Insubordinasi Lembaga Kepresidenan
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan,
Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
11 April 2015
Dalam sistem presidensial, lembaga kepresidenan seharusnya jadi
bagian yang utuh dalam pengambilan kebijakan/keputusan.
Sengkarut informasi yang beredar di publik terkait kebijakan
strategis adalah satu bentuk dari sekian banyak keteledoran Presiden dalam
mengelola lembaga kepresidenan. Bagi penyelenggaraan pemerintahan, ini
ancaman serius terhadap implementasi program-program strategis, termasuk
kebijakan anti korupsi yang digadang-gadangkan oleh Presiden. Ancaman ini
bukan tak mungkin akan jadi faktor pemicu gejolak politik yang lebih luas,
baik di parlemen maupun di kalangan masyarakat umum.
Jika ditelisik ke belakang, setidaknya ada beberapa catatan
buruk Presiden dalam mengelola lembaga kepresidenan. Pertama, perintah untuk
menghentikan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan para
pegiat anti korupsi. Dalam praktiknya, instruksi ini di internal pemerintah
diterjemahkan secara beragam. Bahkan, dalam takaran tertentu bisa dianggap
telah terjadi pembangkangan terhadap instruksi tersebut.
Kedua, kebijakan pengetatan pemberian remisi dan pembebasan
bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Di rezim sebelumnya,
kebijakan ini ditopang peraturan pemerintah yang ditujukan terhadap
kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius atau lazim
disebut juga sebagai kejahatan luar biasa, yaitu korupsi, terorisme, dan
narkotika.
Dalam perkembangannya, kebijakan pengetatan ini justru dilihat
sebagai bentuk diskriminasi terhadap pelaku tindak pidana, bergulirlah usulan
agar kebijakan ini dibatalkan. Menteri Hukum dan HAM, dalam berbagai
pernyataan di media, secara tidak langsung menjadi pendukung utama atas
inisiatif ini.
Dalam konteks kebijakan pemberantasan korupsi, usulan ini sangat
berlawanan dengan inisiatif rezim pemerintahan Jokowi yang telah disepakati
dalam dokumen perencanaan pembangunan (RPJMN). Salah satu strategi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi
melalui harmonisasi terhadap kebijakan anti korupsi dengan Konvensi Anti
Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Kebijakan pengetatan ini adalah salah satu bentuk treatment
terhadap pelaku tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar
biasa. Menghilangkan kebijakan ini sama dengan menyamakan derajat tindak
pidana korupsi dengan tindak pidana umum lainnya.
Ketiga, kebijakan penambahan fasilitas uang muka kendaraan dinas
bagi para pejabat negara (Perpres 39/2015). Belakangan diketahui bahwa
kebijakan itu muncul tanpa melalui proses pengawasan yang memadai dari
Presiden.
Bagi publik, penambahan fasilitas ini sangat jelas jadi bagian
dari bentuk legalisasi pemborosan keuangan negara. Pada sisi yang lain,
lahirnya kebijakan ini harus dilihat sebagai bentuk keteledoran lembaga
kepresidenan secara keseluruhan dalam pengambilan kebijakan
Realitas di atas hanya sebagian dari sekian banyak bentuk
"disharmoni" di dalam lembaga eksekutif atau lembaga kepresidenan.
Presiden sebagai pimpinan dari lembaga kepresidenan seharusnya memegang
kendali atas setiap keputusan atau kebijakan strategis yang akan dilahirkan.
Presiden harus mengendalikan wakil presiden, menteri-menteri,
kepala lembaga, dan seterusnya. Menurut konstitusi mereka adalah para
pembantu presiden. Dan, bagi para pembantu presiden, berlakulah sesuai
mandatnya dalam kapasitas sebagai pembantu presiden.
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan kepada publik oleh para
pembantu presiden seharusnya tidak berlawananan dengan apa yang diucapkan
Presiden atau bahkan dengan kebijakan yang telah disepakati sebelumnya. Jika
tidak, akan sulit dibantah bahwa telah terjadi insubordinasi di dalam lembaga
kepresidenan.
Pada titik yang paling kritis, ketidakmampuan Presiden dalam
mengelola lembaga kepresidenan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak di
lingkaran kekuasaan Presiden untuk mengambil manfaat atas kekisruhan yang
terjadi. Bukan tidak mungkin insubordinasi ini akan berkembang sebagai bagian
dari upaya sistematis untuk mengambil alih kekuasaan. Semoga saja tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar