Mendahulukan Cinta Tanah Air
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum
PBNU
|
KOMPAS,
11 April 2015
Ribut-ribut soal WNI eksodus ke Suriah untuk bergabung dengan
Negara Islam di Irak dan Suriah serta pemblokiran situs-situs radikal
tampaknya ada hal yang perlu ditarik tegas. Ketegasan kebijakan dan penegasan
cara pandang.
Kita tengah menghadapi orang-orang yang sudah hilang rasa
memiliki terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka ini
adalah orang-orang yang ”kost” di negeri ini. Bagi mereka, yang penting
adalah ”cinta agama” dan buang jauh-jauh ”cinta tanah air”.
Pentingnya tanah air
Ada tiga konsep tentang ukhuwah (persaudaraan), yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat
Islam), ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah
(persaudaraan umat manusia). Di sini, saya tekankan pada pentingnya ukhuwah wathaniyah. Ukhuwah wathaniyah ini harus
didahulukan ketimbang ukhuwah Islamiyah.
Sebab, tanpa negara, bagaimana umat Islam bisa melakukan kegiatan
keagamaannya?
Pentingnya tanah air dapat kita lihat dari perjalanan hijrah
Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Nabi ingin mempunyai tanah air (negara)
sehingga dakwah Islam bisa berkembang dengan baik. Ini pula mengapa Al Quran
masih menyebut-nyebut tentang kisah Fir’aun serta kisah para nabi lainnya.
Sebab, kisah-kisah tersebut menyingkapkan adanya sejarah tentang tanah air
atau daerah yang pernah dihuni oleh raja-raja terdahulu dan para nabi dalam
menjalankan roda pemerintahan dan misi kenabiannya.
Dalam pepatah Arab dikatakan, ”Barang siapa yang tidak memiliki
tanah air, ia tidak memiliki sejarah. Dan, barang siapa yang tidak memiliki
sejarah, akan terlupakan. Contoh nyata adalah bangsa Kurdi yang tidak
memiliki tanah air sehingga tercerai-berai hidup berdiaspora di Turki, Irak,
dan Suriah.
Anehnya, di lingkungan keagamaan muncul pandangan yang
memperlawankan antara nasionalisme dan agama. Bahkan, banyak kelompok
keagamaan yang menolak nasionalisme dan malah menyebutnya sebagai ”kafir”
atau thoghut.
Jangan heran jika di negeri-negeri di mana mayoritasnya umat
Islam sering kali terjadi pertumpahan darah. Lihatlah Afganistan, Somalia,
Irak, Yaman, atau Suriah. Konflik di negeri-negeri Muslim ini tampak sudah
berada di ambang batas kemanusiaan. Apalagi, dengan kemunculan NIIS.
Kejadian di Timur Tengah tersebut menunjukkan, ternyata kesamaan
dalam agama belum atau tak mampu menyatukan masyarakatnya. Islam di Timur
Tengah ternyata berpotensi menimbulkan konflik akibat salah tafsir yang
kebablasan. Somalia atau Afganistan, misalnya, 100 persen rakyatnya memeluk
Islam. Namun, yang terjadi perang saudara, saling rebut kekuasaan dan
penindasan oleh rezim berkuasa.
Ini berbalik fakta dengan apa yang terjadi di Indonesia.
Semenjak dahulu kala, Islam di Nusantara sudah memperlihatkan wajah yang arif
dan damai. Pertikaian memang terjadi, tetapi hanya lokal dan regional yang
tak menimbulkan tragedi nasional, sepertidi Irak atau Suriah dewasa ini. Dan,
konflik-konflik yang pernah terjadi di Nusantara tersebut justru menumbuhkan
sikap dewasa dan matang, seperti secara khusus kita lihat dalam perjalanan
dakwah keislaman di bumi Nusantara ini.
Para pendakwah Islam sejak dulu tidak serta-merta melakukan
”pembumihangusan” terhadap kearifan-kearifan lokal yang sudah lama berserakan
di bumi Nusantara. Artinya, mereka tidak menganggap bahwa ”warisan nasional”
yang ada di bumi Nusantara ini perlu dihancurkan lantas diganti secara
frontal dengan simbol-simbol keislaman yang literalis. Ini jelas jauh berbeda
dengan apa yang dilakukan ISIS, Boko Haram, atau Al-Shabab saat menguasai
suatu daerah, lalu melakukan penghancuran terhadap warisan-warisan sejarah
yang ada, bahkan kuburan pun jadi sasaran penghancuran.
Dari perjalanan pendakwah Islam di bumi Nusantara ini
membuktikan tidak adanya pertentangan antara nasionalisme dan ajaran Islam.
Mereka menyadari betul bahwa untuk bisa berdakwah, dibutuhkan tanah air yang
kondusif.
Para ulama Nusantara dikenal sebagai cendekiawan berwawasan
luas, penulis yang kreatif dan produktif, serta terlibat dalam berbagai aspek
kehidupan sosial, politik, budaya, dan spiritualitas. Mereka adalah agen-agen
perubahan. Contohnya Hamzah Fansuri, Bukhari Al-Jauha, Syamsudin
Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf Al-Singkili. Mereka tiadk
hanya telah meletakkan fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberi
bukti nyata bagi perjalanan historiografi dakwah Islam di Nusantara yang
menampakkan wajah Islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal.
Hasilnya, bisa kita lihat hingga sekarang. Misalnya, nama-nama
pesantren yang justru dikenal karena nama desa atau daerahnya, seperti
Pesantren Tebuireng, Pesantren Krapyak, Pesantren Termas, Pesantren Langitan,
Pesantren Buntet, Pesantren Suralaya, dan Pesantren Cipasung. Ini jelas
berbeda dengan munculnya pesantren-pesantren dadakan yang dibangun oleh
kelompok-kelompok radikal-puritan yang menonjolkan nama kearaban. Bahkan,
sama sekali tidak menghiraukan nama desa atau daerahnya karena anggapan yang
terpenting buat mereka adalah nama-nama yang dipandang ”Islami”. Daerah
tempat berpijak tidaklah penting. Yang terlihat di kalangan kelompok radikal
seperti ini adalah penonjolan ukhuwan
Islamiyah semata dan meniadakan ukhuwan
wathaniyah.
Jelaslah, Islam di Indonesia tidak punya akar radikal. Munculnya
radikalisme dan terorisme merupakan hasil adopsi kultur keagamaan yang datang
dari luar. Katakanlah, Islam yang radikal lebih merupakan ”produk impor”,
layaknya sebuah produk yang diimpor dari luar negeri dan kemudian dijajakan
di dalam negeri. Arus komunikasi global dewasa ini yang memungkinkan orang
begitu mudahnya menyerap paham-paham luaran menjadi fakta adanya pergulatan
”model baru” dalam memaknai dan menindaki ajaran Islam. Kasus pemblokiran
situs radikal menjadi potret ketegasan untuk mempertahankan tanah air dari serbuan
informasi yang merusak.
Peneguhan peran
Sikap moderat ala Islam Indonesia ini sudah saatnya pula
diekspor ke mancanegara, khususnya ke Timur Tengah. Kita lihat di Timur
Tengah menunjukkan ketidakberimbangan peranan ulama antara ilmu yang dimiliki
dan peranannya kepada kemaslahatan orang banyak. Akibatnya, ulama tidak bisa
memberikan kontribusinya pada saat terjadi konflik di tengah masyarakat.
Ulama di Timur Tengah hebat-hebat. Namun, kiprah mereka biasa-biasa saja,
bahkan terlihat ibarat ”macan kertas’ karena hanya lihai berkhotbah atau
menulis berjilid-jilid kitab, tetapi lembek di lapangan.
Ulama kita lebih baik. Itu yang ingin kita tularkan. Ulama-ulama
di negeri kita mampu meredam konflik yang terjadi di daerahnya, seperti kasus
Sampang dan kasus Jember. Kiai-kiai di negeri ini punya modal semangat
pengabdian yang tinggi. Biarpun ilmu pas-pasan, mereka tergerak untuk
mendirikan pesantren yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat dan negara.
Walhasil, Islam Indonesia adalah harapan bagi kehidupan
masyarakat dunia pada masa yang akan datang. Potensi itu sangat besar karena
posisi Muslim Indonesia yang moderat. Karena itu, saatnya kembali meneguhkan
Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar