Kedaulatan
Pangan
Firdaus Cahyadi ; Aktivis Lingkungan
|
KORAN TEMPO, 13 Mei 2015
Kedaulatan pangan
masuk sembilan agenda prioritas Presiden Joko Widodo (Nawa Cita). Ia berjanji
akan membangun kedaulatan pangan Indonesia berbasiskan pertanian rakyat.
Tampaknya implementasi kedaulatan pangan Presiden Jokowi masih jauh dari
harapan. Bahkan, bisa jadi kedaulatan pangan berubah menjadi kedaulatan
industri pangan. Bagaimana tidak, pada April lalu, badan usaha milik negara (BUMN) PT Bank
Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjalin kerja sama dengan Cargill dan Monsanto
dalam bidang pertanian Indonesia.
Dalam kerja sama
tersebut, Monsanto berkontribusi memasok benih-benih jagung dan teknologinya.
Adapun PT Cargill berperan dalam memasarkan hasil panen jagung dari petani,
sedangkan BRI memberi kontribusi dalam pembiayaan serta pemberian kredit.
Siapakah Monsanto dan
Cargill? Kedua perusahaan itu adalah para "penguasa" dalam industri
pangan. Seperti ditulis dalam situs binadesa.org, menurut Komite Ekonomi
Nasional (KEN), saat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
misalnya, disebutkan di pasar internasional ada empat pedagang besar yang
disebut "ABCD", yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill,
dan Louis Dreyfus. Keempat perusahaan
multinasional itu disebut telah menguasai sekitar 90 persen pangsa
perdagangan serealia (biji-bijian) dunia.
Sementara itu,
Monsanto merupakan raksasa di industri pangan. Dalam industri agrokimia
global, juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto,
Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF, yang menguasai 75 persen pangsa pasar global.
Sedangkan dalam industri bibit, terdapat empat perusahaan multinasional,
yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen
perdagangan bibit global. Bukan hanya itu, Monsanto sebagai perusahaan yang
memproduksi produk pertanian transgenik
(rekayasa genetik) juga memiliki catatan buruk dalam berbagai hal. Di
Indonesia, Monsato pernah berkonflik dengan petani kapas Bulukumba, Sulawesi
Selatan, pada 2000-an.
Monsanto pun terlibat
dalam kasus penyuapan kepada sejumlah petinggi, termasuk pemerintah
Indonesia, sebesar US$ 373.990. Tujuannya, agar Monsanto bisa menjual benih
kapas transgeniknya (rekayasa genetik) di Indonesia tanpa melewati
serangkaian uji keamanan hayati dan pangan yang memadai.
Tidak sampai di situ,
sebelumnya, Kementerian Pertanian menyatakan pemerintah Jokowi akan segera
membangun kawasan food estate pada 2016 di Kalimantan, dengan luas lahan
mencapai 500 ribu hektare. Konsekuensinya, karakter pertanian dan pangan
Indonesia akan bergeser dari peasant-based agriculture (pertanian berbasis
desa) dan family-based agriculture
(pertanian berbasis keluarga) menjadi corporate-based
food (perusahaan berbasis pangan) dan agriculture
production (produksi pertanian).
Siapa yang diuntungkan dari proyek food
estate ini? Mereka yang bergerak dalam industri pertanianlah yang akan
diuntungkan, sementara para petani gurem akan sekadar menjadi penonton.
Publik perlu kembali
mengingatkan Presiden Jokowi ihwal arah kebijakan pertaniannya. Bagaimanapun,
kedaulatan pangan tidak bisa dicapai jika kedaulatan kaum petani justru
digadaikan demi industri pangan dan pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar