"E-Budgeting" dan Korupsi
Ratna Wardhani ; Ketua Program
Studi S-1 Ekstensi Akuntansi
dan Pengajar "Good Governance" pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KOMPAS,
13 April 2015
Dalam beberapa hari terakhir ini kepada kita dipertontonkan polemik
anggaran yang terjadi antara Pemerintah Provinsi DKI dan DPRD DKI. Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan bahwa terdapat
pengeluaran-pengeluaran dengan nilai total Rp 12,1 triliun yang sebelumnya
tidak masuk dalam RAPBD yang diajukan Pemprov DKI. Kisruh antara DPRD dan
Gubernur DKI Jakarta terkait penyusunan APBD ini masih berkepanjangan.
Bahkan, upaya mediasi yang di-prakarsai Kementerian Dalam Negeri belum
menghasilkan solusi atas polemik tersebut. Menurut pengakuan Basuki, adanya perbedaan
antara anggaran versi Pemprov DKI dan anggaran versi DPRD dapat
diidentifikasikan melalui e-budgeting.
E-budgeting merupakan sistem informasi berbasis web yang
digunakan untuk memfasilitasi proses penyusunan anggaran belanja daerah.
Melalui e-budgeting, pemerintah dapat melakukan pengendalian anggaran dengan
lebih baik karena proses penyusunan anggaran dapat dilakukan secara lebih
transparan, tepat waktu, anggaran dapat dialokasikan sesuai dengan kebutuhan
dalam program kerja, kronologis anggaran dapat ditelusuri dengan jelas, dan
pembuatan laporan seputar realisasi anggaran dapat dibuat dengan lebih mudah.
E-budgeting sebagai bagian dari konsep e-government kemudian
dipandang sebagai mekanisme yang positif yang dapat meningkatkan kepercayaan
publik terhadap pemerintah melalui peningkatan akuntabilitas, transparansi,
dan pemberdayaan dari warga negara (Kauvar,
1998, dan Demchak dkk, 2000).
Anggaran dalam era
reformasi pelayanan publik
Era New Public Management (NPM) merupakan era reformasi pelayanan
sektor publik yang terjadi di sejumlah negara. NPM merupakan gagasan yang
diusung Hood (1991) yang merupakan pendekatan pemodernisasian
kebijakan-kebijakan sektor publik sehingga pola pengelolaannya berorientasi
pada pasar dan akan meningkatkan efisiensi biaya bagi pemerintah.
NPM memiliki orientasi terhadap hasil (outcome) dan efisiensi melalui pengelolaan anggaran publik yang
lebih baik sehingga manfaat akhir dapat diperoleh masyarakat berupa
peningkatan kualitas pelayanan, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan,
kesejahteraan, dan lain-lain. Dalam NPM, outcome dan efisiensi dari
pengelolaan anggaran publik salah satu indikator kinerja sektor publik.
Dalam era NPM, pemerintah dituntut menerapkan prinsip-prinsip
tata kelola yang baik yang mencakup, di antaranya, akuntabilitas dan
transparansi. Anggaran merupakan salah satu mekanisme utama dalam menjalankan
prinsip akuntabilitas dan transparansi. Anggaran pada sektor publik sering
kali dilihat dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu perspektif ekonomi,
manajemen, dan politik. Perspektif ekonomi sering kali berfokus pada
efisiensi anggaran dan alokasi dari jasa dan benda yang disediakan oleh
pemerintah. Perspektif manajemen mengaitkan anggaran dengan administrasi
publik, di mana anggaran merupakan proses yang bersifat teknikal. Sementara
perspektif politik sering kali menitikberatkan dimensi politik dalam alokasi
sumber daya dan peran anggaran dalam proses pengambilan keputusan politik (Hackbart dan Ramsey, 2002). Perspektif
politik sering kali membuat anggaran tersandera oleh berbagai kepentingan,
yang berlawanan dengan tujuan utama dalam NPM, yaitu kualitas pelayanan
publik yang baik.
Pada era NPM ini masyarakat menjadi lebih kritis dan menuntut
pemerintah untuk dapat lebih memberikan pelayanan publik yang lebih baik,
termasuk di antaranya menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dari
pemerintah. Hal ini didukung oleh arus informasi dan kekuatan media dalam
memonitor proses penganggaran tersebut. Monitoring dari masyarakat dan media
membantu kesuksesan sistem e-budgeting dalam era NPM.
Korupsi pengadaan
Apabila dilihat dari postur anggaran sektor publik di Indonesia,
jumlah pengadaan barang dan jasa di institusi publik rata-rata mencapai 15-30
persen dari PDB. Besarnya nilai pengadaan barang dan jasa di institusi
pemerintah tersebut merupakan potensi risiko yang sangat tinggi untuk
terjadinya korupsi. Bank Dunia bahkan menyatakan bahwa korupsi di pengadaan
pemerintah paling luas dan merajalela. Nilai korupsi yang terjadi dapat
mencapai 10-50 persen dalam proses pengadaan barang.
Besarnya kerugian akibat korupsi diperkirakan mencapai 10-25
persen pada skala normal. Dalam beberapa kasus, kerugian yang ditimbulkan
dapat mencapai 40-50 persen dari nilai kontrak. Belum lagi termasuk kerugian
ekonomis akibat tidak tepat sasarannya pengeluaran pemerintah yang akan
membuat pengeluaran pemerintah tersebut tidak dapat secara efisien
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan secara terorganisasi
dengan tahapan yang bisa jadi cukup panjang. Proses anggaran merupakan
tahapan awal yang merupakan tahap penilaian atas kebutuhan/penentuan
kebutuhan.
Dengan menggunakan sistem e-budgeting, pengajuan anggaran
belanja dan nilainya dapat dilakukan cross
check and balance dan tracking
dalam peng-input-annya lebih mudah. Dari sisi audit, akan lebih mudah
menemukan jejak audit (audit trail)
dalam penggunaan sistem ini. Hal ini tentu saja akan meminimalkan tindakan
arbiter dan diskresi yang dapat mengarah pada korupsi.
Global Corruption Report tahun 2003 menyatakan bahwa e-government dan termasuk di
dalamnya e-budgeting menawarkan solusi parsial dalam menghadapi permasalahan
korupsi yang kompleks. Sistem ini mensyaratkan adanya pemeliharaan atas data
mendetail dari transaksi yang memungkinkan untuk melacak dan menghubungkannya
dengan tindakan koruptif. Andersen (2009) juga membuktikan secara empiris
bahwa penggunaan e-government merupakan salah satu alat yang signifikan dalam
menurunkan tingkat korupsi di sejumlah negara.
Namun, mengingat kompleksnya aspek korupsi itu sendiri tampaknya
tidak akan ada satu obat yang mujarab yang dapat berdiri sendiri. Pada
kenyataannya korupsi di Indonesia telah mengakar dalam seluk beluk budaya,
politik, dan ekonomi masyarakat. Meskipun teknologi informasi sering kali
terbukti dapat membantu mendeteksi dan menghindari terjadinya korupsi,
diperlukan pendekatan yang lebih holistik yang mencakup baik desain sistem
informasi maupun faktor organisasi dan kepemimpinan, lingkungan, dan
institusional dalam mengimplementasikan sistem pengendalian atas korupsi.
Pada akhirnya kebijakan apa pun, baik yang bersifat langkah yang
besar maupun yang bersifat hanya solusi parsial, untuk menahan laju korupsi
adalah kebijakan yang layak dilakukan. Dengan cara apa pun korupsi harus
dilawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar