Hak Angket untuk Kemurnian Demokrasi
Bambang Soesatyo
; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 31 Maret 2015
Demi
kemurnian demokrasi, keberpihakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan
Laoly dalam menangani sengketa Partai Golkar dan PPP tidak boleh ditoleransi.
Keberpihakan
dan intervensi itu harus diselidiki melalui penggunaan hak angket oleh DPR.
Hak angket adalah hak anggota DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran
undang-undang (UU) oleh pemerintah. Dalam kasus Partai Golkar dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), pemerintah diduga telah melakukan intervensi
terhadap konflik internal ke dua partai itu.
Ekstremnya,
pemerintah telah berpihak pada salah satu kubu dengan cara memecah belah
partai bersangkutan. Hingga pekan terakhir Maret 2015 usul penggunaan hak
angket itu sudah mendapat dukungan dari 116 anggota DPR dari lima fraksi.
Rinciannya, 55 anggota Fraksi Partai Golkar, 37 anggota Fraksi Partai
Gerindra, 20 anggota Fraksi PKS, dua anggota Fraksi PPP, dan dua anggota
Fraksi PAN.
Jumlah itu
diyakini akan terus bertambah karena masih diedarkan ke seluruh anggota DPR.
Usul penggunaan hak angket itu pun secara resmi telah diserahkan ke pimpinan
DPR pada Rabu, 25 Maret 2015. Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR
Bidang Polhukam Fadli Zon menerima dokumen usulan yang diserahkan oleh para
inisiator hak angket.
Jika hak
angket itu terlaksana, Panitia Khusus (Pansus) DPR akan menyelidiki praktik
kotor pembegalan demokrasi serta mengungkap oknum yang terlibat dalam praktik
kotor itu. Karena itu, Pansus Hak Angket DPR juga akan meminta keterangan
dari semua pihak terkait, termasuk staf, direktur, direktur jenderal, hingga
menteri. Tentu saja Pansus Hak Angket DPR juga akan menyita beberapa dokumen
seperti notulen dan kajian dasar pertimbangan hukum, termasuk rekaman.
Tak kalah
pentingnya adalah menyelidiki serta mempertanyakan bagaimana seorang menteri
mengeluarkan kebijakan yang sangat penting itu tanpa diketahui Presiden.
Seperti diketahui, keputusan Menkumham Laoly atas kepengurusan Partai Golkar
dan PPP melanggar UU dan sarat kepentingan politik. Ini harus ditanyakan
karena ada dugaan tentang kekuatan lain selain Presiden sebagai atasan
langsung menkumham yang bisa menekan, mengintervensi, dan mendikte menteri.
Urgensi lain
dari penggunaan hak angket DPR adalah menghindari gesekan atau bentrokan para
simpatisan Golkar dan PPP di level akar rumput. Dengan berprosesnya hak
angket, para simpatisan akan melihat bahwa para elite partai masih terus
menggunakan pendekatan legal untuk menyelesaikan persoalan internal dua partai.
Bisa terjadi konflik horizontal kalau pendekatan legal dihentikan.
Itu sebabnya,
selain mendorong penggunaan hak angket, Partai Golkar juga menempuh jalur
legal lain seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta memasukan laporan tentang surat
mandat palsu oleh kubu Munas Ancol ke Bareskrim Mabes Polri. Dengan rangkaian
langkah legal itu, pesan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie (ARB) sangat
jelas bahwa persoalan belum selesai, bahkan masih harus menempuh proses yang
panjang.
Boleh saja
Menkumham Yasonna H Laoly menerbitkan keputusan tentang pengesahan kubu
Ancol. Tetapi, keputusan itu kini terbukti debatable. Keputusan menkumham itu patut diperdebatkan karena
tidak berpijak pada kebenaran materiil, melainkan hanya berdasarkan
kepentingan politik. Menkumham secara terencana tidak meneliti dan tak
mencermati kelemahan dasar hukum penyelenggaraan Munas Ancol.
Munas Ancol
itu ilegal karena diselenggarakan oleh beberapa orang yang bersekutu dalam
apa yang disebut Gerakan Penyelamat Partai Golkar. Patut disebut ilegal
karena struktur organisasi dan maupun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Partai Golkar tidak mengenal instrumen partai dengan identitas
Gerakan Penyelamat Partai Golkar itu.
Kelemahan
dasar hukum Munas Ancol juga terlihat sangat jelas pada kasus pemalsuan
mandat dari DPD I-II Partai Golkar. Jelas bahwa Munas Ancol itu tidak punya
legitimasi karena penyelenggaraannya berdasarkan 43 surat mandat yang tanda
tangannya diduga palsu. Munas Bali didukung 34 unsur DPD provinsi dan 512
unsur DPD kabupaten/kota, sedangkan Munas Ancol hanya dihadiri 16 unsur DPD
provinsi dan 260 unsur DPD kabupaten/kota.
Kebenaran Materiil
Sangat layak
untuk menuduh pemerintah memihak kubu Ancol karena menkumham tidak
mempertimbangkan data-data yang juga digunakan oleh Mahkamah Partai Golkar
itu. Karena itu, sangat wajar kalau kemudian kubu Munas Bali melihat keputusan
Menkumham Laoly itu debatable. Bagi
kubu Munas Bali, menkumham tidak berpijak pada asas pembuktian hukum dalam
mengatasi kisruh Partai Golkar.
Karena itu,
klaim kubu Agung Laksono bahwa keputusan menkumham itu sudah memenuhi asas
preae assumtio iustae causa bukan
hanya prematur, tetapi ngawur. Menurut asas ini, suatu produk hukum dianggap
sah berlaku sebelum dibuktikan dan dinyatakan sebaliknya dengan dibatalkan
atau dicabut oleh yang menerbitkannya atau oleh pengadilan.
Para ahli
hukum sudah menegaskan bahwa asas preae
assumtio iustae causa tidak bisa serta-merta digunakan untuk mengklaim
kebenaran sebab ada beberapa syarat wajib terpenuhi. Salah satu syarat
utamanya adalah keputusan harus dibuat berdasarkan prinsip kehati-hatian,
cermat, tidak sewenangwenang, dan tidak berpihak demi kepentingan pribadi
atau kelompok.
Jika syarat
itu tak terpenuhi dalam keputusan, kebenaran yang dicapai hanya formal dan
tidak memenuhi kebenaran materiil. Mengabaikan asas preae assumtio iustae causa ketika membuat keputusan bisa
dipidanakan. Dari sini bisa dilihat bahwa proses penyatuan kembali Partai
Golkar masih harus menempuh perjalanan panjang.
Persoalannya
bahkan bisa makin rumit jika menkumham dilaporkan ke pihak berwajib karena
mengabaikan asas preae assumtio iustae
causa itu. Jangan lupa bahwa kubu Munas Bali sudah memasukkan laporan ke
Bareskrim Mabes Polri tentang dugaan pemalsuan mandat dalam penyelenggaraan
Munas Ancol.
Kalau
ditindaklanjuti dengan memasukkan laporan tentang keberpihakan menkumham dalam
konteks asas preae assumtio iustae
causa, situasinya akan benar- benar runyam. Benar bahwa keputusan
menkumham dalam menyelesaikan kisruh Partai Golkar sangat berbahaya.
Keputusan ini berdampak pada integritas dan kredibilitas pemerintahan
Presiden Jokowi. Pemerintah akan dicap otoriter karena memberangus partai
politik yang berseberangan.
Untuk
kepentingan siapa Menkumham Laoly membuat keputusan yang debatable itu?
Muncul dugaan bahwa ada kekuatan lain di tubuh pemerintah yang ingin melihat
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus diselimuti
konflik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendaknya mewaspadai dan menghentikan
gerakan ini. Menkumham jelas sedang berpolitik.
Karena
berpolitik, dia memberanikan diri bertindak gegabah, melawan hukum, dan
menabrak undang- undang. Kalau dibiarkan, gerakan seperti itu akan berpotensi
menimbulkan gangguan terhadap stabilitas politik di dalam negeri. Patut
digarisbawahi Presiden bahwa rakyat sudah jenuh dengan kebisingan akibat
benturan politik. Rakyat ingin suasana kondusif.
Sudah
terbentuk persepsi bahwa pemerintahan Presiden Jokowi gagal mengawal
demokrasi dan tatanan kehidupan berbangsa. Tangan-tangan kotor pemerintah
diduga telah merekayasa konflik politik dan hukum yang menyebabkan ruang
publik bising. Pertanyaannya, kapan Presiden Jokowi bisa mewujudkan suasana
teduh seperti yang dijanjikan semasa kampanye kepresidenan tahun lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar