Sabtu, 18 April 2015

Santri tak Masuk NU?

Santri tak Masuk NU?

Muhammad Sulton Fatoni  ;  Wakil Sekretaris Jenderal PBNU;
Dosen STAINU Jakarta
REPUBLIKA, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada Senin (13/4), harian Republika memuat opini yang berjudul "KH Hasyim Asy’ari dan Umat" yang ditulis Imam Besar Mesjid Istiqlal KH Ali Mustafa Yaqub. Atas saran dari seorang aktivis Nahdlatul Ulama DI Yogyakarta, saya menyempatkan diri untuk memberikan kesempurnaan informasi tentang satu poin yang beliau angkat, yaitu "KH Hasyim tidak pernah menyuruh santrinya untuk masuk NU, bahkan salah satu putera beliau, Gus Kholik (KH Abdul Khalik Hasyim) tidak masuk NU."

"Tampaknya, Hadhratusy Syaikh mempunyai prinsip, selama masih dalam rumpun Ahlussunnah wal Jamaah, beliau tidak mempermasalahkan apakah menjadi NU atau bukan. Tak mengherankan bila kemudian banyak santri Hadhratus Syaikh yang aktif di ormas Islam bukan NU."

Benarkah KH Hasyim Asy'ari tidak mengajak santri-santrinya masuk NU? Pada tulisan ini saya menambah penjelasan dari dua sumber. Pertama, penuturan KH Abdul Muchit Muzadi kepada saya saat silaturahim ke kediaman beliau di Jember, Jawa Timur, pada 2001 dan 2011 untuk keperluan Nahdlatul Ulama. Menurut Kiai Muchith—begitu kami biasa menyapa—KH Hasyim Asy'ari tidak pernah bercerita tentang Nahdlatul Ulama kepada para santri Tebu Ireng saat itu. Setidaknya sepengetahuan beliau selama kurang lebih lima tahun nyantri di Tebu Ireng.

Setiap berada di lingkungan Pesantren Tebu Ireng, KH Hasyim Asy'ari fokus mendidik dan mengajar santri. Sikap beliau sering kali membuat para santri Tebu Ireng saat itu gundah. Para santri saat itu berharap KH Hasyim Asy'ari bercerita tentang Nahdlatul Ulama, terutama saat beliau baru datang dari aktivitas ke-NU-an setelah beberapa hari meninggalkan pondok pesantren. Namun, harapan itu tak pernah terwujud hingga Kiai Muchith menyelesaikan studinya di Tebu Ireng. Barulah setelah selesai belajar di Tebu Ireng, Muchith muda mendaftarkan diri masuk Nahdlatul Ulama dengan proses dan persyaratan yang ketat.

Persyaratan ketat memang diberlakukan bagi seseorang yang ingin menjadi anggota NU. Menurut Kiai Muchith, seseorang yang masuk anggota NU tidak langsung mendapatkan kartu anggota NU. Ia harus melalui beberapa tahapan ujian dan persyaratan. Namun, berbagai privilege diberikan kepada seseorang yang telah menjadi anggota NU. Misalnya, anggota NU dibolehkan menggunakan lambang NU untuk aktivitas ekonominya dengan imbalan 1 hingga 2,5 persen untuk NU (Feillard, 1999).

Kedua, dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama yang dideklarasikan pada Muktamar ke-3 NU pada 28 September 1928 di Surabaya, KH Hasyim Asy'ari menuliskan (terjemah dalam bahasa Indonesia), "Marilah, wahai para ulama sekalian para pengikutnya, baik dari kalangan si fakir, si kaya, maupun si lemah dan si kuat! Bersatu padulah ke dalam satu organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama. Masuklah kalian menjadi warga organisasi Nahdlatul Ulama dengan penuh iktikad baik dan kasih sayang serta bersatu, rukun, baik lahir maupun batin."

Penuturan Kiai Muchith dan dokumen KH Hasyim Asy'ari di atas memberi pemahaman bahwa KH Hasyim Asy'ari memberi batasan tegas antara urusan Nahdlatul Ulama dan pondok pesantren. Kedua institusi tersebut, meski substansinya sama, tapi secara praksis berbeda, mulai dari konsentrasinya, locus, hingga alokasi waktunya. Karena itu saya memahami Kiai Hasyim Asy'ari tidak mau mengganggu konsentrasi belajar santri Tebu Ireng, meskipun karena urusan Nahdlatul Ulama.

Menjadi warga Nahdlatul Ulama itu mempunyai konsekuensi. Di antara konsekuensinya adalah bentuk tuntutan bagi seseorang yang masuk menjadi anggota Nahdlatul Ulama, terlebih menjadi pengurusnya. Pada Muktamar ke-12 NU tanggal 25 Maret 1937 di Malang, misalnya, para kiai dalam forum itu memutuskan, seseorang yang telah ditetapkan sebagai pengurus NU, mulai dari tingkat ranting hingga pusat, wajib mengerjakan segala Anggaran Dasar NU.

Maksud anggaran Dasar Nahdlatul Ulama adalah segala aktivitas yang terkait dengan realisasi empat agenda besar Nahdlatul Ulama, yaitu memberikan perlindungan (jam’iyyatu aman), memperjuangkan keadilan (jam’iyyatu ‘adl), upaya meningkatkan kualitas hidup (jam’iyyatu ishlah), dan jam’iyyatu ihsan, yaitu mengupayakan kemakmuran (Hasyim Asy'ari, 1938).

Dua fakta tentang KH Hasyim Asy'ari di atas saling berkaitan. Keduanya mengonstruksi integritas KH Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin besar umat Islam Indonesia. KH Hasyim Asy'ari menempatkan dan menjaga pondok pesantren sebagai institusi yang harus steril dari segala kepentingan selain ilmu pengetahuan.

Sedangkan, Nahdlatul Ulama ditempatkan sebagai wahana perjuangan para kiai dan pengikutnya untuk mewujudkan empat gagasan besarnya. Mencermati penuturan dan pengalaman Kiai Muchith menunjukkan bahwa pondok pesantren adalah wahana pengaderan para kiai yang di masa depan diharapkan menjadi penggerak Nahdlatul Ulama. Kalaupun terdapat kasus seorang santri tidak menjadi kiai, ia masuk NU karena mengikuti gerakan kiainya. Hal ini merujuk kepada statement KH Hasyim Asy'ari yang menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan para kiai dan pengikutnya (KH Hasyim Asy'ari, 1938).

Pusat pengaderan kiai

Perkembangan NU yang pesat tak lepas dari strategi menempatkan kiai sebagai motor gerakan. Menjelang pendirian Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari meminta agar KH Abdulwahab Chasbullah berkunjung ke KH Mas Nawawi Sidogiri, Pasuruan. Kunjungan itu akhirnya direspons KH Nawawi dengan menggelar pertemuan para kiai se-Pasuruan yang ditempatkan di Masjid Jami Pasuruan. Konsolidasi para kiai tersebut akhirnya melahirkan Nahdlatul Ulama. Masyarakat secara cepat menyambut NU karena mereka telah terkonsolidasikan sebelumnya oleh para kiai.
 
Pada 1935, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan 67 ribu anggota. Tiga tahun kemudian mempunyai 99 cabang dan mulai berkembang ke luar Jawa: Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan (Feillard, 1999). Prinsipnya, semakin banyak kiai yang bergabung, maka warga NU terus bertambah mengingat para kiai membawa komunitasnya.

Para pengikut kiai ini, Andree Feillard menyebutnya dengan "non-ulama", sejak 1926 hingga sekarang telah disediakan tempat yang disebut dengan "tanfidziyah" dan perangkat teknis di bawahnya. Jumlah anggota NU itu tidak menghitung para santri yang berada di pondok-pondok pesantren.

Setelah 92 tahun berdiri, kini warga NU tak kurang dari 76 juta jiwa yang tersebar hampir di 27 negara. Terdapat 23 ribu pondok pesantren, 13 ribu madrasah, 210 perguruan tinggi, 350 ribu mahasiswa, 4.000 dosen, dan 536 ribu guru serta ustaz, dan 3,5 juta siswa. Atas capaian ini, the Royal Islamic Strategic Studies Centre yang berpusat di Yordania menempatkan Nahdlatul Ulama berada di urutan ketujuh sebagai organisasi Islam berpengaruh di dunia.

Lantas, berapakah jumlah santri saat ini? Tak kurang dari 7 juta santri yang tersebar di berbagai pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Merekalah yang diharapkan menjadi penerus estafet kepemimpinan Nahdlatul Ulama di masa depan. Mereka harus diberi ruang dan waktu belajar yang terbaik.

Inilah generasi yang menurut KH Muchith Muzadi "tak diajak ngomong tentang NU" oleh KH Hasyim Asy'ari. Masuk NU harus dengan iktikad baik, rasa kecintaan, bersatu, rukun secara lahir dan batin. Inilah sikap KH Hasyim Asy'ari.

Soal ada santrinya yangg tidak masuk NU, tentu beliau tak akan memaksa. Saya pun teringat saat nyantri di Pesantren Sidogiri Pasuruan sekira 22 tahun lalu. Enam tahun di pesantren, tak satu pun kiai Sidogiri pernah mengajak para santri untuk masuk NU. Padahal, salah satu kiai Sidogiri, Nawawi, termasuk pendiri Nahdlatul Ulama pada 1926.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar