Bukan
Pelacur Biasa
Reza Indragiri Amriel ; Anggota World Society of Victimology
|
KORAN TEMPO, 13 Mei 2015
Ada dua kategori
pelacur. Pertama, orang-orang yang terjun ke lembah nista karena terjerat
dalam kemiskinan, perangkap utang, dan rupa-rupa kemalangan hidup lainnya.
Mereka menjadi komoditas yang diperjualbelikan laiknya budak belian. Tubuh
mereka tak ubahnya barang dagangan. Genap sebutannya: pelacur adalah korban
perdagangan orang. Menjadi pelacur, dengan demikian, merupakan bentuk
keterpaksaan.
Kedua, orang-orang
yang, berkat perhitungan akal sehat mereka, tahu persis bahwa pelacuran
adalah dunia yang menjanjikan. Dengan jam kerja singkat, keuntungan datang
sekian kali lipat. Menjadi pelacur, walhasil, adalah pilihan. Sebutan pekerja
seks komersial pun pas benar. Sebab, faktanya, orang-orang tersebut memang
secara sengaja dan sukarela memilih bekerja sebagai penjaja seks.
Terhadap pelacur di
Jakarta, Gubernur Basuki mengajukan solusi. Menurut dia, pelacur perlu
dilokalisasi, bahkan disertifikasi. Ahok mungkin ingin mengadopsi kampanye di
sejumlah negara Barat, bahwa legalisasi prostitusi akan dapat mengendalikan
prostitusi itu sendiri. Sayangnya, gagasan pemecahan masalah tersebut tidak
terbukti.
Lokalisasi didirikan,
tapi pelacuran di luar kompleks pelacuran tetap saja berjalan. Jerman, yang
pernah memberlakukan legalisasi pelacuran, akhirnya angkat tangan. Negara itu
jeri menerima penilaian sebagai rumah bordir raksasa, dengan 400 ribu pelacur
yang melayani 1 juta konsumen setiap hari. Begitu juga sekian banyak negara
Eropa lainnya, termasuk Belanda, Prancis, Swedia, dan Kanada. Sampai kemudian
negara-negara tersebut berbalik arah: pemidanaan terhadap pelacuran kembali
ditegakkan. Sasarannya adalah muncikari dan konsumen para pelacur.
Rencana Ahok untuk
melokalisasi dan menyertifikasi pelacur, jika dihadapkan dengan dua kategori
pelacur di atas, akan memperlihatkan logika yang centang-perenang.
Pelacur kategori
korban mengalami penderitaan fisik, psikologis, seksual, finansial, dan
sosial. Sungguh keji seandainya pelacur malang semacam itu malah dilokalisasi
dengan berbagai maksud yang terkesan baik hati, antara lain agar pelacur bisa
dibina, tidak menggelandang, penyakit menular seksual bisa dihadang, akses ke
alat kontrasepsi bisa disediakan, dan agar tamu-tamu para pelacur tersebut
merasa malu sehingga berhenti berkunjung. Pada saat yang sama, juga tak
berperasaan jika muncikari, trafficker, dan konsumen para pelacur-korban itu
didekriminalisasi.
Pelacur kategori
korban sudah sepantasnya mendapat uluran simpati. Mereka harus diselamatkan.
Ide Ahok juga tampak janggal terhadap pelacur kategori kedua. Karena
beroperasi secara sembunyi-sembunyi dan memiliki tarif luar biasa tinggi,
bisa dipastikan pelacur kategori ini menolak jika ruang kerja mereka
dibatasi. Dipindah ke kawasan sederhana, padahal biasa melayani tamu di hotel
bintang lima, pebisnis esek-esek tentu tidak mau terima.
Upaya menyertifikasi
pelacur kategori kedua juga omong-kosong belaka. Toh, tanpa legitimasi dari
lembaga pemberi sertifikasi sekali pun, para pelacur profesional itu sudah
memiliki reputasi kelas satu. Karena itu, berbeda dengan pelacur yang
sejatinya korban, mereka yang bekerja sebagai pelacur profesional harus
dijatuhi hukuman pidana dan sanksi sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar