Partai,
Konflik, Figur
Anas Urbaningrum ; Pengamat Politik
|
KORAN SINDO, 15 April 2015
Salah satu berkah reformasi adalah kesempatan warga negara untuk
mendirikan partai politik. Pada masa sebelumnya hak itu diberangus oleh Orde
Baru. Alih-alih memberi hak, rezim malah menyederhanakan partai melalui fusi
alias ”kawin paksa” di awal 1970-an dengan alasan stabilitas. Eksperimen
mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada pertengahan 1990-an sempat harus
dibayar mahal oleh para eksponennya. Namun, setelah empat kali pemilu
pascareformasi, isu tentang partai politik belum banyak berubah.
Selain partai peserta pemilubaruyangdatangdanpergi setiap
pemilu, belum ada kemajuan berarti dalam pengelolaan partai politik secara
modern dan demokratis. Berita tentang partai kerap diwarnai konflik internal.
Publik pun mengkritik partai sebagai jelmaan oligarki kekuasaan.
Setiap habis pemilu, konsolidasi partai politik kerap diwarnai
perebutan kekuasaan antarafaksiyangmendukungpenguasa dan faksi yang ingin
beroposisi. Tentu ini tidak terjadi pada partai pemenang pemilu. Pada partai
pemenang pemilu yang biasanya terjadi adalah friksi dalam memperbesar
portofolio kekuasaan kelompok di dalam tubuh partai dan pemerintahan.
Konflik Internal
Selepas Pemilu 2004 kita menyaksikan langkah Jusuf Kalla
mengambil alih kepemimpinan Golkar dan menjadikan partai beringin itu sebagai
salah satu jangkar politik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
(SBY-JK). Padahal JK bukanlah calon resmi Golkar dalam pemilihan presiden,
karena konvensi Golkar menetapkan Wiranto sebagai pemenang.
Langkah JK berhasil, namun dengan ongkos yang tidak murah.
Wiranto yang kecewa akhirnya mendirikan Partai Hanura pada 2006. Tidak lama
kemudian, Prabowo yang juga peserta konvensi Golkar mendirikan Partai
Gerindra. Kedua partai ”anak konvensi” ini menjadi kontestan Pemilu 2009 dan
berhasil ke Senayan. Belakangan, Golkar malah turun suaranya di pemilihan
anggota legislatif dan gagal di Pilpres 2009.
JK yang kalah pada Pilpres 2009 dianggap ”berdosa”, hal yang
lazim dalam politik. Munas Golkar di Pekanbaru 2009 menghadirkan kompetisi
yang ketat dan sengit antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kemenangan
Bakrie kemudian diikuti menyempalnya Surya Paloh dan lahirnya organisasi
kemasyarakatan (ormas) Nasional Demokrat (Nasdem) yang bermetamorfosis
menjadi Partai Nasdem di kemudian hari.
Sementara Aburizal makin merapat ke pemerintahan SBY dan
diganjar sebagai ketua harian Setgab Koalisi. Sejumlah pengamat mengatakan
apa yang terjadi di Golkar sekarang merupakan pengulangan sejarah–mirip
ungkapan Prancis, l’histoire se répète.
Selama ini Golkar adalah partai yang selalu berada di dalam kekuasaan.
Yang terjadi kini sejatinya adalah tarik-menarik antara tradisi
lama yang selalu berada di dalam kekuasaan dengan alur politik yang ingin
membangun tradisi baru di luar kekuasaan sebagai oposisi. Tarik-menarik kedua
arus ini sangat keras dan diduga melibatkan pihak di luar partai. Cerita
berbeda dialami oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang relatif berhasil
mengelola dinamika internal organisasinya pasca-konflik 2008 dan kemerosotan
perolehan suara pada Pemilu 2009.
Meskipun sisa-sisa konflik masih belum hilang sepenuhnya, tetapi
kondisi internal yang relatif tenang dan ”arus balik” sebagian suara pada
Pemilu 2014 telah mengobati luka-luka yangterjadipada episodesebelumnya.
Terpilihnya kembali Muhaimin Iskandar secara aklamasi dalam Muktamar PKB di
Surabaya menjadi penanda yang cukup kuat. Wajah berbeda bisa kita temukan
pada Partai Amanat Nasional (PAN).
Partai ini tenang dan nyaman bersama pemerintahan SBY. Pada
Pemilu 2014 lalu juga berhasil mendongkrak perolehan suara, salah satunya
karena menjual sosok Hatta Rajasa dalam pilpres. Ketidakberhasilan Hatta di
dalam pilpres telah menjadikan kongres PAN sangat kompetitif.
”Koalisi” Amien Rais dan Soetrisno Bachir berhasil mengalahkan
Hatta dan menempatkan Zulkifli Hasan sebagai nakhoda baru. Partai matahari
biru ini berhasil mengelola kompetisi demokratik dan isu regenerasi dengan
cukup manis. Meskipun menyisakan riak-riak, seperti rencana hadirnya ormas
Harapan Rakyat (HR), PAN relatif bisa menampilkan tradisi demokrasi dalam
alih kepemimpinan.
Tantangan Figur Sentral
Tantangan yang berbeda dihadapi oleh partai dengan figur sentral
yang kuat. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
Gerindra, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hanya PKS
yang figur sentralnya tidak mengambil posisi sebagai pejabat eksekutif
partai.
Megawati Soekarnoputri menjabat ketua umum, SBY adalah ketua
umum dan ketua Majelis Tinggi, Prabowo ketua umum dan ketua Dewan Pembina,
sementara Hilmi Aminuddin diposisikan sebagaiketuaMajelisSyurayang punya
otoritas moral-politik. Kondisi yang menantang dan agak khas terjadi di PDIP
dan Partai Demokrat. Megawati Soekarnoputri dan SBY sedang menghadapi
pertanyaan politik yang kurang lebih sama, yakni tentang isu regenerasi,
meritokrasi dan modernisasi partai.
Pertanyaan kepada SBY lebih keras karena selama ini dia berusaha
mengampanyekan Demokrat sebagai partai modern, terbuka, dan demokratis;
meskipun keduanya (Megawati dan SBY) sama-sama memegang kuasa veto di
partainya masingmasing. Forum Rapat Kerja Nasional PDIP di Semarang pada
September 2014 merekomendasikan agar Megawati kembali menjadi ketua umum
periode 2015- 2020. Atas rekomendasi itu, Megawati yang sudah memimpin PDIP
sejak 1999 menyatakan setuju.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (waktu itu) Tjahjo Kumolo
menjelaskan bahwa selama partai ini masih hidup, jangan dilepaskan dari trah
Soekarno. ”Selain trah Soekarno mentok jadi sekjen,” demikian Tjahjo dikutip
media waktu itu. Kongres PDIP yang baru selesai di Bali mengukuhkan kembali
Megawati sebagai ketua umum untuk lima tahun ke depan. Kabinet baru juga
tidak banyak perubahan, kecuali masuknya Prananda Prabowo dan hilangnya
Maruarar Sirait dan Effendi Simbolon.
Desas-desus akan adanya posisi wakil ketua umum sebagai simbol
regenerasi yang serius tidak terkonfirmasi dari struktur kabinet baru.
Megawati menganggap kerangka kabinetnya yang lama sebagai ”the winning team” yang layak
diharapkan untuk periode baru. Kongres Bali adalah penegasan sentralnya peran
Megawati di partai banteng yang kini menjadi partai pemerintah. Demokrat yang
akan berkongres di Surabaya ditandai adanya mobilisasi politik untuk
aklamasi. Posisi sentral SBY ingin dikukuhkan dengan gerakan arus bawah agar
terpilih aklamasi.
Ada alasan internal, pertimbangan figur SBY yang dinilai layak
menjadi ketua umum, meski harus menjilat ludahnya sendiri, maupun
pertimbangan eksternal agar partai terkonsolidasi dan tidak terancam
perpecahan. Bahkan sempat ada istilah agar Demokrat jangan sampai ”di-
Golkar-kan”. Meskipun berbeda dengan PDIP, Partai Demokrat menghadapi
tantangan eksistensial pasca-SBY. Proses institusionalisasi belum berjalan
baik dan cenderung tersedot arus balik personalisasi karena sentralnya posisi
dan peran SBY.
Kongres Demokrat akan menjadi arena di persimpangan jalan,
antara ”jalan idealis” membangun partai modern yang terlembaga, atau ”jalan
pragmatis” yang semakin mengukuhkan dependensi politik kepada figur SBY.
Untuk kepentingan partai sebagai institusi, apalagi yang bersifat jangka
panjang dan berorientasi ke depan, pilihan pada ”jalan pragmatis” tidak
menguntungkan.
Ujian Sejarah
Setiap partai akan diuntungkan oleh hadirnya tokoh utama atau
figur besar. Bukan sematamata berfaedah sebagai pilar stabilitas internal,
tetapi juga berperan penting sebagai magnet elektoral. Namun, pada saat yang
sama partai yang dilekati kehadiran figur besar yang sentral posisi dan
perannya akan menghadapi tantangan berat dalam pelembagaan internal menjadi
partai modern yang mapan.
Akhirnya, perjalanan masa juga yang akan menjawab sejumlah
pertanyaan eksistensial itu. Waktu akan menjadi ujian sejarah bagi Megawati
dan SBY, apakah sanggup menjadi jembatan regenerasi dan pelopor modernisasi
partai? Juga menjawab pertanyaan, apakah variabel trah dan famili bisa
disenyawakan dengan prinsip meritokrasi dan asas prestasi politik?
Pertanyaan-pertanyaan ini sederhana saja, tetapi punya tautan
yang kuat dengan masa depan PDIP dan Partai Demokrat, juga partai-partai
lain. Pada jawaban atas pertanyaan itulah terletak masa depan demokrasi kita.
Demokrasi yang berfaedah nyata bagi Indonesia dan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar