Obstacle Industri Indonesia : Birokrasi Perizinan
Hendrik Kawilarang Luntungan ;
Wakil
Sekjen Bidang Ekonomi
DPP Partai Perindo
|
KORAN
SINDO, 31 Maret 2015
Beberapa
waktu lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengintrodusir kembali gagasan
pentingnya Indonesia beralih menjadi negara industri. Modalnya sudah ada:
kekayaan alam, bonus demografi, dan letak strategis di peta ekonomi dunia
mengingat pergerakan ekonomi global kini berada di Asia-Pasifik.
Alam kita
dahsyat. Diibaratkan JK, tanam tongkat saja bisa tumbuh. Mengingatkan lagu
Nusantara Koes Plus. Sayangnya, selama ini pembangunan hanya mengandalkan
sektor pertanian. Padahal sektor pertanian tidak mampu menyerap banyak tenaga
kerja. Di Jawa atau daerah lain misalnya rata-rata satu keluarga hanya punya
0,3 hektare. Itu pun hanya bisa untuk kerja dua orang.
Tapi, itu
terbukti belum mampu menghapus kemiskinan. Tingkat kemiskinan yang tinggi
justru terjadi di daerah pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah
penduduk miskin pada September 2013 sebanyak 28,55 juta orang atau 11,47%,
meningkat 480.000 orang dibandingkan Maret 2013. Sekitar 63% penduduk miskin
negeri itu tinggal di perdesaan. Mudah diduga, sebagian besar mereka adalah
petani dan buruh tani.
Faktanya
jelas, hingga kini sektor pertanian tetap menjadi kantong kemiskinan. Para
saudara kita itu sangat rentan dengan dinamika ekonomi makro. Jika ada
gejolak sedikit seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau inflasi,
mereka segera terkena dampaknya. Seorang peneliti menggambarkan: ada
desa-desa di mana posisi penduduk perdesaan ibarat orang yang selamanya
berdiri terendam dalam air sampai ke leher sehingga ombak yang kecil
sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkan mereka.
Kalau mau
dikurangi petani, harus ada alternatif. Satu-satunya alternatif adalah
industri. Jika hanya mengandalkan sektor pertanian tanpa disokong industri,
kita akan sulit keluar dari masalah itu. Bila ingin ada penyerapan tenaga
kerja besar-besaran jawabannya adalah industri. Sektor industri bisa
menghasilkan multiplier effect tiga
kali. Pabrik baja butuh kontraktor, restoran, tempat hiburan, warteg, dan
lain-lain.
Industri
jelas butuh investasi karena tiap investasi akan menimbulkan kegiatan ekonomi
tiga kali lipatnya. Hasilnya sebenarnya sudah terasa. Pada 2014 industri
pengolahan memberikan kontribusi sebesar 24% terhadap produk domestik bruto
nasional. Peningkatan pun terus terjadi pada sektor pengolahan nonmigas. Dari
sini kita mulai menemukan solusi, namun bukan tanpa masalah.
Kendati
Indonesia merupakan negara agraris, tetap diperlukan pembangunan industri
untuk memberi nilai tambah pada produk pertanian agar bisa meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, di samping penyediaan lapangan kerja. Negara maju
seperti Amerika Serikat dan Jepang sekalipun tetap mengembangkan pertaniannya
untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya.
Pembangunan
industri nasional ke depan harus mendapat perhatian yang serius dengan keterlibatan
pemerintah yang lebih intensif. Tidak hanya pada kebijakan, tapi juga
pembangunan sarana dan prasarana. Selama ini banyak pembangunan sarana dan
prasarana yang dibutuhkan industri dibangun oleh swasta. Pemerintah harus
betul-betul berperan dalam pembangunan industri, bukan hanya diserahkan pada
mekanisme pasar.
Investasi
adalah faktor penting di sektor industri. Peningkatan investasi harus
berjalan di segala lini dan sektor, khususnya di luar Pulau Jawa. Kementerian
Perindustrian menargetkan penyebaran industri di luar Pulau Jawa terus
meningkat, dari yang saat ini hanya sekitar 29% menjadi 45% pada 2035. Namun,
kita tidak bisa menutup mata. Masalah birokrasi perizinan masih jadi hambatan
utama investasi.
Birokrasi
pemerintahan kita sudah terkenal dengan deretan puluhan meja dan
berbelit-belit. Urusan di pusat tidak sama dengan di daerah. Masalah
perizinan adalah satu benang kusut dalam sektor ini, di antara masalah lain
seperti ketenagakerjaan, pasokan energi, dan insentif fiskal. Panjangnya
proses birokrasi perizinan memang menjadi salah satu minus Indonesia di mata
investor.
Ini menjadi
salah satu komponen yang menambah biaya produksi. Jika rantai perizinan bisa
dipangkas, bisa lebih bersaing. Walau perizinan sifatnya hanya one time,
namun jika Indonesia bisa melayani dengan lebih efisien, jadi dampaknya
langsung ke daya saing. Sudah jadi rahasia umum: berinvestasi di Indonesia
tidak mudah.
Banyak ranjau
yang harus dilalui sebelum sebuah proyek investasi dapat direalisasikan.
Dengar saja keluhan berbagai investor atas sulitnya berinvestasi di
Indonesia. Salah satu masalah yang menjadi keluhan mereka adalah ribet dan
kompleksnya sistem dan proseduru ntuk mendapatkan izin atau permit.
Di sektor
migas misalnya. Untuk satu proyek pengeboran minyak di daerah membutuhkan
sedikitnya 89 perizinan. Untuk memenuhi itu, semua memerlukan waktu
bertahun-tahun. Industri makanan minuman butuh 27 izin. Dalam aturan resmi
butuh waktu 730 hari. Tapi, pemerintah pun belum bias memastikan seberapa cepat:
apakah lebih lama atau lebih cepat.
Di balik
ketidakpastian perizinan dan investasi ini rupanya menyuburkan perilaku suap
kalangan swasta kepada pejabat publik atau birokrasi. Suap dilakukan untuk
mendapatkan kemudahan (fasilitas) dan keuntungan secara tidak fair,
memenangkan persaingan secara tidak fair, mengamankan dan memproteksi
investasi yang dilakukan.
Akibat
tradisi ini, muncul oknum-oknum di lembaga publik (birokrasi) yang terbiasa
melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) demi keuntungan pribadi
atau kelompok antara lain melalui pemberian informasi yang bersifat rahasia
(rencana tender, rencana kebijakan/ regulasi, data pesaing).
Pungutan liar
dalam proses perizinan dan investasi juga memunculkan oknum-oknum pihak
ketiga (rent seekers) yang menjembatani pihak investor dan pejabat publik
dalam rangka kemudahan perizinan dan investasi yang dilakukan secara tidak
fair.
Buktinya,
banyak pengusaha yang hanya bermodalkan kedekatan dengan pejabat di daerah
mendapatkan izin saja di bidang pertambangan mineral dan batu bara, namun
tidak bermaksud melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi, melainkan hanya
untuk mendapatkan pendanaan atau dijual ke pihak lain. Itu antara lain
kenyataan di balik rumit dan berbelit-belitnya perizinan di negeri ini.
Masalah
birokrasi perizinan ini tampaknya menjadi masalah abadi bersama abadinya
persoalan korupsi di Indonesia. Seperti sengaja dipelihara. Ada ungkapan
sindiran yang sering kita dengar di kalangan birokrasi: ”kalau bisa
dipersulit, kenapa dipermudah” Di sinilah ruang bagi para birokrat untuk
bermain. Bila investor mau mempermudah, mempercepat proses perizinan, ada
”harga” yang harus dikeluarkan pelaku bisnis yaitu fulus (uang).
Praktik-praktik
seperti ini kita bisa dengar, lihat, dan baca dan bahkan mungkin mengalami
sendiri. Kondisi ini yang membuat investor dan pelaku bisnis terkadang hanya
gelenggeleng kepala dan membuat mereka dilema. Ada yang sabar mengambil jalan
lurus sesuai aturan dan permainan birokrasi, tapi lama. Dampaknya, mereka
kehilangan momentum.
Ada yang
terpaksa mengambil jalan pintas dengan berbagai cara asalkan apa yang
diinginkan dapat diperoleh (perizinan). Sejumlah pelaku usaha menilai,
pemerintah terkesan lambat merespons hasil-hasil survei pemeringkatan
kemudahan berusaha atau” Doing Business” diIndonesia. Jika pada 2013
peringkat Indonesia berada pada posisi ke-128, kini hanya naik delapan
peringkat pada ”Doing Business 2014”, menempati peringkat ke- 120 dari 189
negara yang disurvei.
Di level
ASEAN peringkat Indonesia berada di posisi ketujuh, di bawah Singapura
(peringkat 1 dunia), Malaysia (6), Thailand (18), Brunei Darussalam (59),
Vietnam (99), dan Filipina (108). Semua obstacle harus dihilangkan, dimulai
dari birokrasi perizinan. Kalau industri tidak tumbuh, hanya ada sektor, yang
didagangkan di dalam negeri nanti adalah barang impor.
Rakyat
Indonesia hanya dijadikan konsumen dan buruh atau kuli. Padahal pendiri
bangsa Bung Karno tidak pernah menginginkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
koeli: ”een natie van koelis en een koeli van naties”, bangsa yang terdiri
atas kuli-kuli dan menjadi kuli di antara bangsa-bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar