Parpol dan Persepsi Publik
Djayadi Hanan ; Direktur
Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
11 April 2015
Secara teoretis, dari sudut pandang publik, partai politik
adalah kanalisasi dari kepentingan masyarakat agar diperjuangkan menjadi
kebijakan negara. Karena masyarakat itu bermacam-macam sehingga
kepentingannya juga beragam, parpol pun bermacam-macam. Parpollah yang
mengetahui seluk-beluk proses perjuangan agar kepentingan masyarakat itu
dapat diakomodasi oleh negara atau sistem politik. Parpol berada di
tengah-tengah, antara negara dan masyarakat. Ia menjadi jembatan di antara
keduanya. Negara memerlukan masyarakat agar tahu kebijakan apa yang
semestinya dibuat. Masyarakat memerlukan negara agar kepentingannya dapat
diakomodasi. Parpol berfungsi membangun dan memperlancar hubungan antara
negara dan masyarakat tersebut.
Parpol yang sukses adalah partai yang dekat dengan masyarakat
sekaligus memiliki kemampuan untuk berada dalam lingkar kekuasaan agar dapat
mengarahkan kebijakan negara sesuai kehendak masyarakat. Namun, hal ini belum
menjadi realitas di Indonesia. Masyarakat tampak tidak dekat dengan parpol
dan cenderung memiliki pandangan negatif. Sebaliknya, parpol sering kali
menyalahkan masyarakat ketika mendapati kenyataan persepsi negatif terhadap
politisi ataupun institusi partai.
Persepsi negatif
Dalam berbagai jajak pendapat publik yang dilakukan Lembaga
Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sejak
2004, secara konsisten ditemukan fakta bahwa masyarakat cenderung
berpandangan negatif terhadap institusi parpol dan para politisi. Karena para
politisilah yang mengisi lembaga DPR, persepsi terhadap DPR pun secara
konsisten cenderung negatif. Menurut LSI, di awal tahun ini, tingkat
kepercayaan masyarakat kepada parpol dan DPR berada di kisaran 50 persen. Ini
angka terendah dibandingkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
Presiden sebesar 83 persen, KPK 81 persen, dan TNI 83 persen. Angka ini lebih
rendah lagi pada 2014, setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pada Oktober 2014, kepercayaan terhadap parpol dan DPR ada di
kisaran 40 persen. Peningkatan pada awal 2015 dapat saja dimaknai positif,
tetapi kemungkinan besar peningkatan kepercayaan itu lebih karena tingkat
harapan masyarakat yang tinggi ke pemerintahan baru.
Persepsi negatif masyarakat ini tampaknya berkorelasi dengan apa
yang tergambar dan terlihat oleh masyarakat atas perilaku atau informasi yang
sampai kepada mereka tentang parpol dan politisi di dalamnya. Ketika diminta
menggambarkan parpol dan politisi, dalam berbagai jajak pendapat tersebut,
tiga hal yang paling diingat masyarakat semuanya negatif. Biasanya masyarakat
selalu mengemukakan bahwa politisi adalah orang yang hanya peduli pada kepentingan
pribadinya, banyak berjanji, tetapi lebih sering tidak menepatinya, dan lebih
suka bicara tentang diri mereka. Dengan ingatan negatif seperti ini, tak
mengherankan kalau tingkat kepercayaan publik akan selalu rendah terhadap
parpol.
Meskipun korelasinya seperti antara ayam dan telur, persepsi
negatif terhadap parpol ini juga berimbas kepada sangat sedikitnya masyarakat
yang merasa dekat dengan parpol (party
identification). Secara konsisten, berbagai jajak pendapat publik sejak
2004 selalu menunjukkan angka party
identification di kisaran 15-20 persen saja. Ini kemudian mempersulit
partai dalam berhubungan dengan masyarakat, alih-alih untuk menjadi dekat
dengan masyarakat. Dengan party
identification yang rendah, hubungan partai dengan masyarakat menjadi
sangat cair, sangat mudah berubah dan berpindah. Ini menjadi salah satu
alasan terjadinya hubungan yang pragmatis-transaksional antara
parpol/politisi dan masyarakat.
Masih seperti korelasi antara ayam dan telur, persepsi negatif
ini juga terkait dengan rendahnya minat masyarakat Indonesia kepada politik.
Sejak 2004, minat masyarakat Indonesia terhadap politik tidak pernah di atas
40 persen. Angka itu bahkan mencapai titik sangat rendah di pertengahan Juni
2013 ketika angka ketertarikan masyarakat pada politik berada di angka kurang
dari 30 persen. Artinya, tak sampai 30 persen masyarakat Indonesia tertarik
politik.
Ketidaktertarikan ini bukanlah karena masyarakat tidak memiliki
informasi. Sebaliknya, makin banyak masyarakat memiliki akses kepada
informasi, ada kecenderungan memiliki persepsi makin negatif kepada politik.
Misalnya, makin banyak masyarakat mengakses internet, ada kecenderungan makin
negatif persepsinya kepada politik dan karena itu makin tidak tertarik pada
politik.
Praktik pengelolaan partai
Pengelolaan partai, termasuk kredibilitas para
pengelola/politisinya sangat memengaruhi keberhasilan partai untuk
mendapatkan persepsi positif dan dukungan masyarakat. Berdasarkan penelitian
mengenai parpol di sejumlah negara demokrasi, partai yang berhasil memperoleh
dukungan dan persepsi positif serta sukses dalam pemerintahan adalah partai
yang menjalankan triangle of best
practices (Breth and Quibell, 2003).
Tiga praktik terbaik itu adalah demokrasi internal, transparansi,
penjangkauan masyarakat (outreach).
Dalam menjalankan demokrasi internal, sebuah partai memiliki
nilai-nilai dan aturan-aturan jelas, terbuka, dan dipraktikkan, baik oleh
para pemimpin maupun anggota partai tanpa kecuali. Unit-unit geografis
ataupun fungsional partai juga berfungsi secara berkesinambungan.
Platform dan orientasi kebijakan partai juga bukan hal statis,
melainkan terus-menerus mengalami perkembangan dan perbaikan sesuai tuntutan perubahan.
Yang sangat penting, para pemimpin partai dan kandidat yang akan menduduki
jabatan publik diseleksi secara adil, bebas, dan berdasarkan aturan berlaku
di partai. Selain itu, partai yang menjalankan demokrasi internal memiliki
komunikasi internal, baik vertikal maupun horizontal, yang dijalankan secara
terbuka sehingga efektif.
Transparansi adalah aspek terpenting kedua dari sebuah partai
yang sukses. Partai yang menjalankan praktik transparansi selalu memberikan
laporan keuangan, sumber-sumber donasi, biaya-biaya yang dikeluarkan, dan
aset, tidak hanya kepada anggota partai, tetapi juga kepada publik, bahkan
sekalipun itu tidak diminta. Partai juga memiliki dan mengembangkan strategi
pengawasan untuk memastikan akuntabilitas partai kepada anggota partai, para
pemilih, ataupun masyarakat secara umum. Jika terjadi masalah menyangkut
aspek ini, partai yang sukses sudah memiliki dan menjalankan proses
investigasi dan penerapan sanksi yang tegas kepada pihak yang melanggar.
Partai yang sukses juga selalu melakukan program penjangkauan
masyarakat. Dengan cara ini, partai selalu hadir di tengah-tengah masyarakat
sehingga ia dapat tumbuh dan besar seiring dengan perkembangan masyarakat.
Dengan penelitian yang mendalam, partai seperti ini secara reguler merekrut
anggota dan simpatisan baru dari sektor-sektor yang baru pula.
Strategi partai dalam berkomunikasi dengan masyarakat juga
dikembangkan dan dipraktikkan dengan baik secara terkoordinasi di semua level
kepengurusan partai. Biasanya partai tidak hanya mengandalkan pada anggota.
Sering kali kehadiran partai di masyarakat ini lebih banyak diwakili oleh
para sukarelawan yang merasa memiliki keterikatan dengan partai yang
bersangkutan. Dengan demikian, akan mudah bagi partai ketika meminta dukungan
masyarakat manakala musim pemilu telah tiba.
Dalam konteks Indonesia, justru tiga praktik terbaik inilah yang
belum terlihat. Yang lebih banyak kita lihat, hampir semua partai di
Indonesia terjebak dalam ketergantungan pada figur individu tertentu. Figur
tersebut, baik karena kekuatan personalitas, maupun terutama karena kekuatan
finansial, memiliki semua kekuasaan untuk menentukan hitam-putihnya partai.
Dalam keadaan seperti ini, akan sangat sulit untuk menjalankan demokrasi
internal partai. Transparansi dan penjangkauan masyarakat juga menjadi
pilihan saja sepanjang itu menguntungkan figur yang menguasai partai yang
bersangkutan.
Maka tidak heran kalau kemudian partai tidak hadir dalam
masyarakat dan terkesan asyik dengan perjuangan dan intrik untuk kepentingan
elite-elitenya saja. Ini menimbulkan jarak dan persepsi negatif serta
rendahnya kepercayaan dari masyarakat yang semestinya menjadi alasan utama
hadirnya sebuah partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar