Kriminalisasi Kekayaan Tak Sah
Jamin Ginting ; Direktur
Pusat Studi Konstitusi dan Anti
Korupsi;
Dosen Fakultas Hukum UPH
|
KOMPAS,
13 April 2015
Kriminalisasi mengandung makna menjadikan suatu perbuatan dapat
dipidana, di mana keadaan ataupun perbuatan tersebut sebelumnya bukan suatu
perbuatan yang dapat dipidana. Adapun "penambahan kekayaan tak sah"
(untuk selanjutnya disebut PKTS) berasal dari istilah illicit enrichment. Situasi ini terjadi terhadap pegawai negeri,
penyelenggara negara, ataupun pejabat negara yang punya harta tidak
proporsional dengan penghasilan yang didapat secara sah.
Ketentuan hukum di Indonesia pada saat ini belum menjadikan illicit enrichment ini sebagai suatu
perbuatan yang dapat dipidana. Padahal, Pasal 20 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, yang
sudah diratifikasi dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006, telah mengatur
tentang "memperkaya secara tidak sah". UNCAC menyarankan untuk
setiap negara yang mengadopsi illicit
enrichment/PKTS dalam peraturan perundang-undangan agar menetapkan
sebagai suatu tindak pidana, yaitu terhadap suatu peningkatan harta yang
signifikan dari pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara wajar/masuk
akal yang dihubungkan dengan pendapatannya yang sah.
Tahun 1964, Argentina dan India merupakan negara pertama
pencetus PKTS. India mendefinisikan PKTS sebagai memiliki sumber-sumber
"di mana pejabat/penyelenggara negara yang keuangannya tidak memuaskan". Sementara di
Argentina disebut sebagai suatu kegagalan "pembenaran asal-usul
penambahan kekayaan untuk dirinya sendiri ataupun kepada pihak ketiga".
Setelah 20 tahun sejak dicetuskan, PKTS telah diperkenalkan di
beberapa negara, seperti Brunei, Kolombia, Ekuador, Mesir, Republik Dominika,
Pakistan, dan Senegal. Pada 1990 paling tidak ada 10 negara yang mengatur
kriminalisasi terhadap PKTS. Tahun 2010, sudah lebih dari 40 negara yang
menempatkan PKTS sebagai tindak pidana.
Konvensi-konvensi internasional juga telah menetapkan PKTS
sebagai dasar bagi setiap negara untuk dipertimbangkan dimasukkan ke
peraturan perundang- undangan, sebagai salah satu upaya pengembalian aset
hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Di antaranya dalam Inter-American Convention Against
Corruption (IACAC) disetujui tahun 1996; African Union Convention on Preventing and Combating Corruption
(AUCPCC), tahun 2003; dan Economic
Community of West African States (ECOWAS) Protocol Fight Against Corruption, tahun 2001.
Masih segar dalam ingatan kita, di Indonesia seorang pegawai Direktorat
Jenderal Pajak dengan golongan IIIA, tetapi memiliki harta berupa uang Rp 25
miliar di rekeningnya. Ia juga menyimpan uang asing senilai Rp 60 miliar dan
perhiasan senilai Rp 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya. Semua itu
dicurigai sebagai hasil yang tak sah.
Selain itu, eks Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur
Jenderal Djoko Susilo diketahui memiliki aset Rp 54,625 miliar. Padahal,
penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri tahun 2003-2010 sebesar Rp 407
juta dan penghasilan di luar itu Rp 1,2 miliar. Ia pun dijerat dengan tindak
pidana korupsi dan pencucian uang.
Jika memiliki peraturan tentang PKTS, dapat dipastikan para
pejabat negara dan penyelenggara negara dapat dengan mudah dipidana karena
peningkatan hartanya yang signifikan, yang seharusnya dijelaskan dan
dipertanggungjawabkan asal-usul harta tersebut. Saat ini konsep pencucian
uang dan tindak pidana korupsi pembuktiannya masih menggunakan beban
pembuktian bagi penuntut umum. Sebaliknya, dengan konsep PKTS, pembuktian itu
dibebankan kepada orang yang hartanya terdapat penambahan yang signifikan
itu.
Pembuktian terbalik
Pembuktian terbalik menjadi instrumen yang sangat dibutuhkan
dalam kriminalisasi PKTS. Penyelenggara negara ataupun PNS yang diduga
memiliki penambahan kekayaan cukup signifikan harus membuktikan sendiri di
persidangan asal-usul harta kekayaannya. Ia harus memberikan bukti yang cukup
dan dapat meyakinkan hakim bahwa kekayaannya berasal dari pendapatan yang sah
dan wajar.
Pembuktian terbalik memang bertentangan dengan konsep praduga
tak bersalah. Sebab, dalam pembuktian terbalik, tersangka sudah dijadikan
pihak yang bersalah, sampai dia sendiri dapat membuktikan bahwa dia tidak
bersalah.
Penerapan hak asasi seseorang yang disita hartanya tanpa ada
suatu keputusan peradilan juga dapat jadi pelanggaran hak asasi orang
tersebut. Oleh karena itu, di beberapa negara hal ini tidak dapat diterima
sebagai suatu sarana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.
Namun, berdasarkan definisi yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di beberapa negara dan konvensi- konvensi
internasional tentang PKTS, disebutkan ada lima unsur yang harus dipenuhi
dalam kriminalisasi PKTS. Pertama, orang yang diuntungkan. Kedua, jangka
waktu keuntungan yang didapatkan. Ketiga, hubungan dengan harta kekayaan yang
meningkat secara signifikan. Keempat, intensitas (secara sadar dan memiliki
pengetahuan). Kelima, perbuatan melawan hukum. Jika semua unsur tersebut
terpenuhi, dipastikan penerapan PKTS dapat diterapkan kepada subyek pejabat
publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang signifikan secara tidak sah.
Melihat situasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
saat ini, perlu dipertimbangkan untuk menerapkan konsep-konsep Pasal 20 UNCAC
2003, yang telah diratifikasi, dimasukkan ke sistem perundang-undangan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Penerapan PKTS tentu harus dilengkapi dengan instrumen penerapan
laporan kekayaan harta kekayaan (LKHT) yang lebih ketat dan terstruktur. Ini
diperlukan agar kita dapat melihat sejauh mana penambahan harta pejabat
publik yang signifikan, serta mengkaji peningkatan harta pejabat publik yang
proporsional dan rasional, sehingga dengan mudah menjadikan obyek pemeriksaan
bagi penyidik untuk dapat dijadikan tindak pidana "penambahan kekayaan
tidak sah" atau illicit enrichment.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar