Pengelolaan Gas Nasional
Marwan Batubara ; Pengamat
Energi dari Indonesian Resources Studies (IRESS)
|
KOMPAS,
13 April 2015
Saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang
menyusun cetak biru pembangunan infrastruktur dan neraca gas nasional. Untuk
itu, pemerintah telah membentuk Komite Gas yang berfungsi menyelesaikan
berbagai masalah seputar pengelolaan gas yang meliputi alokasi,
infrastruktur, pasokan, kebutuhan, agregator, hingga harga gas.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said
(3/3) mengatakan, "Dalam jangka waktu 4-5 tahun ke depan, seluruh
infrastruktur sudah terkoneksi secara lengkap dan gas bisa termanfaatkan
dengan maksimal."
Rencana Kementerian ESDM itu layak diapresiasi sebab selama ini
gas sebagai sumber energi murah dan bersih tidak termanfaatkan secara optimal
di dalam negeri. Hal ini terjadi antara lain karena sumber gas dan konsumen
gas tidak terhubung, pasokan tak tersedia, atau alokasi gas bermasalah.
Permasalahan timbul akibat regulasi yang sangat liberal, penguasaan negara
yang minim, dan upaya perbaikan oleh pemerintah yang rendah.
Tulisan ini membahas pengelolaan gas nasional, terutama alokasi,
serta langkah perbaikan sementara yang perlu diambil Komite Gas yang akan
dituangkan dalam sebuah peraturan pemerintah (PP) dan secara permanen bagi
Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas.
Paradigma pengelolaan
migas
Solusi masalah alokasi gas perlu dimulai dengan menekankan
kembali dan menjalankan secara konsisten paradigma pengelolaan gas nasional.
Sebelumnya gas dianggap sebagai komoditas yang diupayakan maksimalisasi
pendapatannya bagi penerimaan negara.
Paradigma ini harus berubah dengan menjadikan gas sebagai modal
pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu, di samping untuk menciptakan
ketahanan energi, gas harus berperan sebagai salah satu komponen membangun
keunggulan daya saing nasional, baik sebagai energi maupun sebagai bahan baku
yang memberi nilai tambah pada sektor industri.
Selanjutnya, alokasi gas harus memperhatikan prioritas pemanfaatan
yang sejalan dengan perubahan paradigma di atas. Pasal 6 Peraturan Menteri
(Permen) ESDM Nomor 3 Tahun 2010 mengatur bahwa Menteri ESDM berfungsi
menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam
negeri. Penetapan itu dilaksanakan sesuai dengan prioritas pemanfaatan untuk
a) peningkatan produksi migas, b) industri pupuk, c) tenaga listrik, dan d)
industri lainnya. Urutan prioritas alokasi pemanfaatan gas ini tidak
konsisten dengan paradigma pengelolaan sehingga perlu diperbaiki untuk
memperoleh alokasi yang optimal.
Salah satu wujud alokasi pemanfaatan gas yang optimal adalah
memberi porsi lebih besar bagi sektor industri yang menjadikan gas sebagai
energi dan bahan baku. Gas sebagai bahan baku memiliki industri turunan yang
luas, memberikan kontribusi minimal enam kali lebih besar daripada industri
migas dan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak bagi perekonomian nasional.
Pada produk domestik bruto 2012, industri migas berkontribusi
3,1 persen, sedangkan industri nonmigas 20,9 persen. Pada 2013 dan 2014
kontribusi industri migas masing-masing 2,9 persen dan 3 persen, sedangkan
industri nonmigas 20,8 persen dan 20 persen.
Pentingnya pengalokasian gas yang lebih besar untuk sektor
industri sebagai bahan baku, misalnya, mendesak untuk segera dijalankan
karena semakin meningkatnya kebutuhan. Pasar industri petrokimia di ASEAN
saat ini didominasi Tiongkok (25,3 persen), Jepang (21,4 persen) dan Korea
Selatan (16,7 persen). Pangsa pasar produk petrokimia Indonesia hanya 2,5 persen.
Setiap tahun Indonesia mengimpor produk petrokimia cukup besar,
termasuk dari Malaysia, Thailand, dan Singapura, dengan nilai 15,6 miliar
dollar AS, 16,1 miliar dollar AS, dan 16,4 miliar dollar AS, masing-masing
pada 2012, 2013, dan 2014.
Padahal, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura tidak
memiliki sumber daya migas guna mendukung industri petrokimia. Sebagian
kebutuhan gas sebagai bahan baku industri tersebut bahkan diimpor dari
Indonesia. Ironisnya, produk industri tersebut diimpor kembali oleh Indonesia
dengan membayar nilai tambah lebih dari enam kali lipat! Karena itu, di
samping melakukan optimasi alokasi pemanfaatan gas, sudah waktunya Indonesia
segera memulai pengurangan ekspor gas secara terencana untuk akhirnya
menghentikan ekspor.
Selanjutnya, solusi masalah alokasi gas harus dikaitkan dengan
infrastruktur gas: bahwa badan usaha yang memperoleh alokasi wajib memiliki
dan membangun infrastruktur. Karena itu, alokasi gas kepada badan usaha harus
menjamin terwujudnya sinergi dan sinkronisasi kepastian dan perencanaan
pasokan gas, kesiapan konsumen menyerap gas, dan ketersediaan infrastruktur.
Tumbuhnya pasar membutuhkan waktu lama. Karena itu, dibutuhkan
kesiapan badan usaha berinvestasi jangka panjang, kemampuan bersinergi dengan
berbagai pihak untuk mengembangkan pasar, dan perlindungan dari pemerintah
melalui pemberlakuan pola bundled service.
Berdasarkan kajian Institute
for Development of Economics and Finance/Indef (2014), sejak 2008 hingga
2013 besarnya kekurangan pasokan gas bumi nasional berkisar 20 persen hingga
30 persen, dengan salah satu penyebab utamanya adalah keterbatasan
infrastruktur. Karena itu, alokasi gas harus diutamakan kepada BUMN pengguna
gas, seperti PLN dan industri pupuk, serta BUMN pengelola dan pengembang gas,
yakni Pertamina dan PGN. Sejalan dengan itu, pemerintah harus mencegah adanya
alokasi gas yang diberikan kepada badan usaha yang tidak memiliki
infrastruktur atau yang hanya berperan sebagai broker.
Kemudian, masalah alokasi gas harus diatur sesuai amanat
konstitusi dengan mengganti undang-undang dan berbagai peraturan yang berlaku
saat ini yang sangat liberal. Memang sebagian ketentuan UU Migas No 22 Tahun
2001, seperti Pasal 5, 10, dan 28 yang terkait liberalisasi gas, telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, peraturan yang merujuk
ketentuan UU yang telah batal tersebut masih digunakan tanpa koreksi sehingga
kerugian masyarakat berupa ketiadaan pasokan, tidak tersedianya
infrastruktur, atau mahalnya harga gas masih terus berlangsung.
Peraturan yang meliberalisasi industri gas nasional antara lain
adalah PP No 36 Tahun 2004, Permen ESDM No 7 Tahun 2005, Permen ESDM No 19
Tahun 2009, dan Pedoman Tata Kerja (PTK) No 29 Tahun 2009. Pasal 9 PP No 36
Tahun 2004, misalnya, mengatur lelang pembangunan pipa transmisi kepada badan
usaha. Namun, karena hanya berorientasi profit, pembangunan sejumlah pipa
transmisi tertunda cukup lama seperti Kalija I dan II, Cirebon-Semarang dan
Semarang-Gresik, sehingga konsumen, termasuk PLN, gagal mendapat pasokan gas.
Permen ESDM No 19 Tahun 2009 mengatur pemisahan kegiatan usaha
pengangkutan dan niaga berupa pola unbundling
(Pasal 19), pembukaan infrastruktur gas hilir menjadi akses terbuka (Pasal
13), dan perusahaan niaga tanpa fasilitas, trader/broker (Pasal 9). Hasil dari liberalisasi pada Permen No
19 Tahun 2009 ini antara lain adalah alokasi gas tidak tepat sasaran atau
tidak langsung kepada konsumen dan semakin tingginya harga gas akibat
berlapis "fungsi perantara" atau "calo" yang diperankan
para broker.
Perbaikan regulasi
Menilik besarnya dampak negatif yang timbul akibat liberalisasi
industri gas nasional, sudah waktunya bagi pemerintah mengembalikan
penguasaan sumber daya alam (SDA) gas bumi kepada negara. Menurut Pasal 33
UUD 1945, penguasaan negara atas SDA diwujudkan dalam penetapan kebijakan,
pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.
Khusus terhadap aspek pengelolaan, konstitusi mengamanatkan
bahwa pengelolaan SDA harus dilakukan BUMN dan BUMD. Oleh sebab itu, cetak
biru pembangunan infrastruktur dan neraca gas nasional yang saat ini sedang
disusun Komite Gas (ESDM) haruslah tetap konsisten dengan konstitusi yang
menjamin dominasi pengelolaan oleh BUMN. Perbaikan yang diambil dalam PP yang
akan diterbitkan harus bersifat sementara dan tidak akan menimbulkan gejolak
jika kelak UU Migas baru diberlakukan.
RUU Migas baru harus menjamin didominasinya pengelolaan gas oleh
BUMN. RUU Migas memang telah ditetapkan menjadi salah satu dari 37 RUU
prioritas dalam program legislasi nasional 2015. Beberapa ketentuan yang
diusulkan untuk ditetapkan adalah pemberian hak monopoli alami kepada BUMN
dalam hal alokasi, pengelolaan dan distribusi gas. Badan usaha yang hanya
berperan sebagai trader dan tak punya sarana penyaluran gas harus dihapus.
Adapun keterlibatan BUMD dan badan usaha swasta dalam industri gas, termasuk
yang saat ini telah memiliki infrastruktur, seharusnya hanya dilakukan
melalui kerja sama dengan BUMN.
Penegasan MK atas prinsip penguasaan negara terhadap SDA pada
putusan No 36 Tahun 2012 dalam memutus gugatan atas UU Migas No 22 Tahun 2001
dan putusan No 85 Tahun 2013 dalam gugatan atas UU Sumber Daya Air No 7 Tahun
2004, hendaklah menjadi dasar utama bagi pemerintah dan DPR dalam memperbaiki
regulasi sektor migas. Kementerian Pekerjaan Umum akan menetapkan bahwa
seluruh keterlibatan swasta dalam penyediaan air harus dilakukan melalui BUMN
atau BUMD. Oleh sebab itu, perubahan radikal terhadap ketentuan yang ada
dalam berbagai peraturan yang berlaku saat ini harus dilakukan secara tegas
tanpa kompromi.
Pengaturan yang ketat terhadap keikutsertaan badan usaha swasta
dalam industri gas harus sejalan dengan kebutuhan untuk mewujudkan dominasi
pengelola dan monopoli alami oleh negara melalui BUMN. Keterlibatan swasta
yang hanya melayani wilayah yang padat konsumen dan menguntungkan harus
dicegah. Dengan dominasi BUMN terjadi subsidi silang pembangunan
infrastruktur antara wilayah padat dan wilayah minim konsumen sehingga
ketersediaan infrastruktur untuk melayani dan mengembangkan konsumen gas
dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar