Selera
Bangsa
Garin Nugroho ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 10 Mei 2015
Seorang sahabat yang
lulus arsitektur terbaik dari sebuah universitas terkemuka, tiba-tiba merasa
gagal dengan pencapaian akademiknya. Hasrat pendidikan tingginya tiba-tiba
tenggelam menghadapi ruang publik arsitektur di ruang-ruang kota Indonesia.
Demikian juga, seorang pendidik yang berfokus pada karakter bangsa, merasa
persemaian pendidikan karakter berbangsa mengalami kemerosotan terbesar karena
melihat program-program televisi sebagai ruang publik pendidikan terbesar
Indonesia.
Catatan kecil di atas
menarik untuk mendapat catatan tersendiri, berkait dengan hasrat selera
estetik bangsa, terepresentasi di berbagai ruang publik sehari-hari dalam
kaitannya dengan beragam hasrat yang begitu gencar didorong bertumbuh,
sebutlah hasrat pendidikan, hasrat politik, hasrat religi, dan lainnya.
Celakanya, ketika
berkait dengan hasrat selera estetik, kecenderungan terbesar justru
menurunkan kualitas untuk mengikuti selera bangsa yang semakin rendah. Contoh
konkret adalah program televisi hingga ruang publik kota yang dipenuhi ruang
konsumtif dan sampah visual iklan. Bisa diduga, terjadi paradoks besar antara
hasrat selera artistik berbangsa yang semakin dangkal dan vulgar dengan
beragam hasrat lainnya (pendidikan, teknologi, politik).
Haruslah dicatat,
hasrat selera artistik sesungguhnya adalah gabungan kompleks dari hasrat
politik, hasrat religiusitas, hasrat teknologi hingga sains. Alhasil, sering
tidak disadari bahwa merosotnya hasrat selera artistik bangsa pada tingkat
yang paling vulgar dan dangkal membawa warga bangsa pada kemerosotan daya
hidup beragam hasrat lainnya. Contoh konkret adalah frustrasinya seorang
arsitek terkemuka karena tidak lagi mendapatkan ruang publik bagi karya-karya
arsitekturnya yang memberi ruang pada beragam dimensi manusia: dimensi gerak
tubuh manusia, dimensi bunyi, hingga dimensi tanda visual dari sistem budaya.
Pada gilirannya,
hasrat selera artistik di negeri ini, khususnya di ruang publik sehari-hari
seperti layaknya kapal rapuh dan bocor yang akan tenggelam, ironisnya kapal
ini memuat dan menjadi ruang tumbuh beragam hasrat lainnya (teknologi, sains,
hingga politik dan religiusitas), bisa diduga beragam hasrat yang dibutuhkan
bangsa ini tenggelam bersama dalam merosotnya hasrat selera estetik bangsa
yang semakin dangkal dan vulgar.
Kegelisahan saya
tentang merosotnya hasrat selera berbangsa ini mengingatkan perjalanan haji
lima belas tahun yang lalu yang selalu dipenuhi diskusi di setiap malamnya.
Yang justru paling menarik adalah kenyataan bahwa seluruh kandungan isi Al
Quran, baik itu religiusitas, moral, hingga sains dihidupkan oleh hasrat
selera artistik dalam seni bertutur hingga seni kaligrafinya, menjadikannya sebagai
kitab terindah serta teragung dunia.
Demikian juga, ketika
harus membuka kembali buku proses sejarah berbangsa karena harus membuat film
Soegija, Tjokroaminoto hingga seri Bapak Bangsa (Syahrir, Hatta, Soekarno),
maka terbaca bahwa Pancasila mampu terlahir di negeri ini karena di balik
proses perumusan Pancasila terdapat politikus-politikus yang budayawan,
politikus yang memiliki hasrat selera artistik yang membawa pada sensitivitas
perasaan-perasaan terkecil kemanusiaan.
Bahkan, ketika kita
berjalan-jalan di ruang publik di negeri-negeri yang semakin bertumbuh maju,
sebutlah Singapura, maka hasrat selera estetik di ruang publik menjadi
prasyarat pertumbuhan modernitas baru. Simak bertumbuhnya beragam galeri,
panggung-panggung teater, hingga ruang publik sains dan teknologi. Alhasil
hasrat-hasrat lainnya mendapatkan ruang tumbuhnya.
Bisa diduga, sekiranya
keseluruhan hasrat selera estetik berbangsa tidak ditumbuhkan, tetapi
dibiarkan mengikuti hasrat vulgar, dangkal, serta hilangnya daya hidup kritis,
maka bisa dipastikan mundurnya peradaban bangsa ini.
Hasrat selera
berbangsa tidak bisa bertumbuh dalam pembiaran, seperti hasrat lainnya harus
ditumbuhkan dalam kerja strategi budaya, baik lewat proses pendidikan dalam
etos kerja keras menumbuhkan bangunan pasar selera yang kritis maupun
kebijakan politik yang berbudaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar