Standar Nasional Pendidikan Tinggi
untuk Hadapi MEA
Djoko Santoso
; Mantan Rektor
ITB dan UI, Mantan Dirjen Dikti, Kemdikbud
|
KORAN
SINDO, 31 Maret 2015
Tahun 2015
adalah tahun dimulainya realisasi tatanan baru di lingkungan Asia Tenggara
yang disebut sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan pasar
tunggal dan berbasis produksi.
Apa yang akan
terjadi adalah aliran bebas barang, aliran bebas jasa, aliran bebas
investasi, aliran bebas modal, dan aliran bebas para profesional dan tenaga
terampil. Pengaturan tukar-menukar maupun aliran berbagai kegiatan ekonomi
ini diatur dalam mutual recognition arrangement (MRA) yang dilakukan
antarnegara ASEAN.
MRA yang
telah ada meliputi delapan bidang yaitu insinyur, arsitek, akuntan, survei
tanah, dokter, dokter gigi, perawat, dan pekerja turisme. MEA tentu
menghadapi beberapa kendala yang harus diselesaikan oleh masing-masing negara
anggota ASEAN yaitu bahasa komunikasi yang tidak sama, sistem pendidikan
tinggi yang berbeda, sistem pendidikan tinggi yang berbeda, dan kerangka
kualifikasi nasional (KKN) yang berbeda, bahkan ada yang belum mengembangkan.
Sehubungan
dengan itu, agar masing-masing negara dapat melakukan perundingan, mereka
harus memiliki standar. Standar didefinisikan sebagai mutu atau kualitas atau
capaian yang diinginkan untuk dicapai atau sesuatu yang sangat baik untuk
digunakan dalam pengambilan keputusan tentang mutu atau hal lain (Laerners
Dictionary). Khusus berkaitan dengan aliran para profesional dan tenaga
terampil, kita harus memiliki sistem terstandar yang utuh.
Standar yang
penting yaitu tentang pendidikan tinggi. Bagaimanakah dengan Indonesia? Kita
beruntung telah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pendidikan
Tinggi. Undangundang ini harus dilengkapi dengan peraturan turunannya yang
menjadi landasan hukum untuk pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia
sehingga dapat dibandingkan dengan negara lain, termasuk pelaksanaan MEA
melalui MRA.
Pasal 1,
angka 18, undangundang tersebut mendefinisikan tentang standar pendidikan
tinggi yang meliputi standar nasional pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Kemudian yang secara spesifik ditegaskan harus mengikuti
standar ialah pendidikan jarak jauh (Pasal 31 ayat 3), kurikulum (Pasal 35
ayat 2, Pasal 36), penjaminan mutu (Pasal 52), beberapa acuan standar
pendidikan tinggi (Pasal 54),
akreditasi
(Pasal 55 dan 56 ayat 4), pengangkatan dosen (Pasal 71), akuntabilitas (Pasal
78 ayat 2), standar satuan biaya PTN (Pasal 88), dan penjaminan mutu di mana
standar nasional pendidikan tinggi digunakan sebagai standar minimum
perguruan tinggi (penjelasan Pasal 63 huruf d).
Undang-Undang
Pendidikan Tinggi telah dijabarkan dalam bentuk Peraturan Menteri Nomor 49
Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Standar pendidikan
tinggi (SN Dikti) sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas
pendidikan tinggi, namun digunakan sebagai batas minimum. Perguruan tinggi
dianggap baik jika memenuhi standar nasional tadi.
Tentu menjadi
unggulan jika ia mampu berkreasi dan berkarya melampaui standar tadi. Agar
Indonesia tidak dipandang sebelah mata, standar kita harus setidaknya sama
atau bahkan lebih tinggi dari apa yang dimiliki negara ASEAN. Pengalaman
penulis menunjukkan bahwa standar kita cukup memadai. Pada 12-13 Januari yang
lalu penulis menghadiri pertemuan ACCS (ASEAN Coordinating Committee on
Services) ke-80.
Penulis hadir
pada rapat untuk arsitek (ASEAN Architect Education Committee (AAEC)) ke-23
dan insinyur (ASEAN Charter Professional Engineer Coordinating Committee
(ACPECC) ke- 27. Tentang arsitek dipertanyakan tentang lama belajar dan mutu
(akreditasi), dengan mudah kita menjawab sesuai dengan apa yang tercantum
dalam UU Dikti maupun Permen Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Mereka bisa
mudah mengerti dan mengakui bahwa pendidikan tinggi kita setara dengan
mereka. Tindak lanjutnya adalah kita dapat meminta perorangan sebagai arsitek
ASEAN (maksudnya arsitek pada level ASEAN). Hal yang sama untuk insinyur,
mereka mempertanyakan tentang kualifikasi yang digambarkan dengan gelar.
Kita dengan
mudah menjawab sesuai dengan UU Dikti yang mencakup Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) dan Permen SN Dikti. Meski terjadi perdebatan
dahulu, karena landasan hukum kita jelas, kita bisa meminta para sarjana
teknik kita yang telah memenuhi kualifikasi profesi insinyur yang termasuk
setara dengan uji kompetensi dapat meminta pengakuan sebagai insinyur ASEAN
(ASEAN engineer).
Jadi SN Dikti
mengatur standar minimum di perguruan tinggi Indonesia. Ibarat mobil, aturan
ini hanya mensyaratkan kalau mobil harus ada kemudinya, harus ada rodanya
minimum tiga, dan tentu harus ada mesinnya dengan persyaratan yang lebih
rinci dan rumit, kemudian harus ada pengemudinya dan tentu pengemudinya harus
memiliki surat izin mengemudi, dan seterusnya.
Maksudnya?
Agar mobil tersebut dapat berjalan dengan baik dan aman bagi penggunanya.
Demikian pula fungsi SN Dikti dalam menyelenggarakan perguruan tinggi di
Indonesia. Lalu, kalau perguruan tinggi kita belum mencapai standar,
bagaimana? Arinya belum baik menurut ukuran kita dan tugas kita untuk
mengusahakan mencapai standar.
Maksudnya?
Agar bangsa kita dihargai oleh bangsa lain karena memiliki standar yang cukup
baik. Demikianlah sekelumit pengalaman penulis tentang pemikiran dan
penggunaan SN Dikti dalam pergaulan internasional, termasuk MEA yang mau
tidak mau harus kita ikuti sebagai negara anggota ASEAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar