Selasa, 21 April 2015

Pilkada Serentak 2015 bagi Partai-Partai Terbelah

Pilkada Serentak 2015 bagi Partai-Partai Terbelah

W Riawan Tjandra  ; Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Doktor Ilmu Hukum UGM
MEDIA INDONESIA, 18 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PILKADA serentak 2015 sudah di depan mata karena mulai Juli nanti tahapannya yang akan berpuncak pada kontestasi pilkada serentak pada Desember 2015 nanti sudah harus dimulai. Pilkada merupakan arena kontestasi politik yang sangat penting bagi negeri ini untuk memperkuat basis politik lokal guna melanjutkan komitmen desentralisasi dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi untuk membangun otonomi seluas-luasnya. Di titik inilah, pilkada serentak 2015 memiliki urgensi dan signifi kansi untuk dapat dikelola dengan baik oleh KPU dengan didukung segenap elemen demokrasi di negeri ini.

Problem yang harus dihadapi KPU terkait dengan persiapan pelaksanaan pilkada se rentak 2015 ialah masih ada dua kasus hukum sebagai buah dari partai yang terbelah yang kini sedang ditangani peradilan tata usaha negara. 
Kasus gugatan PPP dari kubu Djan Faridz terhadap SK Menkum dan HAM RI No M.HH-07.AH.11.01 saat ini masih bergulir di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, sedangkan kasus gugatan Partai Golkar kubu ARB terhadap SK Menkum dan HAM RI No M.HH-01.AH.11.01 tertanggal 23 Maret 2015 saat ini juga masih diperiksa di PTUN Jakarta.

Diskursus terjadi terkait dengan kesenjangan antara keharusan KPU untuk segera menetapkan peserta Pilkada 2015 dari dua kubu tersebut dan fenomena sengketa hukum yang masih harus dihadapi kedua partai. KPU menghadapi dilema berat dalam penetapan peserta pilkada serentak 2015 dari kedua partai terbelah tersebut. Masalah hukum yang dihadapi terkait dengan konflik hukum salah satu kubu dari tiap partai terbelah tersebut dengan Menkum dan HAM tentu tak bisa diabaikan begitu saja karena aspek legal dalam proses politik pilkada merupakan sebuah fondasi yang sangat penting dalam membangun pilkada serentak 2015 yang demokratis dan damai. Namun, secara politik kedua kubu yang terdapat di dalam kedua partai politik yang bersangkutan merasa memiliki hak untuk menentukan calon masing-masing yang akan ikut serta dalam kontestasi Pilkada 2015.

Ketua KPU Husni Kamil Malik mengungkapkan KPU telah melakukan kajian dan diskusi dengan para pakar dan Mahkamah Agung (MA) mengenai permasalahan tersebut. Dari hasil diskusi dan dengar pendapat itu, mungkin KPU akan mengambil sikap status quo, yakni tidak meng akomodasi pengajuan calon dari keduanya, kecuali bila ada MOU atau kesepakatan di antara kedua pengurus parpol tersebut. Dalam merespons hal itu, anggota Panja Pilkada Saduddin menyatakan ketidaksetujuannya atas arah kebijakan KPU tersebut. Menurut Panja Pilkada tersebut, “Sepintas terlihat kebijakan tersebut baik karena tidak ada keberpihakan KPU terhadap salah satu pengurus parpol. Namun sesungguhnya hal ini berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi mengingat parpol tersebut punya hak politik, tetapi dinafikan karena adanya konflik internal.”

Sebenarnya, solusi bagi terselesaikannya masalah tersebut ialah kapasitas institusi peradilan tata usaha negara mulai tingkat pertama hingga kasasi untuk bisa memutuskan sengketa hukum dalam kedua parpol tersebut secara cepat, akurat, dan berkeadilan. Karenanya, Mahkamah Agung sejatinya harus mengambil sikap untuk dapat mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) yang mengatur beberapa aspek penting terkait dengan sengketa hukum di peradilan tata usaha negara yang di hadapi kedua parpol tersebut. Perma itu perlu mengatur, misalnya, bagaimana norma hukum terkait dengan status hukum kedua SK Menkum dan HAM tersebut berdasarkan asas praduga keabsahan (vermoeden van rechtsmatigheid) selama sengketa tata usaha negara sedang berjalan dan belum ada putusan peradilan tata usaha negara yang berkekuatan hukum tetap, limitasi waktu penyelesaian sengketa TUN terkait dengan penanganan gugatan tata usaha negara dari SK Menkum dan HAM RI yang diamanatkan UU Parpol itu, dan sejenisnya.

Mahkamah Agung perlu mengeluarkan Perma tersebut mengingat ketidaklengkapan substansi Hukum Acara PTUN dalam UU No 5 Tahun 1986 jis UU No 9 Tahun 2004 jis UU No 51 Tahun 2009 yang belum merespons perkembangan norma hukum khusus penyelesaian sengketa parpol terkait dengan pengesahan Menkum dan HAM RI yang dihadapkan pada tahapan pilkada se rentak sebagaimana diatur dalam UU Pilkada 2015. Kini, `bola' penyelesaian sengketa hukum sekaligus politik dalam penetapan calon-calon peserta pilkada serentak 2015 dari kedua parpol tersebut berada di tangan MA yang nantinya (seharusnya) dapat dijadikan pegangan oleh KPU.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, pengaturan yang tak tuntas terkait dengan sengketa hukum tata usaha negara yang dipicu kewenangan pengesahan Menkum dan HAM RI dalam UU Parpol bisa menuai konflik horizontal pascapilkada serentak 2015 jika tak ditangani dengan bijak oleh multipihak terkait (KPU, parpol, dan pemerintah). SK Menkum dan HAM RI dalam kedua kasus sengketa parpol tersebut sejatinya, jika ditinjau dari teori hukum administrasi negara, memiliki karakter hukum khusus (sui generis) yang bisa disejajarkan dengan jenis keputusan tata usaha negara (beschikking) lain seperti IMB dan SK pembongkaran bangunan.

Jika dicermati dari UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, SK Menkum dan HAM dalam pengesahan kepengurusan baru parpol setelah melewati proses pemilihan kepengurusan internal pada tiap parpol tersebut lebih memperlihatkan karakter sebagai keputusan TUN deklaratif, bukan konstitutif. Artinya, pengesahan Menkum dan HAM RI tersebut sebatas hanya menetapkan secara formal legalitas sebuah kepengurusan baru parpol yang keabsahan materiilnya sebenarnya melekat pada proses internal parpol dalam pemi lihan struktur kepengurusan baru parpol termasuk dalam penyelesaian internal oleh mahkamah parpol yang bersangkutan.

Dengan demikian, sungguh tak tepat menyejajarkan kedua SK Menkum dan HAM RI dalam pengesahan kepengurusan baru parpol atas permohonan pengurus baru yang telah terpilih melalui proses internal kedua parpol tersebut dengan KTUN konsti tutif lain seperti SK pemberhentian PNS, SK pembongkaran bangunan, dan sejenisnya.

Maka, sungguh tak bijak putusan sela PTUN yang sempat menunda pelaksanaan KTUN terkait dengan pengesahan pengurus baru parpol oleh kedua SK Menkum dan HAM di atas. Jika ditinjau dari teori hukum administrasi negara, kedua SK Menkum dan HAM RI yang bersifat deklaratif tersebut lebih tepat dianalogkan dengan keputusan TUN eenmalig yang hanya berdaya laku sekali saja pascaditetapkan pejabat tata usaha negara, yang tak bisa ditunda begitu saja pelaksanaannya oleh PTUN. Penundaan pelaksanaan KTUN oleh PTUN itu sendiri tak dapat mengubah status pengesahan formal atas kepengurusan baru kedua parpol tersebut karena sifat `eenmalig' dari kedua keputusan TUN tersebut, yang di dalam teori hukum administrasi negara juga disebut sebagai KTUN kilat. KTUN kilat ibarat pancaran sebuah kilat, hanya berlaku sekali pascapenetapan dan langsung menimbul kan akibat hukum tertentu.

Corak keputusan TUN pengesahan kepengurusan baru parpol oleh Men kum dan HAM RI yang diamanatkan UU Parpol tersebut harus ditempatkan sebagai sebuah keputusan TUN sui generis yang bersifat khusus. Maka, di sinilah berlaku asas praduga keabsahan bahwa selama belum dibatalkan suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka, pengesahan kepengurusan baru parpol yang dilahirkan kedua SK Menkum dan HAM RI tersebut masih tetap mengikat. Demi kepastian hukum dan kepentingan umum, KPU harus tetap berpegang pada kedua keputusan TUN tersebut dalam penetapan peserta Pilkada 2015. Pilkada serentak tak boleh tersandera oleh ambisi politik dan perilaku oligarkis sebagian elite politik yang tak segan menyandera demokrasi untuk kepentingan pribadi berjubah koalisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar