untuk
mencegah agar hal itu tidak berulang, hanya ada satu cara: Abil dihabisi.
Maka, terjadilah apa yang diinginkan Kain. Ia membunuh Abil, adiknya.
Kain mengubur Abil di
sebuah goa di puncak bukit dekat dengan parbatasan Suriah, Lebanon, dan
Israel sekarang. Puncak bukit itu berada di Dataran Tinggi Golan. Dari sini,
menurut sebuah kisah, nama Damaskus bermula.
Damaskus, ibu kota
Suriah, dahulu kala bernama Damshak. Dam berarti darah, dan shak berarti
terbelah, yang menunjuk pada tanah yang teraliri darah Abil menjadi terbelah.
Pada kemudian hari, Damshak menjadi Damishk (dalam bahasa Arab) dan Damaskus
(dalam bahasa Inggris). Jadi, kalau sekarang darah mengalir di bumi Damaskus
(Suriah), tidak aneh.
Pembunuhan Abil
menjadi pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia. Paus Yohanes Paulus II
yang melacak budaya kematian hingga ke Kitab Kejadian menyatakan pembunuhan
Abil bukan hanya pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia, tetapi juga
pembunuhan primordial pertama sejak manusia diciptakan.
Setiap pembunuhan,
sejak saat itu, merupakan sebuah pelanggaran terhadap pertalian keluarga
spiritual yang menyatukan umat manusia dalam sebuah keluarga besar yang
memiliki kesamaan martabat. Semua umat manusia adalah keturunan Adam dan
Hawa. Karena itu, semua orang—terlepas dari apa ras, keyakinan, agama, suku,
golongan, budaya, etnik mereka—adalah saudara.
Namun, budaya kematian
yang diawali oleh Kain begitu kuat tertanam dalam kehidupan kita sekarang
ini. Istilah ini, budaya kematian (lawan dari budaya kehidupan), mulai biasa
digunakan setelah dikemukakan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1993.
Pengertian budaya
kematian ini sangat luas. Namun, secara singkat dapat dikatakan sebagai
budaya yang tidak hanya membolehkan, tetapi bahkan mendorong aborsi,
eutanasia, pembunuhan, hukuman mati, pembalasan dendam, bunuh diri, perang,
kloning manusia, sterilisasi manusia, dan masih banyak lagi yang menyangkut
pada tindakan atau perilaku kejahatan, perilaku yang tidak mendorong budaya
kehidupan.
Apa yang kita saksikan
sekarang ini di Irak, Suriah, Nigeria, Somalia, Yaman, Ukraina, Afganistan,
Palestina, dan beberapa bagian dunia lainnya—tempat kehidupan dan kemanusiaan
tidak dihormati, tidak dijunjung tinggi—adalah contoh praktik budaya
kematian. Hingga April lalu, paling kurang 31.000 orang tewas di Suriah sejak
pecah perang pada tahun 2011.
Di Suriah dan Irak,
kelompok bersenjata NIIS dengan kejam membunuh orang yang tidak sejalan
dengan mereka. Di Nigeria, Boko Haram menculik perempuan-perempuan muda,
menjual mereka, dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Di Somalia,
Al-Shabab secara membabi-buta membunuh orang-orang tak berdosa. Di Afganistan
dan juga Pakistan, kelompok-kelompok garis keras menebarkan bom serta
kematian. Pesawat-pesawat tempur Israel mengebom Gaza.
Dan, darah Abil terus
mengalir, mengejar keturunan Kain yang menebarkan kematian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar