Mengenang
KAA 1955
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina
Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 15 April 2015
Indonesia akan menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konferensi
Asia-Afrika (KAA) 1955 sekitar satu minggu lagi. Yang lahir setelah tahun
1955 hanya dapat mengetahui apa yang terjadi waktu itu melalui buku, laman
internet, atau media sosial. Sayangnya referensi tersebut kurang membawa kita
pada aura kebatinan yang menyelimuti peserta dan para pengamat masa itu.
Richard Wright, seorang novelis, warga negara Amerika Serikat (AS) berkulit
hitam, mantan anggota Partai Komunis di Amerika, adalah salah seorang yang
datang dan mengamati langsung jalannya KAA 1955.
Ia menggambarkan bagaimana terkejutnya masyarakat di belahan
dunia Barat bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka, setengah merdeka, dan
belum merdeka sepakat berkumpul membicarakan perdamaian dunia, kebebasan dari
rasa takut dan mengecam imperialisme dengan berbagai bentuknya.
Beberapa yang berpandangan negatif mengatakan bahwa konferensi
itu sangat rasialis dan diskriminatif karena hanya mengundang peserta kulit
berwarna, yaitu Asia dan Afrika. Hal ini seperti yang ditulis harian The
Launcenston Examiner of Tasmania (30/12/1954). Ada pula seorang campuran Asia
dan Eropa yang meyakini bahwa bangsa Asia tidak perlu bicara soal demokrasi
karena tidak cocok. Asia lebih cocok menggunakan sistem otoriter karena
rakyatnya susah diatur.
Beberapa ungkapan positif berasal dari warga Barat yang aktivis
demokrasi. Mereka kagum dan heran bahwa bangsa-bangsa bekas jajahan yang
dianggap rendah berhasil membuat sebuah pertemuan internasional terbesar
pasca-Perang Dunia II. Namun, kekaguman mereka juga diwarnai pemikiran
Eropasentris yang menyebut pertemuan itu adalah akibat perlakuan yang tidak
baik dari negara-negara Barat terhadap jajahannya.
Dengan kata lain, mereka berkata apabila Barat bersikap humanis,
bangsa Asia- Afrika tidak akan memberontak. Komentar-komentar tersebut,
terutama yang negatif, sebetulnya dipicu oleh kekhawatiran akan terjalinnya
aliansi antara negara Asia- Afrika dengan Komunis China. Pada masa itu
suasana Perang Dingin. Blok kapitalis yang dipimpin oleh AS dan blok sosialis
pimpinan Uni-Soviet berlomba memperluas pengaruh.
Fakta itu menimbulkan rasa khawatir bahwa KAA akan mendukung
perluasan komunisme di Asia-Afrika, apalagi China termasuk tamu undangan KAA.
Perlu atau tidaknya China diundang ke KAA sempat menjadi pertanyaan besar
bagi lima negara pengusul konferensi ini (Indonesia, India, Pakistan, Burma
yang sekarang Myanmar dan Sri Lanka).
Dalam kesaksiannya di buku Bandung
Connection Roeslan Abdul Gani menyampaikan bahwa dalam Konferensi Panca
Perdana Menteri di Istana Bogor tahun 1954 usulan India untuk mengundang
China sempat ditentang oleh Pakistan dan Sri Lanka. Selain alasan bahaya
subversif (atau bahaya laten dalam istilah di Indonesia), mereka juga
khawatir negara-negara yang telah bergabung dengan blok barat seperti
Thailand, Filipina dan negara-negara Arab akan menolak untuk datang.
Pada masa itu, China disinyalir mendanai kegiatan subversif dan
ilegal di sejumlah negara, termasuk penyusupan ideologi komunisme di kawasan
Asia dan Afrika. Kekhawatiran tersebut disanggah oleh Perdana Menteri (PM)
India Nehru dan PM Burma U Nu. Mereka berpandangan bahwa partai komunis di
Asia memiliki corak berbeda dengan komunis internasional di Barat. Partai
Komunis di China dan negara-negara lain lebih dekat kebatinan budaya Asianya
ketimbang Partai Komunis di Barat.
Secara khusus PM Nehru menegaskan bahwa undangan KAA kepada
China justru akan memperluas pergaulan dan cakrawala China sehingga China
dapat lebih berjarak dengan Rusia. Waktu itu Rusia dipandang agresif dan
terang-terangan memusuhi negara-negara yang menolak kerja sama dengan Rusia.
Itu sebabnya Rusia tidak diundang ke KAA.
Tampak bahwa secara tidak langsung Nehru menularkan keyakinan
bahwa negara-negara Asia dan Afrika berkemampuan menekan China dalam KAA agar
menghormati janjinya sendiri dalam menjaga hidup berdampingan secara damai
(peaceful co-existence), menghindari agresi, menghindari campur tangan dalam
urusan dalam negeri negara-negara lain dan menghormati integritas teritorial
negara lain.
Perdebatan soal undangan kepada China itu akhirnya selesai
karena nada keras dan sedikit mengancam dari PM Burma yang menyatakan akan
mengundurkan diri dari KAA apabila China tidak diundang. China menurutnya
adalah kunci untuk perdamaian di Asia karena geopolitik dan kekuatannya.
Pernyataan yang berbau ancaman itu akhirnya meluluhkan sikap keras dari
Pakistan dan Sri Lanka sehingga akhirnya setuju mengundang China. Namun,
kekhawatiran tidak selesai di sana.
Indonesia masih perlu meyakinkan dunia Barat bahwa KAA tersebut
bukan panggung bagi blok komunis. Salah satu trik yang digunakan adalah
dengan menyelipkan puisi tentang Paul Revere dalam pidato pembukaan Presiden
Soekarno. Ide ini berasal dari Roeslan Abdulgani yang menjabat sekretaris
jenderal di Kementerian Luar Negeri dan koordinator pelaksana teknis KAA.
Paul Revere adalah patriot muda Amerika yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Inggris di Amerika. Sebagai tokoh,
Paul dikenang karena ia memberi peringatan kepada pasukanpasukan milisi di AS
untuk bersiap menghadapi pasukan kolonial Inggris. Yang heroik, dia
mengumumkan dengan cara menunggang kuda selama kurang lebih 14 jam sejak
pukul 10 malam dari Boston hingga Lexington.
Yang fantastis, hari pengumuman oleh Paul Revere itu terjadi
tepat 180 tahun pada hari pembukaan KAA, yakni 18 April. Pidato Presiden
Soekarno yang menyelipkan potongan puisi tentang tokoh yang dikagumi oleh
masyarakat Amerika tersebut telah mencairkan ketegangan dan mengurangi
kekhawatiran bahwa konferensi ini akan digunakan oleh salah satu blok.
Kekhawatiran juga hilang ketika Chou En Lai, PM Republik Komunis
China, mengatakan dalam pidatonya bahwa ia dapat saja menggunakan kesempatan
yang diberikan untuk menggugat keterlibatan Amerika di Taiwan atau
keanggotaannya di PBB. Namun dia mengesampingkan hal tersebut karena delegasi
RRC datang untuk mencari persatuan dan bukan perbedaan. China menyatakan
sepenuhnya setuju dengan dasar dan tujuan KAA dan tidak mengusung agenda
lain.
Konferensi itu kemudian menghasilkan sepuluh prinsip yang
dikenal sebagai Dasa Sila Bandung yang intinya menekankan lingkungan politik
luar negeri regional yang damai bagi seluruh negara terlepas dari
ideologinya. Konferensi ini juga menjadi landasan dan rujukan bagi berdirinya
Gerakan Negara- Negara Non-Blok yang menambah posisi tawar terhadap blok
kapitalis dan blok komunis.
Keberhasilan KAA adalah bukti kemampuan Indonesia mengurangi
ketegangan dan kekhawatiran bahwa konferensi itu akan dijadikan alat
propaganda untuk salah satu blok. Empat negara lain yang menjadi pengusul
konferensi juga berkontribusi penting. Namun, keterlibatan mereka tak akan
ada apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan diplomasi untuk meyakinkan
mereka bahwa konferensi itu penting dan harus dilaksanakan segera.
India pada awalnya ragu untuk mengambil bagian dalam KAA hingga
PM Ali Sastroamidjojo datang sendiri ke Calcutta dan meyakinkan PM Nehru.
Kemampuan untuk mengumpulkan 29 bangsa Asia- Afrika yang berbeda dalam
ideologi, agama, budaya, kepentingan politiknya dan sejarah konflik yang
tajam antara satu negara dengan negara lain adalah kemampuan diplomasi yang
sangat langka.
Blok kapitalis dan blok komunis pada saat itu juga mampu
mengorganisir konferensi dunia dan dihadiri oleh negara-negara lain, tetapi
dengan disertai imbalan perlindungan militer dan bantuan ekonomi. KAA tidak
melakukan hal tersebut. Bekal Indonesia adalah kematangan berdiplomasi,
membangun kepercayaan dari undangan, dan harapan akan kebersamaan yang lebih
cerah setelah KAA.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah, apakah kita masih memiliki
keunggulan dalam diplomasi itu? Mari kita berharap KAA di Bandung pekan depan
akan memberikan jawab yang bagus untuk pertanyaan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar